Bab 9

1772 Kata
"Al, jawab aku. Kau di mana?" Tidak ada jawaban. Dia hampir di bilik terakhir. Ternyata ada orang di dalamnya. Dua pria yang menonton langsung menanyakan ada apa, tapi Alcina hanya menggeleng. Pria di bilik terakhir keluar dan marah-marah karena Alcina mengganggunya. Gadis itu lagi-lagi abai. Setelah yakin Albert tidak ada di sana, dia beralih ke toilet di Timur, bahkan lupa mengangkat telepon yang sedari tadi terus bergetar di dalam tasnya. Di toilet Timur tidak ada orang. Alcina kembali meneriakkan nama Albert dan membuka setiap bilik. Di ujung ada satu bilik yang diberi label rusak dan terkunci. Alcina mendobraknya dengan tendangan dan mendapati Albert di sana. Albert disekap. Kedua tangan dan kaki diikat plester dan mulut pun diberi plester hitam besar. Pria itu terkulai lemah dengan mata terpejam. Dia diletakkan di samping dudukan toilet. Alcina melihat luka lebam di seluruh wajahnya dan beberapa bagian di tangan dan kaki, sementara bagian leher terdapat bekas cekikan. Gadis itu pikir bagian tubuh lainnya mungkin lebih parah. Alcina segera melepaskan ikatan dan plester di mulut Albert, dia menepuk-nepuk pipi pria itu, tapi tak ada reaksi dari si empunya. Dengan tangan gemetar, Alcina menggerakkan telunjuk untuk memeriksa pernapasan di hidung Albert. Tidak ada embusan. Kemudian dia menyentuh leher Albert dan memeriksa denyutnya. Sangat lemah. Alcina lalu menarik Albert ke dekat pintu bilik. Tubuh tinggi pemuda itu sangat mengganggu, tapi sebisa mungkin Alcina memposisikan agar Albert bisa telentang. Dia duduk tenang di samping antara leher dan bahu Albert, kemudian memegang kening pemuda tersebut dan menariknya sedikit ke belakang agar kepala Albert bisa menengadah ke atas, sementara bagian dagu di angkat sedikit ke depan untuk jalur pernapasan. Dia akan memeberi CPR kepada Albert. Alcina mencubit hidung Albert dan menempatkan bibirnya di atas bibir Albert sehingga membentuk segel rapat, kemudian mengembuskan napas ke dalam mulutnya selama satu detik. Dia memperhatikan pergerakan d**a. Tidak ada perbaikan. Lalu melakukan tiga puluh kali kompresi d**a. Memeriksa lagi dan mengulanginya lagi karena dilihat tidak ada perubahan. Alcina semakin panik bahkan mulai meneteskan air mata. Entah sudah berapa banyak makian yang terlontar dari mulutnya sejak dia menemukan Albert dalam keadaan terikat tadi. "Bangunlah, Berengsek. Kau tidak kuizinkan pergi. Bangun, Al. Aku mohon. Sial.... Bangun.... Kalau tidak juga bangun, aku akan menghancurkan semua action figur kesayanganmu... i***t, Al! Bangun!" Alcina menyerah. Buliran keringat sudah bagai air sungai yang mengalir di seluruh bagian wajahnya. Dia menangis sesenggukan dan membenamkan wajah di d**a Albert. Sesekali tangannya memukul d**a bidang Albert dengan lemah. Alcina mengutuk nasib sialnya. Baru sebulan lalu dia kehilangan Alina, dan sekarang harus kehilangan sahabatnya juga? Dia mengutuk sifat keras kepalanya yang tidak ingin menghentikan penyelidikan. Andai saja mendengarkan papa dan kekasihnya, mungkin ini tidak akan menimpa Albert. Andai saja tadi dia tidak memilih mengikuti Rose, mungkin Albert masih bisa diselamatkan. Andai saja setelah mendengar Albert terluka, dia langsung menghubungi Haris, Dillon atau Rei, mungkin Albert bisa tertolong. Andai saja.... Betapa banyak penyesalan dan kata 'andai saja' yang tiba-tiba menjerit di kepalanya. Tidak berapa lama, Alcina merasa kepalanya disentuh oleh tangan besar. Seketika melihat ke kanan, dia mendapati Albert tersenyum. Tidak, itu lebih mirip tawa yang tertahan. Albert bangkit dan duduk berhadapan dengan Alcina dengan susah payah. "Kau bisa menangis juga?" tanya Albert dengan suara parau, serak dan lemah. Alcina malah memaki dan berhambur ke pelukan Albert. "Kau tidak boleh mati tanpa izinku." Albert tidak bisa tertawa meskipun sangat ingin. "Baiklah, baiklah. Bisa kau lepas pelukan ini? Aku sedikit tidak nyaman dan ... mereka melihat kita." Alcina balik badan dan mendapati beberapa pria sedang menatap mereka dengan curiga. Al bangkit perlahan dan menjelaskan seadanya kepada orang-orang yang ingin tahu bahwa ada seseorang yang menyekap Albert dan Alcina yang menyelamatkan. Beberapa menyarankan untuk melapor ke polisi, tapi Albert menolak. Mereka undur diri dari sana dan memohon dengan sopan agar foto yang mereka dapat tadi segera dihapus. Alcina dibantu beberapa orang, membawa Albert ke dalam mobil dan segera melarikannya ke rumah sakit terdekat. Sepertinya Alcina benar-benar lupa untuk mengangkat telepon dari Dillon. Dia bahkan tidak memerhatikan bahwa di lantai atas Super Mall telah ramai polisi.   **** Alcina berdiri di ambang pintu kamar rawat Albert, menatap kondisi sahabatnya dengan prihatin. "Berhentilah memandangku seperti itu. Aku hanya kalah," keluh Albert. "Bagaimana kejadiannya?" Alcina bergerak mendekat, duduk di tepi ranjang Albert dan mengambil apel di meja kecil sebelah brankar. Mengupasnya. Sesekali menatap Albert yang duduk bersandar. Albert mendesah sebelum memulai ceritanya. "Toilet sepi saat aku datang. Aku sedang mencuci tangan di wastafel tapi tiba-tiba ada pria ber-hoodie yang menendangku dari samping. Aku tersungkur, kemudian dia menginjakku, menendang dan ... ahh s**t. Dia menghajarku habis-habisan saat aku masih tersungkur di lantai. Dia membalik tubuhku, menduduki perutku dan mengamati wajah tampanku ini. Kemudian dia memukulku tepat di wajahku. Yah, kurasa dia iri dengan wajahku." Alcina berhenti mengupas apel dan menjitak kepala Albert sebelum melanjutkan kembali aktivitasnya. "Hanya orang gila yang iri dengan wajahmu." "Kau sangat kasar terhadap pasien, Nona. Baiklah, aku lanjutkan. Kemudian aku memberi pukulan di wajahnya tapi dia berhasil berkelit. Meski begitu, aku ingin memanfaatkan situasi saat dia lengah. Aku mencoba bangkit, tapi orang itu lebih dulu mencekikku. Meskipun aku lebih tinggi, tapi cekikannya tidak pernah mengendur. Kakiku yang berusaha menendangnya pun ditepis oleh kaki kirinya dengan mudah. Aku dipaksa berlutut, dan dia semakin mudah mencekikku. Kau tahu Sina, hal yang sangat kutakutkan adalah ketika dia melepaskan cekikan dan memungut pisau yang terjatuh dari hoodie-nya. Tiba-tiba pandanganku mulai gelap. Aku pikir dia akan menusukku dengan pisaunya, ternyata dia memilih membunuhku secara perlahan dengan menyekapku di toilet." Mata Alcina sedikit berlinang. Untuk mengalihkan perasaan sedihnya akibat mengabaikan Albert, dia mengambil dan memotongkan Apel, kemudian menyuapkan potongannya ke mulut Albert.Albert terbengong dengan sikap baik Alcina. "Apa aku sebenarnya sudah mati? Dan ini adalah surga dan kau ... Ahh tidak. Tidak ada bidadari sekasar ini di surga." Albert kembali mendapat jitakan di kepalanya. "Kau tidak tahu bagaimana perasaanku saat kau-" hampr mati. "Sudahlah. Kita fokus dulu dengan Rose." "Perasaanmu saat apa? Saat aku sekarat? Hei, kau mengkhawatirkanku sebesar itu? Apa kau menyukaiku?” “Kau mau mati?” tanya Alcina, membuat Albert langsung menelan ludah. Berdeham pelan, Albert bertanya, “Siapa Rose?" "Pacar Alina, dia yang menghajarmu di toilet..." Alcina kemudian menceritakan setiap detail informasi yang dia dapat hari ini. "Kalau dia semengerikan itu, bagaimana jika dia mengikuti Haris diam-diam, kemudian membunuhnya?” Albert membuka perbincangan dengan pertanyaan barusan, setelah Alcina menceritakan kronologi yang dia alami. Sekarang mereka duduk bersilah, saling berhadapan di atas brankar Albert. Sesekali pemuda itu mengambil apel yang ada di piring kecil di hadapan mereka. Alcina tertegun. Albert ada benarnya. “Anggaplah begitu," kata Alcina. "Selanjutnya bagaimana? menunggu mereka membunuhmu atau Haris?” Albert menggeleng. Setelah mengunyah potongan apel, dia berkata, “Bawa dia kepadaku sat kau menjadi Alina. Kalau benar dia bukan pembunuhnya, kita juga bisa mengajaknya bekerja sama mencari pelakunya.” “Aku rasa itu sangat beresiko untuk memberitahunya kebenaran. Cara pandang kita berbeda dengannya, Al. Aku malah khawatir dia akan membunuhku kalau tahu telah menipunya sebagai Alina.” “Astaga!” Albert gantian menjitak kepala Alcina. Gadis itu langsung memelotot marah, namun seketika bungkam ketika Albert berkata, “Kita tidak akan mengungkapkan kebenaran. kita hanya mencari tahu tentang kegiatan mafia Alina dan Rose. Dari sana, kita data setiap anggotanya yang kemungkinan saja ada pelaku di antaranya, dan jangan lupa, mafia itu punya banyak musuh, maka kita juga perlu data musuh-musuh mereka. Semua itu hanya bia dilakukan saat kau menjadi Alina. Paham rencanaku sekarang?” Alcina mengangguk. “Selanjutnya?” “Selanjutnya, biarkan Haris dan Rei yang bekerja.” Alcina mengerti dan tahu kalau rencana ini mungkin bisa sukses, tapi entah kenapa, dia tidak menyukai cara itu. Dia merasa bersalah jika harus menjebak Rose. Terutama setelah tahu Rose melindungi Alina. Anggaplah mereka berhasil menangkap dan mendapatkan informasi tentang kemungkinan si pembunuh. Lalu bagaimana nasib Rose? Haris tidak akan menyiakan kesempatan ini untuk menangkap seorang mafia, kan? Dia pasti menyerahkan Rose ke pihak berwajib. Dengan begitu, dia bisa mendapatkan promosi jabatan. Sedangkan Rose? Dia akan membusuk di penjara. Jika kasus kejahatan Rose ternyata cukup banyak, dia bisa saja dihukum mati. Lantas, kenapa Alcina peduli kepadanya?  Karena dia pacar Alina? Atau karena dia tahu kalau Rose terlihat sangat serius saat mengkhawatirkannya. "Oh ya, Al, apakah ada kemungkinan bahwa dia yang membunuh kakak?" "Tentu saja. Dia yang bersama Alina terakhir kali. Meskipun dia bilang meninggalkannya, kita tidak tahu apakah dia jujur atau tidak. Dia sangat mengenal Alina, mereka tinggal bersama di rumah itu, dan Alina ditemukan tewas di sana." "Kenapa dia tidak terkejut melihat orang mati yang bangkit kembali?" "Mungkin dia tahu kau bukan Alina." "Kenapa dia memperlakukanku seolah aku kakak?" "Mungkin untuk menjebakmu dan dia menginginkan sesuatu darimu." Alcina sudah menduga kalau dirinya dan Albert akan sepemikiran. "Maksudmu bisa saja dia berpura-pura menjadi pacar kakak?" "Ya, kau benar.” Albert terkesiap seolah baru menyadari itu. “Aku lupa itu. Bisa saja dia bukan pacar Alina tapi si pembunuh, dan dia cukup yakin kau tidak tahu siapa pacar Alina." "Untuk apa dia mendekatiku? Harusnya dia kabur saja saat berhasil menghilangkan jejaknya." "Itulah yang tidak kumengerti. Mungkin ada barang bukti yang tertinggal atau sesuatu yang berharga." Albert memainkan kacamatanya setiap dia bingung akan sesuatu, begitu pun saat ini. "Tidak, Al. Semua bersih. Barang-barang kakak bersih dan tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk." "Yah. Kalau begitu Rose bersih. Dia bukan pembunuhnya. Meskipun aku merasa ada yang ganjil."  "Kau benar, Al. Aku juga merasa ada yang aneh. Seolah semua terlalu mudah. Tiba-tiba ada pesan dari pacar kakak, lalu menemukan pacar kakak, dan sebentar lagi akan mendapatkan pembunuh kakak. Ini terlalu mudah, seolah seseorang telah..." "telah merencanakan semuanya,” sambung Albert, “tapi ini tidak semudah yang kau pikir. Saat kau menemukan Rose, nyawaku hampir melayang. Rose juga memiliki anggota genk mafianya. Seberapa pun dia percaya kepadamu, dia pasti akan mengawasi sekitarnya terlebih dahulu dan melumpuhkan musuh satu per satu. Seperti yang dia lakukan kepadaku." "Ternyata kita masih di langkah awal. Kita hanya perlu memikirkan bagaimana menjebaknya kan?" "Benar." "Apakah ada kemungkinan Derry adalah pacar kakak?" "Apa kau pernah melihat tato di pergelangan tangannya?" tanya Albert. "Aku tidak memerhatikan Derry sedetail itu kemarin." "Kalau begitu kita tunggu hasil Dillon dan Haris. Jika Derry adalah Rose, maka Derry pasti menghilang dari pengawasan mereka atau bisa saja dia melumpuhkan mereka." "Bukankah saat kau izin ke toilet, dia masih dalam pengawasan Dillon dan Haris?" "Benarkah?” Sebelah alis Albert terangkat “Apa Dillon benar-benar mengawasinya dengan seketat itu? Bagaimana jika begini, Derry mengawasimu dari jauh, kemudian melihatku. Saat ada kesempatan, dia melumpuhkanku. Dillon dan Haris mungkin tidak mengikutinya ke dalam toilet agar tidak  membuat Derry curiga, lalu Derry melumpuhkanku dengan cepat kemudian kembali dalam pengawasan Dillon dan Haris." "Bagaimana menjelaskan Derry yang akhirnya menemukanku tapi di saat yang bersamaan ada Derry yang diawasi oleh Haris dan Dillon?" Albert menyeringai. "Kita tidak tahu apakah Dillon dan Haris masih mengiutinya atau tidak. Mungkin saja Dillon dan Haris kehilangan jejak Derry, dan saat itu terjadi, Derry menjadi Rose dan menemuimu." "Haaah. Terlalu banyak analisa hari ini. Aku lelah. Kita tunggu saja telepon dari Haris. Halah, aku lupa mengangkat telepon yang berdering sejak tadi, Al. Itu pasti Dillon." Sebelum Alcina menelepon Dillon, pria itu telah muncul di hadapan mereka dengan baju penuh darah. Dia mengatakan sesuatu yang sakral. "Haris sekarat." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN