Wellcome to reality b***h!

2130 Kata
Lokasi dimana acara makan keluarga tersebut dihelat di sebuah restaurant ternama. Untuk jenis orang kaya macam keluarga suamiku hal seperti ini bukan hal yang aneh. Tapi tak kukira mereka cukup rendah hati untuk tidak membooking seluruh restaurant demi kenyamanan dan juga privasi. Sebab ketika aku melangkah masuk suasananya sudah lumayan hiruk pikuk. Denting suara piano dengan genre music jazz mengalun lembut di sebuah tempat khusus. Benar-benar tipikal hiburan orang kalangan atas. Setidaknya aku bersyukur memakai gaun yang pantas dan cocok malam ini. “Selera ibu boleh juga, pemilihan tempat yang chic hanya untuk sebuah makan malam keluarga. Keren menurutku,” komentarku jujur, Erwin melirik kearahku. Wajahnya sudah lebih stoic sekarang. Memang seperti itu. pria itu hanya akan bersikap liar dan kekanakan ketika situasinya hanya menempatkan kami berdua ditempat yang sama. Sedangkan bila diluar rumah, kami akan kembali pada mode kami sendiri. “Ya, begitulah. Sebetulnya ayah kurang suka dengan jenis restaurant dengan kesan seperti ini. Beliau lebih suka dengan restaurant yang dekorasinya sederhana dan minimalis. Sepertinya beliau memilih cara aman agar tidak bertengkar dengan ibu. Dan menu makanan disini lumayan enak,” sahutnya pula. Ketika kami semakin masuk kedalam kami disapa oleh seorang pria muda yang kurasa adalah manager yang mengelola restaurant ini. Dari penampilannya aku bisa mengasumiskan bahwa usianya mungkin sebaya dengan Rein. Pria itu tersenyum pada kami berdua. Melihat dari gelagatnya sepertinya dia mengenal Erwin sebab sambutannya kelewat ramah untuk ukuran tamu yang asing. “Sir Erwin, keluarga anda sudah menunggu. Mari ikuti saya,” tuturnya sopan dengan etika yang berkelas. Sepertinya dia bukan orang sembarangan. Melihat dari tingkah lakunya tentu saja. Kami melewati para pengunjung yang lain dengan langkah pasti, namun dibalik ketidakpedulian kami terhadap suasana disekitar rasanya kehadiran kami berdua terlalu menyedot perhatian. Persetanlah! Aku hanya semua ini cepat berakhir. Berdrama membuatku sedikit mual dan muak. Kami dituntun menuju sebuah private room yang kurasa harganya sama dengan sewa apartment setahun penuh. Sebab ruangan itu seperti memang disiapkan secara khusus dan terpisah dari para pengunjung lainnya. Ruangan VIP mungkin sebutan sederhananya. Erwin menggenggam tanganku sedikit erat, dia mungkin salah mengira bahwa aku akan tegang menghadapi mantan kekasihku. Dan sialnya dia benar soal itu, perutku tiba-tiba melilit dan rasa ingin lari lebih tinggi dari biasanya. Ayolah.. aku bukan seorang pengecut ulung yang bisa melakukannya dengan mudah. Meskipun aku ingin. “Siapkan dirimu, kurasa badai akan datang,” bisik pria itu secara seduktif ditelingaku. Ah.. kenapa aku selalu merasa lemah bila berhadapan dengan Rein ya? Ini aneh.. Begitu pintu ruangan dibukakan oleh sang manager, mataku langsung lurus tertuju pada sosok seorang pria berambut raven yang dengan santainya duduk sambil menyesap wine ditangannya. Disebelahnya telah duduk gadis berkacamata yang nampaknya cukup terkejut atas kehadiran kami. Wah apa ini? Nampak seperti tidak memiliki dosa sama sekali mereka berdua. Demi Tuhan saat ini aku teramat sangat ingin menangis, berteriak bahkan memukul si i***t Rein sekencang-kencangnya. Pengkhianatan yang dia lakukan padaku terlalu berbekas, sampai aku perlu mengingatnya seumur hidupku. Penghinaan yang dia lakukan. Haruskah aku maafkan? Oh.. tentu tidak. aku melirik kearah gadis yang menemaninya. Sepertinya menjambak rambutnya hingga botak atau menampar pipinya sampai tak terbentuk tidak akan cukup untuk mengekspresikan betapa pilunya hatiku sebab kepercayaanku padanya malah dibalas dengan setega ini. Ya Tuhan, aku ingin kedua entitas yang ada dihadapannya saat ini tersiksa dan disulut api neraka j*****m. Aku sudah terlanjur terlalu marah dan benci pada mereka berdua. Namun aku beruntung karena aku cukup terdidik sehingga aku bisa mengatur ekspresiku dengan baik. Begitu pula dengan amarah yang telah menggunung dilubuk hatiku yang terdalam. Akan aku balas. Pertunjukan akan aku mulai, inilah pernikahan balas dendam yang sedang aku lakoni dengan sungguh-sungguh. Kugandeng tangan Erwin dengan mesra. Sengaja menempelkan tubuhku padanya. Tak lupa dia melangkah dengan sangat anggun dan memberikan semua orang yang telah menunggu kehadiran mereka dengan sebuah senyuman malaikat yang memikat. Erwin mengambil perannya dengan tanggap. Pria itu dengan sopan membungkukan tubuhnya begitu pula dengan diriku dan memberi salam pada semuanya. “Maaf kami terlambat,” pria itu berkata, dengan sebelah tangannya yang secara otomatis melingkar pada pinggangku. Zofia dan Rein nampak tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka atas penampilan perdana kami setelah pernikahan di hadapan keluarga besar. Sepertinya belum ada yang memberitahu mereka perihal apa yang terjadi pasca pernikahanku yang terancam gagal total. Dan ekspresi mereka saat ini. Oho.. lumayan, tidak buruk untuk ukuran orang yang belum tahu soal apapun. “Rein, katanya kau baru kembali kemarin ya?” Sebagai seorang kakak laki-laki yang memiliki tingkat sayang yang akut aku tidak mengira bahwa Erwin akan menyerang secara langsung seperti ini. Aku sendiri tidak tahu darimana dia mendapatkan informasi itu. Tapi dari sudut pandangku, orang seperti Erwin memang tidak akan sulit mendapatkan apapun yang dia inginkan dan butuhkan. “Ah iya, aku baru kembali dari liburan,” aku tidak mengerti mengapa dia bisa sebebal itu. dasar tidak tahu malu, bisa-bisanya dia mengabaikan aku yang jelas-jelas adalah mempelai wanitanya yang dia tinggalkan di hari pernikahan kami. Mendengar dia sesantai itu tentu saja aku gemas bukan main. Bisa-bisa dia pergi tanpa kabar lalu bilang pada semuanya bahwa dia berlibur. Dan lagi berlibur dengan si Zofia ini? Oh dasar B*debah si*lan! “Begitu ya, oh iya Rein kurasa ayah dan ibu belum memberitahumu soal ini. Aku dan Hanjie sudah menjadi suami istri sekarang. Kami menikah saat kau kabur begitu saja. Tapi tidak usah dipikirkan, aku tidak keberatan karena berkatmu aku punya istri yang cantik dan pintar,” aku terkesiap saat Erwin sekali lagi buka suara. Aku melirik kearah Erwin dengan tatapan yang tidak bisa kupercaya. Padahal sejak aku mendudukan diri dan bergabung di meja ini aku bahkan memulai debutku sama sekali. Justru malah Erwin yang sibuk melancarkan aksi. Apa dia berpikir bahwa aku akan lemah dan tidak bisa menyerang Rein sampai dia mewakilkanku beraksi? Lalu diam-diam aku melirik kearah Rein, meski singkat aku bisa melihat raut muka Rein yang menggelap. Terlebih saat aku sadar kemana arah pandangnya menuju. Matanya terlihat tajam menatap pada tangan Erwin yang melingkar nyaman di pinggangku secara posesif. Oke kurasa waktunya bagiku untuk debut bukan? Erwin sudah memberikanku rambu-rambunya aku tinggal menjalankannya secara natural. Aku menatap Rein dan tersenyum padanya. Lalu mengecup pipi Erwin begitu saja, membuat suasana semakin panas. Aku ini sedikit licik sayang, aku akan selalu totalitas dalam hal apapun. Termasuk dalam pembalasan dendam. “Aku tersanjung, daling. Sekarang aku mengerti mengapa mereka bilang bahwa kau putra terbaik di keluarga besar kita. Kau pandai sekali memuji dan bahkan kurasa kau lebih baik dalam segala hal. Aku menyesal tidak bertemu lebih dahulu dan tahu lebih cepat,” aku tahu betul bahwa Rein adalah tipikal pria dengan ego setinggi langit. Dia benci kalah dari kakaknya dibanding siapapun. Karena itu tanpa rasa segan sedikitpun kusenggol titik vitalnya itu sehingga dia cukup terusik dan mendidih hanya dengan sebuah kalimat yang aku utarakan. Dan benar saja, aku bisa melihat wajah Rein yang menahan amarahnya sendiri. Sedangkan Zofia tidak beraksi apapun selain menundukan kepalanya dalam-dalam. Jadi situasinya disini adalah sipria tidak tahu malu sedangkan perempuannya cukup tahu diri ya? Kombinasi yang bagus. Setidaknya dia tahu malu sedikit sampai tidak berani menatap mataku. “Ehem.. bagaimana kalau kita mulai pesan saja. Sekarang kan keluarga kita sudah lengkap. Aku sudah lapar,” putus Nyonya Frore mencairkan suasana yang jadi tegang karena pertikaian diantara putra dan menantunya tersebut. Memang dasar, dia bermaksud untuk mendamaikain situasi dengan mempertemukan mereka berdua agar dapat menyelesaikan masalah namun sepertinya sang nyonya keliru mengambil langkah. Aku menganggukan kepalaku dan kembali tersenyum menatap kearah Rein. “Aku akan membuatmu menyesal seumur hidup karena berani mencampakan wanita hebat seperti diriku,” hatiku yang sakit karena dirinya mulai membara terisi oleh gelombang dendam yang meninggi bagai ombak pasang di bulan purnama. *** Aku meletakan sendok dan garpuku dengan rapi diatas piring yang telah tandas aku cicipi. Benar kata Erwin, makanan ditempat ini sangat lezat sehingga tanpa sadar aku cukup tergila-gila untuk terisi mengisi perutku sampai aku tidak sanggup mengunyahnya. Tapi tidak. Hari ini aku akan sedikit menahan diriku untuk persoalan perut dan fokus pada pertunjukan selanjutnya. Ketika aku hendak mengambil gelas berisi wine yang tersisa, tiba-tiba saja Erwin mengulurkan tangannya meraih sesuatu di pipiku dan jangan lupakan pula belaian tangan yang teramat halus dipahaku. Berkat hal itu aku perlu mengurungkan niatku dan melirik kearahnya secara seksama. Sekarang apalagi yang sedang dia buat? Mengapa aku merasa justru dalam kesempatan ini Erwin terlalu bersemangat? “Ada sisa saus di mulutmu,” Erwin menyeka bibirku dengan jempol tangannya secara halus. Sejenak aku lupa sedang ada dimana. Apalagi ketika dia menjilat jempol bekas dia menyeka sesuatu dibibirku yang katanya saus itu. Kontan Tuan Pixys dan Nyonya Ferore nyaris tersedak melihat lakon putra sulung mereka yang kelewat perhatian dimuka umum. Aku sendiri memang tahu ini akan membuat heboh, sebab saat aku masih bersama Rein saja aku merasa bahwa Erwin tidak pernah peduli pada wanita meskipun kurasa teman kencannya ada dimana-mana dan dia kerap berganti sesukanya. Tuan Pixys dan Nyonya Ferore bahkan sempat berada dalam fase pasrah bahwa putra mereka lebih memilih menjadi bujang lapuk ketimbang menikahi wanita yang sudah mengantri untuk diperistri olehnya. Dan kurasa dalam hati mereka berdua, dia bersyukur akan tragedy yang terjadi sehingga menjadi berkah. Apalagi tatapan mereka padaku yang seperti sedang menagih sesuatu. Menggendong cucu kurasa, memang apalagi yang diharapkan dari seorang mertua terhadap menantu perempuannya? Karena sudah kepalang basah maka ku sambut alur ceritanya dengan lebih antusias lagi. Sesekali aku akan tertawa saat Erwin berbisik padaku, meskipun sesungguhnya kata-kata yang dia bisikan menyebalkan. Dia hanya membisikan kata ‘honey’ berkali-kali sampai aku mual mendengarnya. Tapi demi berlangsungnya cerita ini dengan akhir memuaskan aku harus terlihat menanggapinya dengan serius. Tentu saja. dan terimakasih karena bakat manipulative yang aku miliki, Rin terlihat duduk di sebrang sana dengan memasang tampang sebal tak tertahankan. Sesekali aku kerap memergoki pria itu meremas serbetnya secara tidak sengaja ketika Erwin bertingkah menggodaku didepannya. Aku sendiri merasa aneh dengan betapa naturalnya kami menjalankan peran ini. Kemesraan yang saat ini kami pertontonkan seperti bukan sebuah dusta belaka. Padahal tidak ada tanda-tanda yang jelas bahwa kami memiliki hubungan special khususnya hubungan romantis. Tapi itu bagus, membuat Rein berprasangka bahwa kakaknya mengincar diriku sejak dahulu akan menjadi skenario balas dendam terbaik yang aku miliki. Terlebih pembuktiannya saja sudah segamblang ini. Erwin yang menikahiku menggantikan dirinya. Sudah jelas Rein akan berspekulasi seperti itu dan aku menantikannya. Aku menampilkan sosokku yang bahagia dan lebih bebas. Aku harap dengan begini dia bisa melihat jelas bahwa dia tidak memiliki pengaruh apapun dihidupku. Orang tidak tahu malu sepertinya memang pantas diberi pelajaran terutama si jalang yang mengaku sahabatku dan menempel erat padaku dulu padahal main belakang denganku. Pertunjukanku semakin sukses tatkala arah pandangku dan Zofia bertemu. Gadis itu sepertinya tidak nyaman akan situasi yang telah aku ciptakan. Apalagi ketika aku melirik kearah Nyonya Ferore yang menatap sinis terhadap Zofia dan terang-terangan tidak mengajaknya bicara. Sepertinya keluarga besar suamiku ini marah besar atas masalah yang ditimbulkan oleh putra bungsu mereka. Aku harap dia menyesal datang kemari dan merenungkan apa yang sudah dia perbuat dimasa lalu. Nyaris menghancurkan hidupku adalah dosa yang tidak bisa kumaafkan dari si parasite lacur ini. “Bagaimana bulan madumu sayang? Sungguh disayangkan saat menikah aku harus pulang lebih awal karena pekerjaanku tidak bisa menunggu,” tanya Nyonya Ferore padaku. Memang betul, wanita itu hanya singgah sebentar sebelum acara benar-benar dihelat sehingga hanya ada Tuan Pixys saja disana pada waktu itu sebagai perwakilan dari mertuaku. Aku memaklumi absennya Nyonya Ferore sebab dia memang tipikal wanita yang penuh dengan kesibukan. Aku tidak masalah dengan itu karena dia sendiri memang sudah mengabariku jauh-jauh hari. “Sangat menyenangkan Nyonya, saya bahkan tidak mengira bahwa Erwin memiliki banyak kejutan. Tidak mengherankan bila dia sering bergonta ganti pasangan,” tuturku jujur. Aku bisa melihat Erwin terlihat tidak terlalu suka dengan kalimat terakhir yang aku katakan. Namun berkatnya suasana menjadi kembali hangat. Nyonya Ferore bahkan terbahak karena mungkin dia mengira bahwa aku sedang membuat lelucon dan bahkan aku bisa melihat bahwa Nyonya Ferore mengkhawatirkan diriku karena berpikir aku terpuruk sedikit lebih lama. Aku beruntung memiliki mertua sebaik Nyonya Ferore, dia membuatku berpikir bahwa dia adalah ibuku. “Aku senang kau bisa tersenyum kembali sayang, salah satu putraku telah mengecewakanmu. Tapi aku harap putraku yang lain bisa membahagiakanmu,” ujarnya sambil melirik kearah Rein, menyindirnya. Aku suka saat Nyonya Ferore berpihak padaku begini. “Oh ya, dan tolong jangan panggil aku Nyonya lagi. Sekarang kau adalah bagian dari keluarga kami. Aku adalah ibumu sayang, biasakan diriku memanggilku ibu ya, ah.. senangnya akhirnya aku punya anak perempuan.” Lanjut Nyonya Ferore terlihat sangat sumringah menyambutku kedalam lingkaran keluarganya. Aku melirik kearah Zofia, menikmati reaksi yang dia buat sedemikian jelas. Lihat betapa iri dan dengkinya dia menatapku sekarang. Dia yang mendapatkan reaksi dingin dan kasar dari Nyonya Ferore dengan aku yang diperlakukan hangat layaknya anak sendiri. Bukankah hal itu sudah cukup menjelaskan perbedaan level diantara kami berdua? Welcome to reality B*tch! Karena kurasa kau terlalu banyak tidur seminggu ini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN