9:42

2738 Kata
Erwin tiba-tiba saja merengkuhku kedalam pelukannya, seperti prilaku seorang pria yang hendak memberikanku kenyamanan penuh untuk menumpahkan segala rasa sedih yang ada dihatiku. Rasanya lucu, sebab aku tidak bisa bereaksi sesuai dengan dugaannya. Aku tidak memiliki secuilpun rasa sentimental hanya karena perlakuannya yang teramat manis ini. Sudah kukatakan padanya bahwa aku ini wanita yang jahat, mengapa dia masih sudi memelukku dengan cara yang selembut ini? Apa dia merasa perlu untuk bertanggung jawab serta marah terhadap adiknya hingga dia perlu melakukan tindakan sejauh ini? Apa dia pikir aku mendamba adiknya? Memang. Aku teramat gila karena Rein. Sejak awal pria itu adalah pria yang tidak bisa aku dapatkan dengan mudah. Ambisiku untuk memiliki jadi tinggi karena dia sulit untuk aku gapai. Maka ketika aku telah memilikinya, dan berstatus sebagai kekasihnya aku Nmulai berlagak layaknya gadis naif jatuh cinta. Kuberikan segalanya pada dia. Kuturuti apapun yang dia mau, meskipun aku kerap perlu meredam amarahku sendiri karena pria itu selalu melakukan hal buruk padaku sebagai balasannya. Hubunganku dengannya jelas toxic tapi aku tidak ingin melepasnya. Bukankah itu tidak normal bagi siapapun? Dia menjadi candu dalam hidupku yang sudah serba sempurna. Dia membuatku tak pernah bosan dan merasakan sesuatu yang tak biasa aku dapatkan. Apa aku seorang masokis? Tentu tidak. Aku hanya wanita gila dan manipulative, aku harap Erwin tidak menyesal menikahi wanita toxic sepertiku. Meskipun rasa ketidakadilan atau rasa kasihanlah yang menuntunnya untuk menikahiku. Apa dengan aku yang diam saja dan tidak mengatakan apapun membuat dia berpikir bahwa aku wanita yang rapuh? “Kalau kau perlu untuk menangis, aku tidak keberatan memberimu sandaran. Aku yakin kau tidak akan membiarkan satu pria menghancurkan dirimu,” dia benar. Aku tidak akan hancur semudah itu. Aku mengambil inisiatif untuk melepaskan pelukan kami. Membuat jarak dengannya untuk sementara waktu. Lucu rasanya mendengar bisikan macam itu ditelinga. Sejak aku berkencan dengan Rein, dia bahkan tak pernah sekalipun memujiku meskipun aku secantik bidadari. Pria itu selalu terlihat bosan. Tapi pria disisiku sekarang seperti mau dengan sukarela memberikan seluruh jiwa dan raganya padaku tanpa memerlukan balasan. Memangnya ada pria seperti itu didunia ini? Sepertinya kehidupan percintaanku memang tidak pernah benar sejak dulu. Aku menatap mata onyx pria yang sepertinya berusaha untuk menghiburku itu, sedikit heran mengapa Erwin terlihat seperti sedang mengulum senyumnya. “Tentu saja, kau pikir wanita sepertiku akan hancur karena adik iparku sendiri?” “Nope. Karena itulah dimataku kau sangat menawan Nyonya Erwin,” aku yang tak siap dan waspada tiba-tiba ditarik oleh Erwin. Sehingga tubuhku jatuh kepangkuannya. Dan dalam jeda waktu yang singkat tersebut pria itu membubuhkan sebuah ciuman singkat padaku. “Aku suka kau yang tegas seperti ini, Hanjie,” “Hoh.. rupanya suamiku adalah seorang perayu ulung. Katakan, sudah berapa banyak wanita yang kau goda dengan ocehan itu?” “Baru saja kupraktekan untuk pertama kalinya pada istriku. Aku harap itu cukup bekerja,” Aku hanya memutar bola mataku. Untuk sesaat pikiranku berhasil beralih dari pria b******k pada sosok pria dihadapanku sekarang. Buat apa juga aku memikirkannya kan saat ada pria tampan yang sempurna didepanku? Mubazir bila tak dipakai.   *** Aku mengerjapkan mataku, menggeser posisiku dari terbaring menjadi terduduk. Rasa dingin menusukku begitu aku mulai beradaptasi dengan suasana sekitar. Terlebih ketika selimutku jatuh, aku baru ingat kalau aku sama sekali tidak berbusana pagi ini. Itu cukup menjelaskan mengapa otot-otot punggungku masih terasa pegal. Sejak obrolan basa basi dari Erwin kemarin, aku tidak percaya malah berakhir menjadi moment panas nan liar diantara kami berdua. Pria itu seperti tidak memiliki rasa puas. Bahkan sampai larut dia terus saja memompa tubuhku tanpa ampun. Apa dia segila itu terhadap seks? Atau aku memang memberikannya rasa candu sampai dia enggan melepasku. Aku bersyukur aku tertidur ditengah pergulatan kami karena lelah. Jika bukan karena itu kurasa dia akan terus melakukannya sampai pagi. Terus terang aku merasa enggan beranjak dari ranjang. Tapi apa daya, masa cutiku sudah habis dan aku tidak bisa untuk mangkir. Aku harus kembali ke kantor dan menjadi sosok Hanjie si workaholic sekali lagi. Menguap sebentar, lalu mataku melirik kearah kiri dimana posisi itu semalam ditempati oleh Erwin. Ranjang disisi itu sudah mendingin, dan kosong. Aku rasa pria itu sudah lebih dulu bangun dan pergi. Memang benar-benar pria pekerja keras. Satu senyuman terukir diwajahku membayangkan sisi freak out dan hobi nudist Erwin yang sepertinya hanya aku sendiri yang mengetahuinya. Entah sebuah berkah atau aib. Aku tidak mau ambil pusing soal itu. Ada baiknya kurasa aku perlu untuk berusaha sebisa mungkin untuk mengabaikan pria itu beserta godaan-godaan gilanya yang makin lama makin berani. Dan kurasa aku perlu untuk segera sarapan sekarang juga. Perutku keroncongan bukan main. Kegiatan kami sepertinya menguras seluruh tenagaku sampai aku lemas begini. Kukenakan apapun yang aku temui karena malas untuk berbenah diri. Terlebih aku rasa Erwin juga sudah pergi kerja. Jadi buat apa aku terlalu rapi pagi ini? Kukenakan T-shirt milik Erwin asal. Cukup kebesaran sampai menutupi seluruh pahaku. Tidak kuduga dia punya badan sebesar ini. Namun ketika aku turun kelantai bawah untuk mengambil air putih. Bau harum tercium sangat menggiurkan dan menggoda perutku. Atau juga diriku ? sebab sang koki rupanya adalah Erwin. Suamiku. Pria itu masih setia dengan ketelanjangan dadanya. Mengenakan celemek membuatnya seperti sedang bercosplay. Apa dia sekali lagi sedang menggodaku? “Selamat pagi, Honey…” sapanya kelewat ramah, senyum apik dia pancarkan membuatku terpikat. Bisa-bisanya dia berpenampilan seperti itu didepanku. Aku paham kalau selama ini dia tinggal sendirian di rumah ini. Dia mungkin tidak memikirkan bagaimana cara dia berpakaian saat dirinya sedang sendirian. Aku hanya memandanginya didepan pintu dapur sambil melipat kedua tanganku didepan bawah d**a. Kemudian bersiul padanya yang kembali asyik dengan kegiatan barunya. Memasak. Begitu pula dengan dirinya, aku sendiri tidak akan mengubah standar kenyamananku meskipun saat ini aku memiliki patner serumah dan juga seranjang. Aku tidak akan mau berkompromi pada lelaki lagi, sudah cukup apa yang aku terima dari mantan pacarku yang sekarang adalah adik iparku. Memikirkan bagaimana pertemukan kami nanti, aku sebenarnya tidak sabar bagaimana dia akan mengcover dirinya didepanku. Biarkan kami saling mengganggu satu sama lain. “Selamat pagi juga, My dear…” balasku tak mau kalah. Aku tidak akan mau lagi merusak suasana hanya karena pemikiranku sekali-kali terdistraksi terhadap Rein. Ada baiknya aku mulai menata ulang hidupku dan memanfaatkan pria baik hati ini untuk kepentingan itu. Hidup Cuma sekali bukan? Buat apa aku memusingkan masa lalu. Walau aku sakit hati setikdaknya aku berpisah dengannya sebelum kami menikah dan menyesali keputusanku itu. “Aku harap tidurmu semalam nyenyak. Aku merasa bersalah menyabotase waktu istirahatmu. Kudengar hari ini kau juga sudah mulai kembali bekerja,” balas pria itu tanpa menoleh. Dia sedang fokus dengan masakannya. Aku memaklumi itu. sebab pria umumnya memang tidak bisa fokus pada dua hal sekaligus. Tidak sepertiku. “Sangat nyenyak sebab aku mendapatkan pelayanan memuaskan dari pria yang kupikir membosankan. Aku harap kau bisa perbaiki sedikit kebiasaan tidurmu itu.” “Tidak perlu diperbaiki pun kurasa kedepannya kau akan terbiasa, bahkan kau akan kebal mendengarku mengorok setiap malam,” balasnya ringan. Pria yang lucu. “Tadinya aku hanya ingin minum saja. tapi melihat suamiku bersusah payah pagi ini untuk menyiapkan istrinya tercinta sarapan. Kurasa aku tidak akan melewatkan kesempatan ini,” “Kau tidak akan melewatkannya karena aku akan membuatkannya untukmu setiap pagi.” Ujarnya, sekali lagi dadaku tersentuh. Pria ini bagaimana bisa dia seakan-akan teramat tulus padaku? “Benarkah? Sangat menggiurkan. Tapi kau akan membuatku menjadi istri yang pemalas,” “Aku kan sudah mengatakannya padamu bahwa aku tidak mencari seorang wanita untuk melayani keperluanku. Aku merasa lebih suka kalau aku memberikanmu kenyamanan dulu. Setelah kau mencintaiku, dan berpikir untuk melakukannya untukku aku akan sangat senang menyambut kebaikanmu. Aku tidak ingin kau melakukannya dengan setengah hati. Kau kan sedang memanfaatkan aku,” kekehnya diakhir. Aku tidak tahu bagian mana dari perkataannya yang lucu. Hanya saja, pria ini bukankah itu hanya akan menjadi tidak adil baginya? “Kau jadi banyak bicara sekali. Apa kau punya kopi?” ujarku mulai bergabung dengan kesibukan paginya. Mendekat kearahnya. Dia masih fokus dengan masakannya. Dan ya, dia memang tidak menyiapkan sarapan sederhana. Ini lebih seperti pesta perayaan karena terlalu banyak hidangan yang hendak dia siapkan untuk sarapan kami. “Ini tidak seperti hidangan sarapan,” ujarku jujur. Pria itu tersenyum. “Memang, ini adalah pesta penyambutan yang aku siapkan untuk nyonya baru dirumah ini,” “Kau mulai merayuku lagi,” ujarku memukul kecil lengannya. Pria itu tertawa. “Tidak bukan seperti itu,” “Jadi dimana kopinya?” pria itu menunjuk dengan sebelah tangannya. Tepatnya pada sebuah mesin pembuat kopi yang sudah menyala. “Ah maaf, aku belum sempat membuatkan kopi untukmu. Aku cukup sibuk disini,” “Slow down, Dear. Kalau hanya membuat kopi aku juga bisa. Akan aku buatkan khusus untukmu juga,” “Aku dengan senang hati ingin mencicipi kopi special buatan istriku,” balasnya. Aku hanya mengibaskan tanganku, mengabaikan kata-katanya yang manis dan memulai tugasku dengan mengambil dua cangkir dari rak yang tak jauh dari mesin pembuat kopinya. Kemudian mulai meracik kopi favoritku. Hanya butuh menunggu beberapa saat sampai aku menuangkan cairan hitam pekat ke dalam cangkir yang sudah kupersiapkan. Aroma kopi di pagi hari memang selalu dapat membuatku mudah menikmati suasana pagi. Aku mencampurkan sedikit gula. Takarannya tidak terlalu banyak sebab aku tidak terlalu suka kalau terlalu manis. Menyeruputnya sedikit untuk memastikan rasanya, kemudian menyajikannya diatas meja. Erwin sendiri sudah menata makanan diatas meja. Beberapa kudapan khas sarapan seperti telur mata sapi dan roti, beberapa kudapan lainnya seperti sup, ayam goreng tepung, salad, bahkan kalkun? Serius pria ini memasak banyak makanan ini sedari tadi? Aku sendiri telah duduk diposisiku dan memperhatikan Erwin dengan kegiatannya. Sesekali menyeruput kopi milikku sendiri. Enak sekali hidupku pagi-pagi sudah dilayani seekstra ini. Setelah menata segala macam kudapan diatas meja, tiba-tiba pria itu berdiri dibelakangku. ditambah serangan esktra berupa kecupan di pipi yang sama sekali tidak kuduga. Sontak aku dibuatnya terkejut, untung saja aku tidak menjatuhkan cangkir yang ada digenggamanku berkat ‘hadiah nakalnya’ barusan. “Ayo kita sarapan, Honey,” Entah mengapa di telingaku ajakan makan pagi ini malah terdengar seksi dan menjurus pada hal lain. Sebab efeknya pada kupingku terasa geli, belum lagi efek kupu-kupu berterbangan di perutku. Damage pria ini bukan main. Aku menghela napasku cukup panjang untuk itu. Lalu meletakan cangkir yang kugenggam secara perlahan. Pria itu sudah berpindah tempat sekarang. Sangat diperlukan bagiku untuk menahan diri dari setiap godaan seduktif yang pria ini layangkan. “Kau tahu aku paling tidak suka disentuh kalau tanpa izinku. Tapi apa barusan? Kau mencuri satu ciuman dipipiku?” Pria itu terkekeh mengabaikan kata-kataku dan malah mengambil sendok dan garpunya. Tangannya dengan cekatan mengambil beberapa dari hidangan yang telah dia buat susah payah dan menikmatinya. Bukan hanya kata-kataku pria itu bahkan berani mengindahkan tatapan tajamku padanya. “Maaf, kau begitu cantik pagi ini. Bahkan saat kau masih tertidur pun kau masih terlihat sangat cantik dimataku,” Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu untuk meredakan amarahku? “Aku sudah tidak lagi mempan dengan kata-katamu,” “Begitu? Ngomong-ngomong aku mengambil fotomu ketika kau masih tidur. Kira-kira apa yang akan aku lakukan dengan foto itu ya?” Erwin memberiku seringai jahil andalannya. Ah.. dia pandai memainkan perasaanku. Apa dia juga tipe orang yang manipulative sama sepertiku? “Aku tidak peduli dengan itu,” ujarku malas meski terselip nada kesal yang tak bisa kusembunyikan secara penuh. “So, itu artinya aku bisa menggunakan foto ini untuk kupajang di meja kerjaku, right?” Kali ini aku mendengar nada bisnis keluar dari mulutnya. Membuatku teringatkan bahwa pria ini memang memiliki sisi yang licik demi memuaskan keinginannya. sesekali mengancam juga teradapat dalam kamus hidupnya. Meski untuk sekarang aku tidak memiliki sesuatu untuk mengalahkannya, tapi suatu saat aku pasti akan mendapatkan upper-hand darinya. “Oke, jadi apa yang kau inginkan?” dia tahu bahwa aku terpancing jebakannya. Mengajaknya untuk bernegosiasi. Ini seperti sebuah déjà vu. Nostalgia kecil kami. Meski tempat dan suasananya berbeda. “Makanlah dulu, baru minum kopi,” ujarnya. Ketika dia mengatakan itu. aku hanya tersenyum. Bisa-bisa apa yang dia inginkan sama sekali tidak memberikan kerugian apapun. Kupatuhi dirinya tanpa  banyak bicara dan mulai melakukan apa yang sudah dia mulai sejak tadi. Menyantap sarapan buatannya. Diluar dugaanku masakannya sangatlah lezat. Jika begini kurasa berat badanku akan mudah naik. Ah sial. “Aku baru sadar bahwa tidak hanya dalam pekerjaan, kau juga pandai mengurus diri sendiri,” pendapatku murni atas apa yang aku lihat dari setiap tindakannya. Dan juga kondisi rumahnya yang sangat rapi. Pada umumnya seorang bujangan akan ‘berantakan’ tapi dia sama sekali tidak mencerminkan hal itu. Ketika pertama kali memasuki rumahnya, sepanjang mata memandang seluruh ruangan memang seperti sudah diperuntukan berdasarkan fungsi dan juga sisi estetiknya. Tidak kutemui satupun benda yang tergeletak tidak pada tempatnya. Melihat kondisinya ini membuatku kembali pada sisiku yang bertolak dengan diriku. Aku adalah wanita yang rapi hanya dalam pekerjaan saja. Tapi untuk urusan kehidupan pribadi aku tipikal orang yang santai dan sedikit berantakan. Anehnya dia seperti memaklumi itu, meskipun barang-barang yang kubawa kerumah ini memenuhi ruang tamu dan mengganggu estetika dari kediamannya yang jadi kotor dan menumpuk dengan kardus-kardus. Aku hanya lelah dan sedang malas untuk membongkar barang milikku dan menatanya. Akan memakan waktu lama. “Aku tinggal sendirian sejak kuliah. Wajar bila aku sudah mumpuni dalam urusan surviving skill seperti masak dan bersih-bersih. Hal yang sejujurnya dimiliki setiap individu. Setidaknya aku bukan nona manja yang tidak bisa mengurus diri sendiri tanpa pelayan yang dipekerjakan orangtuanya,” ujarnya. Pintar sekali dia. “Hoh? Tapi setidaknya nonta manja ini bisa mandiri dan menghasilkan uang sendiri bahkan mengalahkanmu di meja rapat. Aku memiliki segala yang aku butuhkan dengan uang yang aku miliki. Aku tidak perlu laki-laki untuk memenuhi harapanku.” “Benarkah? Aku kagum akan kemandirianmu Nona, tapi kau bergantung pada lelaki secara emosional. Aku rasa alasanmu membiarkan adikku mengambil kontrol atas dirimu adalah karena tidak ada pria yang memperlakukanmu secara berbeda. Tapi sejauh ini aku tidak bisa memahami mengapa wanita dengan kepribadian kuat sepertimu membiarkan dirinya sendiri dibawah oranglain?” Untuk pertanyaan itu aku terpekur sendiri. Memang benar apa yang dikatakan oleh Erwin. Mengapa aku bisa-bisanya membiarkan diriku jatuh dan terpikat pada Rein dulu? Apa yang sebetulnya otakku pikirkan sampai bertekuk lutut padanya dari dasar hatiku? “Aku hanya bertindak seperti itu untuk menghindari perdebatan yang tidak perlu. Ada kalanya kami terlibat pertengkaran karena hal sepele. Jika sudah seperti itu aku selalu menjadi pihak yang mengalah. Bukan berarti aku tidak bisa membalasnya hanya saja, ya kau tahu bila dua orang yang keras kepala saling melempar amarah satu sama lain akhir dari kami sudah bisa kulihat. Karena itu untuk mempertahankan dia disisiku aku bersikap seolah aku penurut dan memberikan segalanya yang dia inginkan. Tapi terkadang aku mengambil jeda dari hubungan kami dengan sedikit menjauhnya. Kurasa aku sesekali pernah muak untuk tidak menjadi diriku sendiri saat bersamanya. Tapi hubungan kami sudah berjalan cukup lama. Bagaimanapun pengalaman pertama tidak akan mudah dilupakan bukan? Ya, aku senaif itu memang dalam hal percintaan. Aku sadar hubunganku dengannya tidak akan bertahan lama, cepat atau lambat kami pasti akan bubar. Tapi aku bersikeras bahwa itu hanya asumsiku saja dan tetap memaksakan dia untuk menikahiku,” “Kenapa kau begitu terburu-buru ingin menikah?” “Kami telah bersama cukup lama, tiga tahun kurasa waktu yang lebih dari cukup untuk mengenal satu sama lain. Kau mungkin tidak mengerti, sebagai wanita meski kami memiliki segalanya dari segala materi. Orangtuaku adalah tipe orangtua yang kolot. Sebagai pria kau mungkin tidak akan pernah merasakan tekanan untuk menikah atau berkeluarga. Tapi untukku, social pressure untuk menikah sangat tinggi. Aku tidak akan muda selamanya. Ini seperti kau memiliki pekerjaan yang berat dengan deadline waktu yang mepet. Mengesalkan sebenarnya ketika prestasiku yang aku perjuangkan dalam dunia karir tidak memiliki nilai yang sepadan dengan para wanita yang menikah muda, membuat sebuah keluarga dan melahirkan anak. Mungkin karena itulah aku sampai nekat untuk mendesak Rein menikahiku. Dia memang setuju, tapi siapa yang tahu kalau akhrinya dia sendiri yang berubah pikiran dan tak siap dengan diriku lalu memilih kabur bersama sahabatku. So, itulah kisah dalam sudut pandangku sebelum kau dengan gagah berani menggantikan adikmu sebagai mempelai pria bagiku,” Aku melihat pria itu memandangku dengan cara yang berbeda. Sepertinya dia iba mendengarku bercerita tentang masa laluku. Aku sedang tidak menyalahkan siapapun, salahku yang ceroboh. Jadi sudah sepatutnya aku menerima hal ini. Aku sudah memperkirakannya sedari awal, aku saja yang bebal tetap memintanya hanya karena sebuah alasan sayang. Bodoh sekali aku. “Jangan menatapku begitu. Aku tidak butuh dikasihani kok.” “Kau wanita yang kuat, Hanjie.” Komentarnya. Terserahlah.. aku sendiri sudah tidak mau tahu aku ini apa.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN