Keesokan harinya Wyne dan Putri sama sekali tidak menyapaku, mereka terlihat sedang mengobrol dengan Clara, entah mereka membicarakan apa, sepertinya seru sekali, tapi aku tidak peduli.
Aku melemparkan tasku di bangku sebelah Rahma.
“Kau mengagetkanku saja,” ucap Rahma mengelus d**a.
“Gitu aja kaget,” cibirku.
Orang orang di kelas menatap heran aku yang duduk disamping Rahma, biasanya aku duduk diantara Wyne dan Putri, namun sekarang mereka sedang memepet Clara. Apakah Clara akan menjadi korban baru mereka? Batinku.
Saat jam istirahat, kulihat Clara duduk di bangku khusus untuk geng Queen, saat aku memasuki kantin bersama Rahma, kulihat Alea hanya melirikku dan pura pura tidak melihatku. Demi Tuhan aku tidak peduli.
Sayangnya tidak ada bangku kosong selain dekat mereka, dengan terpaksa aku, Rahma dan Intan duduk disana, tidak berapa lama kemudian Lela dan Sindy bergabung dengan kami.
“Kau beruntung sekali bisa bertunangan dengan kak Farrel,” sepertinya Nancy sengaja mengeraskan suaranya.
“Kau lebih cocok untuk kak Farrel,” puji Wyne.
“Kalian bisa saja,” Clara tidak bisa menyembunyikan rona bahagianya.
Wyne, Nancy, Putri dan Alea terus saja menjilat Clara dengan pujian pujian mematikan mereka.
Sejak dulu Clara sangat ingin bergabung dengan geng Queen, geng yang sangat berpengaruh di kampus ini, Clara rela meninggalkan teman temannya demi bisa bergabung dengan geng Queen.
“Hanya gara gara kau tidak membayarkan belanjaan mereka kemarin, mereka langsung balik kanan menusukmu dari belakang,” bisik Lela.
“Biarkan saja, mereka pasti kesal karena dimarahi oleh orangtua mereka,” kekehku.
“Elen, apa benar kak Farrel memutuskan pertunangan kalian dan bertunangan dengan Clara?” tanya Rahma.
Aku hanya mengangguk sambil menelan sebuah bakso kecil untuk makan siangku.
“Kami tahu seberapa dalam perasaanmu untuk kak Farrel, tapi kau harus kuat ya” Intan memberi semangat.
Intan adalah teman Rahma dari kecil, awalnya dia sangat membenci Elena, karena sering menyiksa temannya, tak jarang dia juga sering dibuli karena membela Rahma, namun semenjak tahu Elena amnesia dan berubah menjadi baik, Intan tidak segan berteman dengan Elena.
“Terima kasih kalian telah mengkhawatirkan aku, tapi yang harus kalian tahu, aku lupa semua kenanganku dengan kak Farrel, termasuk rasa cintaku,” ucapku.
“Wah! Benar benar dibalik kemalangan ada keberuntungan” ucap Rahma senang.
Seluruh dunia tahu bagaimana Elena mencintai Farrel, saat Farrel berada di tingkat akhir Elena menjadi mahasiswa baru, dengan berani Elena memproklamirkan diri sebagai tunangan Farrel dan menyingkirkan semua wanita yang mencoba menggoda Farrel.
Elena selalu menatap Farrel dengan tatapan memuja dan menempel seperti permen karet kepada Farrel, mereka sudah terbiasa melihat Elena bermanja manja dengan Farrel tanpa pandang kondisi dan tempat. Walaupun sering mendapat penolakan dan bentakan dari Farrel, Elena tidak pernah menyerah dan terus melakukannya.
Mereka tidak kaget saat mendengar Elena mencoba bunuh diri karena Farrel bertunangan dengan adik tirinya, sebagian orang ada yang iba namun tidak sedikit orang yang berbahagia, mungkin mereka berpikir itu adalah balasan dari Tuhan karena Elena sering membuli orang yang lebih lemah.
“Bukan kah itu kak Farrel?” jerit seorang mahasiswi.
Semua orang yang ada di kantin kompak menoleh ke arah pintu masuk utama kantin, terdengar riuh suara para mahasiswi menyapa Farrel. Farrel sudah jarang ke kampus, terakhir dia ke kampus saat bimbingan tesis untuk sidang S2-nya.
“Tunanganmu datang” goda Wyne.
“So Sweet sekali” tambah Putri.
“Kak Farrel, Clara disini” teriak Nancy.
“Kalian ini,” Clara tersenyum sambil menunduk, pipinya sudah merah seperti tomat.
Melihat tatapan iri dan cemburu dari orang orang, Clara menjadi senang.
“Dia tampan sekali” lirihku.
Lela, Intan dan Rahma kompak melirikku.
“Kau bilang sudah melupakan kak Farrel” ucap Rahma.
“Memang, tapi wajahnya adalah tipe idelaku,” kekehku.
“Jangan sampai jatuh cinta lagi,” Lela mengingatkan.
Farrel berjalan masuk kedalam kantin, aku meliriknya sekilas. Dia sangat tampan memakai celana jeans dan kemeja panjang berwarna krem, bagian depan kemejanya dimasukkan kedalam celananya, rambutnya dibiarkan menutupi dahi indahnya. Benar benar Cha Eun Woo KW super!
Andai saja dia bukan laki laki yang menyakiti Elena, sudah pasti aku mengikuti instingku untuk menjadi fangirl Cha Eun Woo KW super itu.
“Elen, maafkan aku, boleh lah ya aku menikmati wajah tampan Farrel yang mirip Cha Eun Woo sang idol blasteran Korea surga itu!” batinku.
Aku mengalihkan pandanganku dari Cha Eun Woo KW super ke arah mangkok bakso dihadapanku, tinggal sisa satu bakso besar di sana, prinsipku save the best for the last, dengan hati hati aku memotong bakso besar itu menjadi empat bagian.
Daging cincang dan minyak gurih berebut keluar bercampur dengan kuah bakso, dengan rakus aku suapkan potongan bakso ke mulutku. Saat aku sedang sibuk mengunyah, kudengar suara seksi baritone seorang pria disampingku.
“Elen, bisa kita bicara sebentar?” tanyanya.
“Uhuk!” aku tersedak oleh bakso yang sedang kukunyah.
Aku terbatuk dengan hebat sambil memukul mukul meja. Lela menyerahkan air mineral ke arahku, sementara Rahma menepuk nepuk punggungku dengan lembut.
Farrel duduk disampingku dan ikut menepuk nepuk punggungku dengan lembut, kulihat tatapan khawatir dari sorot mata Farrel.
“Anakmu baper mak di tatap kayak gitu sama Cha Eun Woo” batinku.
Setelah tenggorokanku lebih nyaman, aku sembur Cha Eun Woo KW super yang telah membuatku tersedak.
“Kau mengagetkanku saja,” semburku penuh emosi.
“Aku hanya ingin berbicara denganmu,” kulihat Farrel terkejut dibentak olehku.
“Bicara saja,” ucapku kesal karena kuah pedas bakso masih tersangkut di tenggorokan ku.
“Hanya berdua, dan tidak disini,” ucapnya dingin.
“Tidak mau” tolakku.
Aku tidak menyangka Farrel menarik tanganku dan menyeretku keluar dari kantin, sebenarnya aku ingin memberontak, tapi kami telah menjadi tontonan orang orang yang berada di kantin, aku tidak mau membuat drama picisan disini, jadinya aku pasrah saja, apalagi saat aku melihat wajah Clara yang merah padam dan mengepalkan tangannya.
Farrel membawaku ke taman belakang, tempat ini cukup sepi, sepertinya sering dijadikan tempat berkencan oleh mahasiswa disini.
“Mengapa kau tidak membalas pesanku?” tanya Farrel dingin.
“Malas” jawabku singkat.
“Aku tahu kau melakukan ini karena membenciku, tapi posisi CEO bukanlah untuk bermain main Elen” ucapnya to the point.
“Jadi ini masalah tentang CEO” batinku.
“Aku tidak pernah bermain main” ucapku lantang.
Sebenarnya jantungku sedang menari disko karena jarak diantara kami sangat dekat, wajah mulusnya terlihat sangat jelas, tidak ada noda atau pori pori di wajah tampannya.
“Dengan kemampuan apa kau akan mengurus perusahaan?” tanyanya dingin.
Aku hanya mengangkat bahuku cuek.
“Kau selalu seperti ini, selalu menganggap semuanya mudah bagimu. Kau tidak pernah peduli pada orang lain selama apa yang kau inginkan kau dapatkan” ucapan dinginnya menusuk hatiku.
“Aku hanya mencoba mempertahankan apa yang menjadi milikku” ucapku tak kalah dingin.
“Bukankah ini hanya aksi protesmu atas pertunanganku dan Clara?” sinisnya.