Ugel Merah Dan Penjaga Laut

1206 Kata
Padepokan Enggang Api. "Apa Ni'mal mengatakan padamu kemana dia pergi?" Gus Armi, bertanya pada gadis berambut panjang dengan busana kuning. Puspa menunduk, menatap lantai kayu yang ia pijak. "Tidak..." Menatap dalam mata gadis berbulu lentik di depannya, Gus Armi tersenyum. Tangan kanannya, mengelus ubun-ubun gadis tersebut. "Nduk... Nduk..." Sosok berbusana serba hitam dengan blangkon, paham bila Puspa meninggalkan Ni'mal karena cemburu. "Meski besok dia belum bertanding, tapi dia akan digugurkan dalam Sayembara jika tak hadir di arena besok." Gus Armi, melepaskan tangan dari rambut Puspa. "Saya akan mencarinya, Raden..." Puspa mendongak. "Ndak usah." Ia balik badan. "Beristirahatlah. Tambah panas nanti kalau kamu menyusul," imbuhnya terkekeh meninggalkan Puspa di ruang tamu Padepokan. Puspa kembali menunduk. Murung. *** Ni'mal, duduk di atas cangkang penyu merah raksasa. Di sebelahnya, remaja berambut putih tengah merebahkan badan. Sedangkan gadis berbusana serba hijau, duduk seraya bersenandung. Lagu Lir-ilir. "Apakah masih jauh?" Ni'mal bertanya, menoleh pada lelaki berambut putih. Suaranya terganggu oleh deru angin laut dan laju cepat sang penyu merah berkepala burung. "Masih banyak burung camar. Artinya masih jauh dari perbatasan aman wilayah Makhluk Hitam," jawabnya. 'Sudah tak ada kapal nelayan...' Ni'mal celingukan menyapu pandang ke lingkungan sekitar. "Apa... Hanya karena jelang Purnama Merah, jadi para nelayan tak ada yang mendekat meski belum masuk wilayah Makhluk Hitam?" "Tak ada nelayan yang berani berlayar lebih dari seribu jangkah melebihi bibir pantai jika jelang Purnama Merah seperti ini." Adnan buka mata, menjadikan telapak tangan kanan dan kiri jadi bantalan kepala. "Kudengar kau dari Sunyoto juga, kan?" Memandang lurus, Ni'mal manggut. "Iya." Lima menit terdiam, Adnan mencari topik. "Apa kau pernah dengar tentang legenda Sura Selatan?" Ni'mal, seketika terpintas tentang sosok sura putri duyung yang pernah Mbah Pur kisahkan. "Putri... Nilam Sari?" Adnan, mengambil posisi duduk. "Yang aku dengar dari para tetua Desa Sironggeng, Putri Nilam Sari, adalah satu dari beberapa sosok yang menjaga lautan sekitar Manunggal." Pemuda berjaket hitam, mengerutkan kening, melirik Adnan. "Satu?" "Apa kau belum pernah pergi ke Candu Santika Dewi?" "Pernah. Semasa Remaja. Memangnya, kenapa?" "Di dalam ruang bawah tanah candi, terdapat relief yang mengisahkan tentang empat putri duyung. Sama persis seperti empat patung putri duyung pada tiap ujung persegi candi." "Tapi, bukankah hanya ada satu Sura putri duyung?" Adnan menaikkan kedua bahu. "Entah... Aku belum pernah menjumpai mereka." Matanya beralih pada kepala belakang sang penyu raksasa. "Setahuku, sosok keramat yang pernah ditemui oleh para nelayan, adalah gadis dengan bagian badan bawah berupa ubur-ubur. Ia sering muncul ketika para nelayan berlayar terlalu jauh hingga mencapai kabut biru. Atau terkadang, muncul saat badai menghantam kapal mereka." "Tapi yang aku dengar, tak sedikit nelayan yang melihat penampakan Putri Nilam Sari, kan?" Ni'mal, menghadapkan tubuhnya pada Adnan. "Lastri yang memberitahumu?" Raut muka Adnan, datar. "Dia... Juga bilang kalau pertapa dari desa Suryagni kadang terlihat di batu karang yang dipercaya digunakan Putri Nilam Sari singgah. Itu benar, kan?" Ratih yang tadi asyik bersenandung, seketika membisu. Adnan, justru menghela napas. Melihat respon dua orang itu, Ni'mal mendengung. "Jadi... Ini rahasia, ya?" "Untuk apa kau mencari pertapa itu? Siapa yang memberitahukannya padamu? Apa Lastri juga?" "Bukan." Ni'mal ganti merebahkan badan di cangkang penyu merah. "Aku harus mencarinya, karena ingin menanyakan sesuatu." "Akang..." Ratih memanggil. Mimiknya tegang. "Sebaiknya, urungkan." "Kenapa?" Ni'mal menoleh ke belakang, di mana Ratih duduk. Adnan menyahut, "jika kau mencari sesuatu yang bisa menjawab pertanyaanmu tanpa upeti, harusnya kau pergi ke Kadipaten Cidewa Hideung di daerah arsir dekat Candi Pameungpeuk." Ni'mal, menggulirkan netra hazzelnut-nya ke kanan dan kiri. Ia berpikir. 'Pertapa Cidewa Hideung?' Ia merasa mengingat sesuatu. Burung camar beterbangan di udara. Belasan makhluk berbulu putih itu melayang mencari mangsa, sebagian melayang begitu rendah di atas permukaan air laut. Hingga... Lhaabb! Sesuatu besar nan panjang dengan diameter kepala seukuran kepala penyu yang mereka tumpangi, melahap belasan burung camar di udara. Sosok yang hanya kepala itu, mirip seperti belut dengan kontur kepala bak naga bertanduk banteng. Ugel Merah. Adnan, Ratih, dan Ni'mal, sontak bangkit bersiaga. Ketiganya saling memunggungi. Mata mereka mengawasi sekitar mana kala sosok barusan telah lenyap dan tenggelam kembali ke dalam laut. Srrriiik Adnan, menarik pedangnya keluar dari wadah. "Behh... Bayaranku harusnya lebih mahal karena harus mengawal kalian dari belasan Ugel Merah!" Ni'mal, terkejut mendengar pernyataan Adnan. 'Belasan?' Lelaki berjaket hitam, tak lagi menemukan burung camar di sekitar. Byuuurrr! Lima belas sosok yang serupa, mendongak kekuar dari laut. Leher panjang besar itu, mirip seperti milik Plesiosaurus, atau monster lochness. Graaaaaark! Ni'mal, memandang para Makhluk Hitam, bergantian. "Hey... Apa, kau membawa s*****a lagi?" Adnan menyahut, "bertarunglah sebisamu. Dan jangan sampai jatuh ke air!" Dari atas langit, berkisar tiga ratus meter dari penyu merah berkepala burung yang Ni'mal dan kawan-kawan naikki, lelaki berbusana serba putih dengan topeng Arjuna Putih, melayang sebab cengkeraman seekor burung rajawali seukuran manusia dewasa. "Coba kita lihat, Nak. Seberapa jauh kemampuanmu berkembang..." *** Tribun arena Sayembara, Kadipaten Tarang. Raden Irawan, duduk di sebelah Ki Ageng Jagat. Keduanya mengenakan kaos berkerah. Celana mereka hitam panjang. "Apa yang kau dapat dari prasasti itu, Den?" Sosok lekaki berjenggot dengan sorot bijak, menoleh kecil pada Putra Mahkota. "Ramalan tentang hancurnya Manunggal," jawabnya singkat. "Apakah... Serupa dengan yang pernah aku sampaikan?" Pemuda berkumis tipis, mengangguk. "Muhun, Mbah. (Benar, Mbah.)" Ki Ageng Jagat menghela napas. "Kami baru membacanya sedikit. Tetapi, dari sebagian yang kami temukan, sepertinya kehancuran Manunggal masih bisa diatasi." Ki Ageng Jagat yang sudah menatap lapangan Sayembara, kembali menoleh dengan mata terbelalak. "Benarkah?" "Kalimat dari aksara jawanya sebagian terlupa, tapi seingatku... Tertulis tentang Malkika dan seseorang yang akan menuntun para bocah takdir menyelamatkan Manunggalan." Lelaki berblangkon hitam, manggut-manggut. "Malkika, ya?" Ki Ageng Jagat, kini merogoh sebuah ponsel dari saku celana. Ia menelepon seseorang. Kontak bernama William. 'Hallo, Tuan? Apakah ada perkembangan mengenai penyelidikan prasasti kuno?' "Kaliwon, tolong kumpulkan semua kitab mengenai sejarah Malkika. Usai Sayembara esok, aku akan datang bersama Gus Armi." 'Baik, Tuan.' Tuuut... "Apakah, Ni'mal belum juga tiba?" Ki Ageng Jagat, menaruh ponsel ke dalam saku celana. "Bocah itu... Aku dengar dia masih di Sunyoto, Desa Sironggeng." "Apa yang dia lakukan? Apa Gus Armi belum memberitahu kalau besok Sayembara akan dilanjutkan?" *** Sllaaak! Sraakk! Craakk! Adnan melompat dari kepala Ugel Merah ke kepala makhluk serupa lainnya. Ia tak henti-henti mengibaskan pedang yang begitu lentur dan mampu memanjang. Graaaaark! Melihat seekor Ugel yang hendak menerjang Ratih, Adnan kembali melompat ke punggung penyu raksasa sembari membidikkan ujung tajam pedangnya yang memanjang. Jlupp! Graaaark! Sang Ugel, menjerit mana kala darah hitam menyembul keluar dari lehernya yang berlubang. Melihat dua sosok Ugel hendak menyerang kepala penyu berwujud burung elang, Ni'mal yang memegang selendang hijau Ratih, menyabetkan pusaka tersebut ke leher salah satunya. Splaat! "Hyahhh!" Ia menarik leher lawan, lanjut meluncurkan tinju kiri ke mata sasaran. Blaaak! Graaarrk! Makhluk itu, terlempar seraya mengeram kesakitan. Napas kedua lelaki itu, teresengal. Sedangkan Ratih, bersiaga dengan mimik cemas. Adnan, memutar-mutar "Hah! Dua lagi, ya?" Ni'mal yang terbiasa mengatur napas seraya berdzikir, justru kembali merasa kehadiran makhluk serupa dalam jumlah besar. "Tidak!" Pemuda yang telah banjir keringat, memandang ke sebelah kiri Ratih. 'Masih ada kawanan Ugel Merah yang mendekat!' Ingin memastikan, Ni'mal menstabilkan napas. Deg! Ni'mal mendongak cepat ke langit, di mana ia merasakan nuansa energi dari sesuatu yang ia jumpai di bibir pantai pagi tadi. 'Apa itu!' Byurrrr! Belasan Ugel Merah, kembali menampakan diri mengepung sang penyu raksasa yang mana hanya berdiam mengambang di permukaan laut. Graaaark!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN