Gabi menyadari ada sesuatu yang bergeser dan sedikit berbeda dari sang bos. Melihat pria kaku dengan tempramentalnya yang tinggi setiap saat nampak berseri-seri pagi ini. Padahal tumpukan berkas yang perlu dia urus sudah sedemikian menggunung dan memerlukan pemeriksaan dan tanda tangan darinya. Sebetulnya ada desas desus yang beredar di kantor pagi ini, namun Gabi tidak mau tahu dari issue. Dia mau tahu langsung dari Erwin. Kemudian matanya mengernyit tatkala melihat ada cincin di jari manis pria itu. Setahunya sang bos cuti untuk menghadiri pernikahan adiknya. Tapi jari manis ditangannya terlalu menarik untuk dapat dia abaikan begitu saja.
Gabi masuk kembali ke ruang kerja Erwin dan meletakan satu tumpuk berkas lainnya di meja si pria.
“Maaf Sir, karena cuti yang ada habiskan selama sepekan pekerjaan anda jadi menggunung setinggi ini.”
Erwin terlihat memberenggut, sebuah reaksi yang membuat wanita itu sekali lagi dibuat keheranan. Sebab selama dia menjadi patner kerja pria itu tak pernah sekalipun dia mengeluh atas segala macam pekerjaan yang perlu dia bereskan. Malah pria itu akan sangat menikmatinya dan akan menghabiskan sebagian dari hidupnya untuk bekerja lembur hingga larut malam. Baginya itu seperti rutinitas namun hari ini dia sepertinya tidak mood untuk kembali pada dirinya di masa lalu.
“Aku akan melewatkan kerja lembur hari ini, aku akan menyelesaikannya besok.” Sahut Erwin. Pria itu melirik kearah jam tangannya. Sebuah senyuman terpatri di wajahnya meski begitu tipis.
“Maaf Sir bila saya lancang, tapi kita tidak memiliki janji temu dengan siapapun hari ini,” Gabi berkata. Wanita itu mengecek schedule ditangannya dan memang biasanya bila Erwin absen dia akan melakukannya untuk pertemuan dengan client. Dia khawatir tidak melewatkan sesuatu. Namun melihat Erwin menatapnya dengan hembusan napas berat, Gabi tahu bahwa itu bukan alasan sebenarnya.
“Iya, memang bukan karena alasan itu aku mangkir dari pekerjaan hari ini. Hanya saja aku punya urusan pribadi untuk diselesaikan,”
“Erwin, kali ini aku akan bicara sebagai temanmu. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu hari ini? Setelah kau kembali dari pernikahan adikmu kau jadi sosok yang berbeda. Apalagi dijarimu, kenapa ada cincin pernikahan disana? Yang menikah kan adikmu,”Gabi ambil suara. Sebenarnya orang-orang dikantor ini mengetahui seluk beluk antara dirinya dan Erwin. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dulu Erwin pernah tertarik padanya. Dan Gabi mengambil kesempatan daripada rasa ketertarikan yang Erwin miliki padanya untuk meraih posisi ini dan mempermainkan pria itu semaunya. Gabi merasa waktu-waktu terakhir pria itu memiliki perasaan yang sama padanya sehingga dia pikir tidak akan ada masalah apa-apa. Namun hari ini tidak.
“Ah, karena sesuatu terjadi pernikahan adikku batal dan aku yang menikah kemarin,” betapa terkejutnya Gabi atas pengakuan yang terlampau santai dari Erwin. Bukankah dengan kondisi seperti ini menegaskan bahwa pria itu telah melepas dirinya? Bahwa ternyata pria itu berhasil beranjak dari jeratnya dan membuat wanita lain yang mengambil posisi untuk menarik perhatiannya? Gabi tidak suka itu.
“Apa maksudmu kau menikah? Sejak kapan kau punya kekasih gelap? Apa skenarionya seperti yang aku bayangkan? Kau menghamili dia dan terpaksa menikahinya?” tuduhan itu memang terlalu frontal namun Gabi tidak bisa menahan dirinya karena emosi berlebihan yang dia rasakan di hatinya saat ini. Terbakar dan panas.
“Ada apa denganmu?” Erwin menatapnya dengan aneh, kedua alisnya berkerut tajam. Untuk pertama kalinya Erwin memberikan rupa seperti ini padanya. Padahal dulu… padahal.. satu pekan lalu dia masih memandangnya dengan penuh ketertarikan.
“Kalau bukan begitu, siapa yang kau nikahi?” tuntutnya tajam.
“Aku menikahi kekasih Rein,” Erwin membalas tak kalah tegas pula. Matanya sedemikian tajam balas mengintimidasi Gabi.
Mata Gabi membelalak lebar. “Kau menikahi Hanjie?”
“Ya,”
“Tapi bukankah itu aneh? Maksudku kau menikahi kekasih adikmu sendiri dan kau terlihat senang dimataku,” terlalu aneh, apa Hanjie pernah menggoda Erwin sebelum ini sampai pria itu bisa memberikan seluruh hidupnya dengan mudah.
“Ya karena dia sosok istri yang menarik. Dan memiliki istri itu ternyata menyenangkan. Aku harus pergi sekarang Gabi, kau juga boleh pulang. Aku harus menjemput istriku ke kantornya.”
Erwin meraih jas dan tas kerjanya dan berlalu begitu saja. Pria itu sepertinya tidak peka akan puncak amarah yang Gabi rasakan saat ini.
“Bisa-bisanya kau terpincut oleh wanita lain. Padahal kau selalu bertekuk lutut padaku Erwin. Kenapa dengan mudahnya kau perlakukan aku seperti orang asing begini?” kedua tangannya mengepal erat di samping tubuh. Jelas Gabi tidak boleh tinggal diam sebelum pria itu benar-benar jatuh cinta. Dia akan kehilangan ikan besar dihidupnya jika membiarkan Erwin pergi begitu saja dari jeratnya.
***
Erwin muncul dikantorku pukul lima lebih lima belas menit. Tidak biasanya pria itu terlambat dan mengingkari janjinya. Maka ketika dia tiba di kantorku dengan penampilan payah dan wajahnya yang gusar aku bisa menebak bila dia merasa bersalah karena sedikit terlambat.
“Sir Erwin, apa anda memiliki janji temu dengan Nyonya Hanjie? Saya tidak memiliki informasi apapun tentang kunjungan anda hari ini,” dan kurasa dia sedang menghadapi drama dengan resepsionist kantorku berkat penampakannya hari ini.
“Tidak, aku kemari untuk menjemput istriku,” ketika dia berkata sedemikian tegas, aku mulai melangkahkan kakiku menuju kearahnya. Gema sepatu hak tinggiku kontan menarik perhatian semua orang. Langkahku yang anggun mendekatinya justru membuat raut muka Erwin terlihat bersalah bukan main.
“Anda terlambat, lima belas menit Sir Erwin,” kataku padanya sambil melirik arloji di tangan kiriku. Resepsionistku membungkukan tubuhnya sebagai penghormatan padaku. Kuberikan dia senyumanku dan lantas menarik sebelah tangan Erwin dengan ringan dan Elegan. “Saya harap bisa mendengar alasan yang cukup memuaskan tentang keterlambatan anda di moment ini, Sir.” Kataku lagi. Pria itu menghela napas.
“Berhenti bicara dengan formal begitu, aku minta maaf Honey,”
“Aku tidak mendengar ada alasannya dari perkataanmu barusan,” namun tiba-tiba saja dia meraih sebelah tanganku, membawanya menuju kebibir dan membubuhkan sebuah kecupan disana. Sial, kenapa pula aku bisa merasakan dengan jelas efek dari tindakannya ini?
“Sudah tidak marah lagi?” ya, kuaikui Erwin pandai meredakan amarahku. Aku akan menganggapnya impas sekarang. Dan pria itu nampak tidak melepaskan diriku meski barang sejenak. Dia lantas meraih tanganku dan menuntunku keluar, menunjukan pada semua pasang mata betapa romantisnya hubungan kami. Dan aku sendiri pun tidak menolak itu dan cukup membiarkannya saja. Ketika kami masuk kemobil pria itu sejenak melirik Kearah arloji ditangan kanannya.
“Kurasa kita tidak punya cukup waktu untuk pulang dan berganti pakaian.” Ujarnya kemudian sambil kedua tangannya sibuk memegang setir kemudi dan mengeluarkan mobilnya untuk keluar dari parkiran.
“Lalu apa saranmu karena keterlambatan kita?”
“Kita akan beli pakaian baru dan berganti di apartmentku,” tutupnya cepat, dengan mata yang masih fokus untuk melihat kearah jalanan.
“Kau masih punya apartment ditengah kota?” aku tahu pria ini kaya, namun memiliki property dimana-mana rasanya aku seperti mengencani tokoh dalam cerita fiksi meskipun kenyataannya memang seperti itu. aku menikahi pria super berada jadi mestinya aku tidak perlu aneh soal kekayaannya yang berlimpah ruah dan cukup untuk tidak membuat keturunan kami tidak hidup melarat. Tunggu keturunan? Mengapa aku sampai berpikir kearah sana?
“Lucu mendengarmu bertanya seperti itu padaku,”
“Aku tahu. Jadi kuharap kita skip saja percakapan soal itu,”
“Tapi kau yakin tidak penasaran apa yang aku lakukan di apartment yang tidak kuceritakan sebelumnya itu?”
“Memangnya kenapa?”
“Kalau kubilang aku pernah mengundang beberapa wanita kesana apa responmu akan berbeda?” sejenak aku mengerutkan keningku ketika dia berkata demikian. Benarkah?
“Honey, jangan menatapku dengan cara seperti itu. Aku hanya sering menggunakannya sebagai tempat aku beristirahat jika sudah terlalu kelelahan. Karena rumah kita kan cukup jauh dari perkotaan,” rasanya lucu saat Erwin mengatakan rumahnya menjadi rumah kita. Seolah aku sudah dia akui menjadi bagian dari hidupnya. Bagaimana bisa dulu aku tidak menyadari ada pria sesempurna ini disekitarku? Ah.. kurasa karena pesona Rein dimataku lebih hebat ketimbang kakaknya. Cinta memang sebuta itu. Tidak mengherankan.
Kemudian tanpa kusadari Erwin telah membawaku pada sebuah butik ternama. Kini aku menatapnya dengan tanda tanya besar. Dia serius membeli baju baru?
“Memangnya kita perlu baju baru? Bukannya acara yang akan kita hadiri hanyalah makan malam keluarga biasa?”
Pria itu tidak berkomentar apapun untuk menyanggah perkataanku. Sebagai gantinya dia malah menaikan sebelah alisnya seolah menantikanku untuk memberikan sebuah argumentasi lebih lanjut dari pertanyaan yang aku ajukan padanya barusan. Namun aku tidak memberikan argumentasi tambahan dan balik menanti respon darinya.
“Aku memang sudah punya baju ganti, tapi kau kan tidak nyonyaku sayang. Aku tidak ingin membawa istriku tampil dengan pakaian seadanya bekas bekerja seharian. Lagipula kau perlu tampil mengesankan didepan mertua dan mantan pacarmu,” dan aku merasa dia menekan kalimat terakhirnya. Membuatku sedikit tergelak karena aku mencium adanya gelagat cemburu dari pria yang sudah menjadi suamiku saat ini.
“Oh iya, aku lupa soal mantanku yang mungkin muncul,” ujarku iseng dengan menekan balik kata ‘mantan’ didepan Erwin. Pria itu terlihat mendengus, namun tidak marah seperti biasa Rein lakukan padaku bila aku menaruh perhatian pada sesuatu yang bukan dirinya.
“Bisa saja dia datang dengan Zofia, kurasa kau perlu mempersiapkan mentalmu juga,” Erwin memperingatiku, meski nadanya terdengar lebih pada menyindir daripada memberiku peringatan. Bisa saja pria ini membalikan keadaan. Tapi aku percaya bahwa Erwin bukanlah pria yang akan tinggal diam bila aku dipermalukan oleh Rein. Kurasa dia akan bertindak adil menjadi suamiku sekaligus kakak bagi adik bungsunya.
Aku tidak ingin membahas lebih jauh pertikaian kecil ini dan lebih memilih untuk maju lebih dulu. Masuk kedalam butik dan menyelami beberapa pakaian yang menarik mata tatkala aku menginjakan kakiku ketempat ini. Pria itu tidak mengatakan apapun dan hanya berdiri melihatku yang sibuk memanjakan mata dengan berbagai model yang dijajakan. Beberapa pramuniaga mendatangiku untuk memberiku bantuan. Sesekali aku melirik kearah Erwin yang rupanya sudah disibukan bicara dengan seseorang dibelakang sana. Perempuan dengan pakaian rapi, membuatku mengerutkan keningku sendiri. Dan terimakasih berkat diriku yang terdistraksi oleh pemandangan itu, aku lantas mengambil asal salah satu baju yang kupikir akan cocok untuk mengkonfrontasi percakapan mereka. Sebab entah mengapa aku dibuat penasaran dengan apa yang mereka bicarakan sebab Erwin sampai perlu tersenyum menanggapi pembicaraan dari perempuan itu.
“Aku selesai darling~” kataku tiba-tiba dan menyela pembicaraan mereka berdua dengan membawa satu pakaian ditanganku. Erwin sedikit terkejut karena aku yang tiba-tiba saja hadir menjadi orang ketiga diantara pembicaraan mereka. Aku melirik kearah wanita berpakaian rapi itu seolah memberitahukan padanya untuk mawas diri. Dan yang kudapati perempuan itu hanya mengaggukan kepalanya lalu berlalu begitu saja.
“Tidak biasanya kau seagresif itu memanggilku dengan sapaan manis,” itu adalah komentar pertama yang aku dapati dari Erwin setelah aksi yang aku lakukan.
“Ayo lekas,” kataku cepat. Pria itu hanya tersenyum ketika aku berlalu dan masuk kemobilnya seorang diri. Sementara dia menuju meja kasir dan membayar pakaian yang aku ambil. Dia kembali lima menit kemudian dengan ekspresinya yang terlihat berbinar.
“Senang ya mengobrolnya,” tuturku, aku tidak mengerti mengapa aku bisa sekekanakan ini. Tapi aku merasa kesal saja melihatnya dan itu perlu aku utarakan.
“Mengobrol apa?”
“Yang tadi,” ujarku sebal sebab dia malah balik bertanya. Apa dia sedang pura-pura dan menikmatinya?
“Yang mana?” kenapa Erwin jadi dua kali lipat menyebalkan? Apa dia tidak peka?
“Yang tadi itu saat aku memilih baju,” ujarku ketus. Pria itu terdiam, seperti menimbang-nimbang sesuatu. Namun pada akhirnya dia tidak mengatakan apapun sehingga perjalanan yang kami lalui terasa sedikit lebih lama. Ketika kami terhenti, barulah dia melirik kearahku secara penuh. Pria itu tidak mengatakan apa-apa dan malah memasang wajah stoicnya. Meski begitu dia masih mau menggandeng tanganku untuk masuk ke apartment mewah miliknya.
Ketika kupikir kami berada dalam situasi perang dingin, dan aku merasa tidak ada lagi yang perlu diperpanjang. Aku menyerah dan hendak masuk begitu saja memberi jarak padanya. Tapi dia tidak membiarkanku pergi dan malah memenjarakanku diantara dirinya dan tembok.
“Apa istriku sedang cemburu?” katanya setelah jeda waktu yang panjang. Aku tidak menjawab tanya itu dan lebih memilih memutar kedua bola mataku sebal. Buat apa ditanyakan?
“Aku mau mandi,” balasku malas. Pria itu malah tersenyum dan mengecup dahiku pelan. Lalu dia menempelkan dahinya didahiku. Situasi aneh yang baru pertama kali aku rasakan dan alami.
“Wanita tadi adalah manager toko, dia bertanya padaku apakah kau istriku atau bukan. Lalu aku jawab bahwa kau adalah istriku. Dia lalu tersenyum dan memberikanku sebuah penawaran. Dia bilang akan meluncurkan lingerie baru untuk musim mendatang dan menawarkanku barangkali aku mau beli satu. Tapi aku belum memberi jawaban soal itu karena kau tiba-tiba datang diantara kami dan memecah percakapan.” Ah.. sial. Rasanya aku ingin menggali tanah sedalam mungkin dan bersembunyi disana sekarang juga. Aku sangat malu karena sempat salah mengira. Dan mengapa pula aku berpikir yang tidak-tidak. Apakah setelah waktu singkat kebersamaan kami lantas aku betulan jadi tertarik pada Erwin ?
“Aku tidak cemburu,” balasku cepat. pria didepanku tergelak.
“Aku tahu, kau tidak cemburu padaku. Tapi sekarang aku ingin bertanya padamu,”
“Apa?”
“Kau mau kubelikan lingerie baru?”
Sial! Bisa-bisanya dia membahas soal lingerie padahal kami baru selesai dari perang dingin soal kesalahpahaman tak berdasar yang sempat aku tuduhkan padanya.
“Apa diotakmu hanya ada seks?”
“Tidak juga. Oh ya tadi kau bilang mau mandi kan? Jadi ayo kita mandi,” pria itu tiba-tiba saja menyeretku masuk kekamar mandi dan melepaskan bagian atas pakaiannya dengan santai. Mengabaikan aku yang gelagapan karena tidak siap dengan apa yang hendak dia lakukan.
“Tunggu, kita? Maksudmu kita mandi berdua?”
“Bukannya lebih irit waktu jika begitu,”
“Yang ada malah makan lebih banyak waktu,”
“Begitu menurutmu?”
“Berisik dasar m***m. Aku mandi lebih dulu karena aku perlu waktu lebih banyak untuk dandan.”
“Yasudah,” Erwin angkat bahu.
“Mana handuknya Tuan?” tanyaku.
Pria itu membuka lemari yang terdekat, mengambil handuk yang berukuran cukup besar dan memberikannya padaku setengah di lempar.
“Itu. silahkan menikmati waktu anda nyonya pencemburu,” tutupnya.
“sudah kubilang aku tidak cemburu!” protesku tak terima.