[Senin, 18 September, Pukul 00.15, Kota B.]
Taksi menepi di sebuah rumah yang ramai oleh pria berjaket hitam. Mereka memberi jalan saat Alcina keluar dari mobil sport merah Dillon. Dia berdiri di depan satu-satunya rumah yang terdapat lampu penerang—sementara area kanan, kiri dan depan gelap. Alcina bisa melihat beberapa rumah yang belum selesai dibangun. Dia tidak menyangka kakaknya yang perfeksionis akan memilih tinggal di tempat yang luasnya tidak sesempit ruang tamu di rumahnya di kota J.
Alcina menghampiri seorang pria tinggi yang mengenakan jaket hitam dan seragam hijau loreng yang coba dia tutupi. Tanpa ragu, dia menendang tulang kering pria itu. Sang letda (letnan dua) mengaduh pelan kemudian berdiri tegap kembali.
"Rumah satu-satunya di sini, huh? Apa kau tidak bisa melihat jejeran rumah di sana?" Alcina sedikit berteriak saat mengarahkan telunjuk ke rumah kosong di kanan dan kiri dari rumah yang saat ini dia pijak halamannya.
"Maaf, Nona, tapi rumah di sana kosong."
Alcina kembali menendang tulang kering sang letda. "Meskipun kosong, tetap saja bukan satu-satunya rumah di sini. Apa kau benar-benar buta, Letda Okta yang terhormat? Apa kau tidak bisa melihat perumahan di blok sebelah sana?" Alcina menunujuk perumahan di blok lainnya dengan lampu-lampu yang menyala, menandakan adanya penghuni. Dia pun melanjutkan ceramah panjangnya. "Apa tadi kau bilang? Tidak ada warga yang akan tahu? Hanya masalah waktu sampai orang-orang yang tertidur di sana menyadari pasukanmu yang beribu ini. Apa aku harus mengajarimu bagaimana caranya agar tidak mencolok?"
Beribu, sungguh perkataan yang berlebihan untuk menggambarkan sepuluh prajurit bawahan Letda Okta, tapi tampaknya Alcina tidak peduli. Letda Okta hanya bisa menghela napas, mungkin menyadari kebodohannya, mungkin juga merasa malu dimarahi oleh Alcina di hadapan yang lainnya. Tidak menunggu lama bagi Letda Okta untuk segera membubarkan pasukan.
Begitu pasukan itu pergi dengan 3 mobil pribadi, dari kejauhan terlihat beberapa warga yang keluar rumah, bahkan sekarang ada yang mendekat. Ada dua bapak-bapak yang mengenakan sarung dan memegang kentongan, juga dua pemuda—yang satu berkaos biru gelap dan satunya lagi putih—masing-masing membawa senter. Mereka berpapasan dengan mobil-mobil yang bergerak keluar kompleks.
Mungkin sebenarnya warga di blok sebelah sudah menyadari sejak beberapa jam yang lalu, saat mobil berdatangan secara berkala, tapi mencoba tidak peduli. Yah, bukan pemandangan baru melihat mobil keluar masuk perumahan, tapi masalahnya ini sudah terlalu larut, dan itulah yang mengundang penasaran mereka. Setidaknya seperti itu logika yang coba digambarkan Alcina, makanya dia marah kepada Letda Okta.
"Ada masalah apa, Non Alina?" tanya bapak buncit bersarung kotak-kotak saat dia menapak di halaman yang sama dengan tempat Alcina berdiri. Bapak perut buncit menatap Alcina dan Letda Okta bergantian. Bapak itu mungkin mengira Alcina adalah Alina. Jangan salahkan dia, karena kedua kakak beradik itu benar-benar sulit dibedakan.
Alcina mengerutkan kening sebelum menyadari keadaan. Alina, sang kakak yang 'terlampau' ramah itu pasti sudah terkenal seantero kota B ini, hingga warga blok sebelah begitu perhatian kepadanya. Dia harus bermain peran sebagai Alina yang ramah sekarang, jika tidak ingin membuat mereka curiga.
"Tidak ada masalah, Pak. Ini sepupu saya datang berkunjung, tapi datang terlalu malam karena dia sempat tersesat tadi. Bapak bisa lanjutkan rondanya,” jawab Alcina seramah mungkin.
Si bapak dan konconya hanya mengangguk mengerti. "Oh, begitu. Tadi mereka sudah masuk ke rumah, tapi Bapak tidak melihat Non Lina. Pas Bapak mau tanya, malah diusir sama anak muda yang badan tegap."
Alcina langsung menunjukkan death glare andalannya kepada Letda Okta, kemudian menatap kembali si bapak. "Iya, Pak. Saya lagi keluar sebentar cari makan, kunci tadi saya yang kasih. Ahh, sepupu saya cuma tidak mau tersorot saja kalau lagi mengunjungi saya. Maaf atas body guard tadi ya, Pak. Mereka cuma mengawal sepupu saya ini."
Si bapak menggaruk kepalanya, yang Alcina yakini tidak gatal. "Oh begitu. Bapak pikir Non Alina lagi ada masalah."
Alcina tersenyum meyakinkan. "Saya baik-baik saja, Pak. Ya sudah, Pak, saya permisi dulu." Gadis itu langsung menghentikan pembicaraan dan segera menarik letda Okta ke dalam. Dia mendudukkannya di depan sofa panjang setelah menutup rapat pintu rumah. Dillon di dalam mobil sprot merah terabaikan, lalu setelah lama tidak dibukakan pintu, dia memilih pergi.
"Saya benar-benar tidak mengerti dengan anda, Letda Okta." Alcina membuka perbincangan.
"Kau bisa bicara non formal kepadaku sekarang, Sina. Hanya kita di sini."
Alcina mendengus kesal dan menghempaskan tubuh lelahnya ke sofa. Dia melepaskan kacamata kemudian mengucek pelan matanya yang mulai menjerit ingin dipejamkan. "Kalian sudah membereskan semuanya?" tanya Alcina yang terdengar kecewa.
"Ya. Kupikir kau akan datang besok dan hanya ingin laporannya," kata Okta, terdengar menyesal.
Alcina mendesah lelah. Padahal dia ingin melihat TKP. "Sudahlah, bacakan saja apa yang kalian dapat sejauh ini."
"Aku menemukannya—"
Alcina tidak jadi menyandarkan kepala saat mendengar kalimat Okta. "Sebentar. Kau yang menemukannya?"
"Ya. Setelah kau memintaku memeriksanya, aku tiba saat malam pukul sembilan."
Mata Alcina memelotot tajam. "Kau baru menghubungiku jam sepuluh?"
"Ahh, itu karena aku harus segera menghubungi yang lainnya."
Alcina menyandarkan kepala ke badan sofa dan menatap langit-langit rumah. "Bagaimana kalian mengangkut mayatnya?"
"Menggunakan mobil pribadi. Kau bilang, jangan sampai warga curiga."
"Kerja bagus. Oh, iya, kenapa kau mendatanginya?"
"Aku rasa kau terlalu lelah, Sina." Letda Okta bergerak ke samping Alcina yang masih menyandarkan kepala ke sofa, kemudian memijat pelipis gadis itu dengan lembut. Dia melanjutkan pembicaraan. "Dari kemarin kau tidak mendapat kabar dari Alina, jadi kau memintaku melihat keadaannya. Sekarang kau ingat?"
"Hmm... Kau ahlinya dalam memijat. Baiklah sepupuku yang tampan, bisa kau lanjutkan laporanmu?"
Okta sedikit menekan pijatannya saat merasa tersinggung dengan kalimat Alcina. "Berhentilah mengatakan kekasihmu ini sebagai sepupu. Aku tidak menyangka kau bisa berbohong selancar itu tadi."
Alcina berdecak kagum. "Yah, kau saja yang tidak tahu. Aku sangat ahli dalam hal itu."
"Apa saat mengatakan mencintaiku juga berbohong, Nona Alcina Calista ?"
Alcina mengangkat bahu dan membuat Okta menghentikan pijatannya barusan.
"Kau menyebalkan," keluh Okta. Pria itu meraih ransel yang tergeletak di sebelahnya.
Alcina baru menyadari betapa banyak barang di sofa. Ransel, kertas-kertas, plastik, bahkan makanan dan beberapa air mineral. Dia lantas menunjuk makanan dan minuman di sebelah Okta.
Sadar akan keinginan Alcina, Okta lalu mengambil dan memberikan kepada gadis itu. Detik berikutnya, dia mengeluarkan catatan dari ransel. "Diduga kematian terjadi pukul 6 sore. Saat aku menemukannya, dia tergeletak di lantai sambil bersandar ke tiang ranjang. Mata tertutup, tangan terbujur di samping, kaki kiri menekuk sementara yang kanan terulur ke depan. Kepala tertunduk dengan rambut terurai menutupi wajah. Tangan kiri memegang pisau."
"Bagaimana pakaiannya?"
"Sepertinya itu gaun selutut warna putih."
"Aku jadi mengingat film kemarin. Gaun berdarah. Oke, lanjutkan."
Okta sedikit membuka mulutnya saat mendegar Alcina. "Akan kulanjutkan. Terdapat luka di leher, 3 sayatan cukup panjang. Hasil otopsi mungkin akan keluar minggu depan, itu paling cepat. Secara penglihatanku, tidak ada tanda kekerasan di tubuh mana pun. Oh aku hampir lupa, dia terkunci di kamar. Aku mendobraknya saat masuk."
"Apa saja yang kau temukan di kamarnya?" tanya Alcina setelah mengunyah satu giitan besar hamburger.
"Di kasurnya ada ponsel yang mati, dompet, tas, kalung, jam tangan, cincin yang sama yang seperti kau pakai dan n****+. Di meja riasnya ada kunci, kosmetik dan notebook berisi catatan tugas kuliahnya. Di dinding kamarnya terpajang beberapa foto Alina bersama anak-anak, yang belakangan kami tahu dari panti asuhan Kasih Bunda di salah satu aerah di kota B ini. Ada pula jadwal tugas kampusnya, alamat sebuah percetakan, foto beberapa rumah sakit dan banyak puisi di dinding. Itu saja."
"Apa aku bisa melihat ponselnya ?"
"Semua barang yang kusebutkan tadi telah dibawa untuk pemeriksaan."
"Sejauh ini aku bisa mengatakan kakak dibunuh. Kenapa harus menyayat sampai tiga kali? Bukankah sekali saja sudah menyebabkan kematian?"
"Kau mungkin benar. Tapi kita tidak tahu seberapa dalam luka sayatannya."
"Ya, aku memang tidak terlalu mengerti. Aku sudah sangat lelah. Aku ingin tidur sebentar."
"Baiklah, aku akan membereskan sofa dan kau bisa tidur."
"Okta..."
Okta yang sedang memindahkan beberapa kertas dan plastik ke lantai, mendongak. "Hmm?"
"Apa daerah ini sudah diperiksa? Aku mau seluruh rumah diselidiki. Sidik jari, sidik kaki atau apa lah itu."
"Jangan khawatir, kami sudah melakukan clear up pada seluruh tempat di rumah ini. Kau bisa bebas berjalan sesukamu ke mana pun kau mau." Okta tersenyum untuk menghilangkan wajah khawatir Alcina.
"Yah, baguslah. Aku hanya ingin di sini."
"Sina?" Okta masih melanjutkan membereskan beberapa kertas dan berbicara tanpa menatap Alcina—yang menyandarkan kepala ke sofa setelah selesai menikmati big burger-nya.
"Ya?"
"Apa kau ingin pelukan?"
"Hmm, kurasa ya."
Okta mendekat dan memeluk Alcina. Air mata membasahi pipi Alcina dan Okta mengusap kepala gadis itu dengan penuh sayang.
"Aku pasti akan menemukan pembunuhnya. Kalau benar kakak bunuh diri—meski aku sangat yakin dia dibunuh, aku akan mencari alasannya.” Alcina semakin membenamkan wajahnya pada d**a bidang Okta, dan tubuhnya gemetar hebat. “Aku seharusnya bersamanya."
"Tidak, Sina. Jika bersamanya, kau juga mungkin akan mati."
***