Setelah menghadapi banyak sekali masalah, ada pula pandangan orang-orang yang menyebalkan, akhirnya Geisha bisa bernapas lega. Cewek itu kini berada di toilet, ia mengurung diri dan bersandar pada daun pintu.
Rasanya begitu lelah seharian ini menghadapi orang-orang yang bertanya tentang kenapa ia bisa mengenakan baju yang digosipkan milik Barton pagi tadi. Belum lagi gosip panas yang sudah pasti bersumber dari Natasha.
‘Ihhh ... gue nggak nyangka loh kalo Geges juga doyan rebutan cowok.’
Geisha menarik napas panjang, ia tidak pernah berusaha merebut siapa pun. Ia juga tidak punya ketertarikan dengan cowok-cowok yang ada di sekolah mereka.
‘Iya ... padahal yah, Barton sama Natasha udah pacaran lama. Kok bisa sih Geges ganjen banget ke pacar orang?’
Geisha merasa dadanya sesak, ia tak pernah menggoda Barton. Justru cowok itulah yang tak ingin melepaskannya, cowok itu yang memperkosanya semalam.
‘Padahal yah, si Geges kan lumayan juga. Masa iya nggak bisa dapat cowok lain sih, harus gitu ... sama pacar orang?’
‘Bener banget ... udah bibit unggul dia jadi pelakor.’
Mengingat semua kata-kata itu membuat otak Geisha seakan penuh, ia menarik napas, segera berdiri dan melangkah ke arah wastafel. Setelah belajar cukup lama hari ini, menghadapi berbagai hal tak terduga, dua jam lagi mereka harus mengikuti kegiatan yang sangat ingin Geisha hindari. Ia tak ingin pergi, tetapi tetap harus pergi.
Cewek itu mencoba untuk lebih tenang, dan ia kaget saat merasakan ponselnya bergetar. Dengan cepat Geisha merogoh saku almamaternya, diraihnya ponsel dan ada nomor asing yang menghubunginya.
Geisha berpikir sejenak, haruskah ia menjawab panggilan itu? Ia menatap ke arah cermin, seakan bertanya kepada bayangannya sendiri.
Cewek itu kemudian menggeser ikon hijau pada layar datar ponselnya, ia mendekatkan ponsel itu ke telinganya, lalu menunggu sang pemanggil untuk bicara.
“Lo di mana?” tanya seseorang di seberang sana dengan nada khawatir.
Geisha menautkan alis. “Siapa sih?”
“Lo di mana? Cepet kasi tau gue!”
“Lo siapa sih? Nggak jelas!” Geisha segera mematikan sambungan telepon, ia memijat kepalanya, lalu menyimpan ponselnya di saku almamater lagi. Siapa yang menghubunginya tadi? Suaranya tidak terdengar jelas, dan membuat Geisha kesusahan dalam menebak pemilik suara.
Brak ...
Cewek itu menatap ke arah pintu masuk, ia melihat empat orang cowok yang mengenakan seragam sama dengannya. Jelas saja mereka anak-anak Algateri, dan kelihatannya mereka juga berasal dari gedung SMK.
“Ngapain kalian masuk toilet cewek? Bukannya kalian anak SMK?” Geisha masih belum bergerak dari tempatnya berdiri, ia menahan rasa takut saat melihat keempat cowok itu menyorot dirinya dari ujung kali sampai kepala.
“Bening juga ni cewek,” ujar salah satu dari keempatnya.
Geisha merasakan detak jantungnya tak karuan, ia menelan ludahnya beberapa kali. “Keluar! Jangan ganggu gue.”
“Rob, galak juga dia. Tapi biasanya yang galak gini enak,” ujar yang lainnya lagi.
Geisha yang mengerti dirinya dalam bahaya melangkah mundur, ia tak akan mungkin bisa melawan empat orang cowok dengan tenaganya.
“Ati-ati, temen baiknya Ranjiel dia. Bisa-bisa ilang masa depan lo kalo nggak punya cara bungkam mulut ni cewek.”
“Alah ... Bas, kita keroyok aja si Ranjiel. Nggak akan menang dia lawan kita berempat.”
Geisha benar-benar merasa dirinya akan berakhir sekarang. “Kalo kalian macem-macem, gue lapor polisi. Gue nggak peduli kalian kasi gue ancaman kek apa, yang jelas kalian bakalan busuk di penjara!”
“Wih, dia ngegertak dong ... kok takut yah?”
Geisha mundur perlahan, ia menahan tubuhnya agar tak gemetar. “Gue nggak main-main!”
Keempat cowok itu melangkah, mereka mendekati Geisha dengan perlahan. Sedangkan Geisha terus saja mundur, sampai ia terhenti karena dinding. Di telannya ludah, lalu matanya menatap kiri dan kanan.
“Duh, makin cantik aja kalo takut.”
Geisha yang merasa terpojok tak ingin menyerah, apa pun ... apa pun itu ia harus bertahan dan tak tersentuh oleh tangan kotor cowok-cowok itu.
Dengan cepat tangan Geisha merogoh saku, mencari benda apa saja yang bisa digunakan untuk membela diri. Cewek itu kembali merasa frustrasi, tak ada yang bisa ia gunakan.
“Tangkap Rob!” seru salah satu cowok.
Geisha dengan cepat menghindar, tubuh rampingnya menabrak pintu salah satu bilik toilet hingga terbuka. Cewek itu menahan rasa sakit pada bagian kiri tubuhnya, ia kemudian terpaku dan meraih tongkat baseball yang tertinggal di dalam sana dengan cepat.
“Ya elah, nangkap cewek aja nggak guna lo!” seru salah satu dari cowok-cowok itu.
“Gesit cuy, lo kayak nggak tau aja penari balet badannya lentur.”
Geisha yang sudah mendapatkan senjata untuk membela diri segera keluar, ia mengabaikan rasa sakit pada bagian kiri tubuhnya. Cewek itu melihat salah satu cowok yang ingin menyergapnya tadi, tanpa peduli ia memegang tongkat baseball dengan kedua tangannya, dan memukul kepala cowok itu dengan gerakan vertikal.
Bugh ...
Cowok itu terkena pukulan dari Geisha. Geisha melirik tiga cowok lainnya, sedangkan cowok yang mendapat pukulan dari Geisha menahan rasa sakit.
Merasa belum puas, Geisha kembali mengayunkan tongkat baseball dengan gerakan horizontal.
Bugh ...
“Akhhh ....” Cowok itu terkapar.
“Siapa lagi! Jangan kira gue takut!” Geisha yang baru saja melakukan kekerasan kepada seseorang merasa tubuhnya tak bisa lagi melakukan itu, tetapi ia tak bisa berhenti sekarang, ia harus tetap bertahan.
Cewek itu melirik salah satu korbannya, ia merasa bersyukur karena cowok yang mendapatkan serangan segera tak sadarkan diri.
Tap ...
Tap ...
Tap ...
Brak ...
Pintu yang tadinya sudah tertutup kembali terbuka dengan kasar, tetapi Geisha sama sekali tidak menurunkan kewaspadaannya.
“Lo habis ngapain ama kunyuk-kunyuk ini?” tanya Barton yang baru saja tiba, ia sejak tadi mencari keberadaan Geisha dan mendapatkan informasi jika cewek itu berada di toilet gedung olahraga dari anak-anak sebelas IPS-2.
“Mata lo katarak! Lo nggak liat apa gue lagi berantem!” Geisha menahan napasnya, ia merasa kesal. Barton datang bukannya membantu, malah masih sempat bertanya kepadanya.
“Bisa berantem juga ternyata! Udah ah ... ikut gue! Gue gak mau badan lo lecet, entar gue yang susah kalo lo sampek lecet.”
Tiga orang anak SMK itu saling tatap, mereka kemudian mencoba menyerang Barton. Tetapi malang ... Barton dengan cepat menghindar, dan malah memerhatikan Geisha.
“Lagian lama bener di dalem kamar mandi, lo ngapain aja?” tanya Barton.
“Arisan! Puas lo?” Suara Geisha terdengar bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. Ia melirik orang yang tadi dipukulinya. Ada darah ... dan orang itu terlihat tak baik-baik saja.
Geisha menelan ludahnya kasar, sedangkan matanya menatap ke arah Barton. Ketiga anak SMK tadi melarikan diri, mereka jelas tak ingin berurusan dengan Barton, apalagi cowok itu bukan orang yang mudah dikalahkan.
Tongkat baseball ditangan terhempas begitu saja, suaranya cukup bising.
“Nape badan lo gemeter gitu?” tanya Barton sambil melangkah mendekati Geisha. Cowok itu langsung menggendong tubuh cewek di depannya tanpa permisi, lalu membawanya pergi dari sana tanpa peduli dengan cowok yang tidak sadarkan diri di dalam toilet.
“Bangke ... lo mau bawa gue ke mana? Nape malah ke arah asrama sekolah!” Geisha mencoba untuk memberontak, tetapi Barton segera berhenti dan menatapnya.
“Emang lo maunya ke mana? Ke hotel lagi?”
“Lo mau apain gue lagi? Kurang puas lo?” tanya Geisha, yang ia maksudkan adalah dengan masalah yang terjadi karena kegilaan Barton. Semuanya menjadi bencana, dan membuat dirinya harus mendapatkan beberapa musuh baru.
“Nurut aja napa sih! Lagian lo pikir di otak gue cuma ada yang begituan apa!?” Barton kembali melangkah, ia terlihat agak buru-buru menuju ke arah gedung asrama sekolah.
Geisha menelan ludahnya kasar. “Mak-maksud gue ... lo belom puas bikin masalah buat gue? Dari pagi gue udah nyaris gila gegara kerjaan nggak bener lo!”
“Gue Cuma mau jagain lo, gue tahu ... Nat pasti gak akan diem pas liat lo pake baju gue tadi pagi.”
“Coba aja dia yang gue pukul pakek tongkat baseball,” gumam Geisha yang menjadi kesal saat mendengar nama cewek gila itu dari bibir Barton. Ia sangat yakin jika semua kejadian hari ini ada kaitannya dengan Natasha.
Barton yang mendengar ucapan Geisha hanya diam, ia terus melangkah sampai mereka tiba di kamar milik Theo. Barton segera membuka pintu, ia kemudian menutup dan membawa tubuh Geisha ke arah ranjang. Dirasanya cewek itu masih gemetar, bahkan tubuhnya juga terasa begitu dingin. Cowok itu segera membaringkan tubuh Geisha, ia menarik napas dan mengembuskannya pelan.
Barton dengan segera menarik selimut untuk menutup tubuh Geisha, lalu berbaring dan memeluk cewek itu dengan erat.
“Gue di sini buat lo, lo bisa tenang sekarang,” bisik Barton tepat ditelinga Geisha.
Geisha yang mendengar penuturan cowok itu menatap, ia tak bisa melakukan apa pun lagi sekarang. Tenaga dan keberaniannya sudah terkuras habis untuk melawan empat cowok SMK, dan menghajar salah satu di antaranya hingga pingsan.
“Nape lo jadi sok romantis ke gue?” tanya Geisha. Ia akui jika tubuhnya sedikit hangat, dan untuk melawan sekarang rasanya tidak mungkin.
Barton yang mendapat pertanyaan itu menatap dalam. “Gue ... ngantuk, Ges. Kita tidur aja ya!”
Barton segera memejamkan mata, sedangkan Geisha menatap tak percaya.
“Tidur, Ges. Tiga puluh menit aja, gue capek.”
Geisha tak menjawab, ia kemudian memejamkan mata dan berharap tiga puluh menit segera tiba dengan cepat.