Episode 10 : Sikap Tegas Dara

1820 Kata
Billy menghilang. Sudah tak terhitung Dara menghubungi nomor ponsel Billy. Sudah tak terhitung jumlah kata yang Dara kirimkan pada Billy melalui pesan. Termasuk itu mendatangi rumah Billy, Dara yang sampai tak lagi diizinkan masuk oleh satpam di rumah Billy benar-benar seperti pengemis. Menunggu di balik gerbang sambil meratapi rumah Billy yang tak sebesar rumah orang tua Dara. Bahkan, rumah orang tua Billy tak ada separuh dari besar dan mewahnya rumah keluarga Dara. “Aku akan lapor polisi!” tegas Dara ketika akhirnya di tiga hari pencariannya pada Billy, membuahkan hasil. Di kampus mereka, ia menemukan Billy yang memang satu tingkat lebih tinggi dari Dara. Kebersamaan mereka terjadi di toilet umum perempuan. Tadi Dara nekat menyeret Billy setelah memergoki pemuda itu di depan wastafel ruang toilet umum. Billy dengan santainya tengah merapikan gaya rambutnya hingga ketampanan pemuda yang menjadi idola wanita khususnya di kampus tanpa kenal usia itu tampak sangat paripurna. Berhadapan dengan jarak yang begitu dekat bahkan tidak sampai ada tiga puluh senti meter, Dara merasa dirinya tak lagi berharga. Billy tak lagi sibuk mengemis cinta apalagi perhatian. Pemuda itu bahkan tak lagi agresif hingga membuatnya harus sibuk menghindar sambil marah-marah. Billy, ... sekadar menatapnya saja, pemuda itu tampak tidak sudi. “Aku tidak bohong,” lanjut Dara karena Billy hanya diam. Meski tampak malas, kali ini pemuda bermata sipit itu menatapnya sambil bersedekap. “Aku benar-benar mau fokus ke karier!” ucap Billy malas dan juga emosi. Nadanya cenderung mengomel. “Lalu, bagaimana dengan aku? Dengan kehamilanku? Anak kita?” “Aku kan sudah bilang, gugurkan saja. Enggak ada yang tahu juga asal kamu enggak cerita. Lagian kalau kamu sampai melapor ke polisi, yang ada malah kamu dan keluarga kamu yang malu. Menuduhku menghamilimu sekalipun aku pernah berpacaran dengan kamu, ... enggak segampang itu!” Balasan Billy membuat darah Dara seolah didihkan. Segampang itu Billy menganggap hubungan mereka? Sekeji itu Billy padanya yang tengah mengandung anaknya? Bodohnya, Dara malah menunduk loyo dan membiarkan Billy menabrak bahu kanannya ketika pria itu meninggalkannya. Gaya Billy sungguh keji, bak pepatah habis manis sepa Dara pun dibuang. Sory, Ra. Sampai kapan pun enggak ada yang lebih penting dari karierku bahkan itu kamu, batin Billy. “Aku akan menikah,” ucap Dara lirih. Meski hati bak tercabik tanpa henti, meski lidah sudah sibuk menuntut untuk memaki, Dara ingin membalas Billy dengan jauh lebih keji. Ia menyusul Billy keluar dan kebetulan suasana toilet umum kebersamaan mereka benar-benar sepi. Seolah hanya ada mereka berdua saja, walau di kampus mereka belajar dan menemukan cinta sekaligus luka, tidak hanya dihuni mereka. Billy yang mampu mendengar ucapan Dara dengan jelas sengaja berkata, “Jangan bermimpi, aku tidak akan menikahimu, ... sampai kapan pun.” Dara tersenyum pedih, ia makin yakin pemuda yang sangat ia cintai dan telah menanam benih di rahimnya benar-benar seorang b******n. Pemuda itu masih berdiri di hadapannya sekalipun Billy juga tetap memunggunginya. “Dari dulu sebenarnya aku tidak pernah benar-benar menyukai, tertarik, apalagi mencintaimu. Alasanku bersama kamu karena taruhan yang aku lakukan bersama teman-temanku. Kami sepakat memilih mahasiswi paling cupu untuk kami dekati dan dari semua yang ada di kampus ini, kami memilih kamu karena dari semuanya kamu paling cocok menjadi bahan taruhan kami.” “Memang sesampah itu kalian. Tahu dari semuanya aku yang paling tidak layak, masih saja kalian berebut menjilat! Satu hal yang harus kamu bahkan teman-temanmu tahu, setelah apa yang terjadi, aku juga tidak ingin mengenal kalian apalagi kamu lagi.” Dara sudah berada di hadapan Billy sambil bersedekap dan menatap Billy dengan menantang. Kini, gen keberanian dari Azura tengah menguasainya. Dan Dara sungguh ingin balas dendam jauh lebih keji dari apa yang Billy lakukan. Lihatlah, pemuda di hadapannya sungguh tidak tahu diri dan berani-beraninya tersenyum mengejek kepadanya. “Jangan lupa, nyaris dua bulan terakhir kamu mengemis untuk aku nikahi!” lirih Billy sengaja mengejek. Tak ada lagi cinta atau sekadar permohonan perhatian yang tersisa. Kedua sejoli itu sibuk saling sikut. Balas dendam, dan ditegaskan dengan tatapan mengejek sekaligus kata-kata bernada sinis. “Aku tidak pernah ingin menikah dengan kamu apalagi tanpa kamu pun, aku sudah memiliki segalanya. Jangan lupa, ... kamu, tidak ada apa-apanya dibandingkan aku dan keluargaku. Kata kasarnya, kita enggak sele-vel!” Sempat terkejut dengan balasan Dara yang tak hanya sinis tapi juga keji, Billy tak mau tinggal diam. Ia pura-pura tertawa seolah apa yang Dara katakan tak berarti untuknya. Ia baik-baik saja apalagi ia yakin, Dara hanya sedang menggertaknya. “Baiklah, berarti kamu akan menikah dengan laki-laki lain? Maksudnya begitu, kan? Kalau begitu, besok aku akan menjadi pengisi acara di pernikahanmu ....” Jujur, Billy belum selesai bicara, tapi Dara sudah mencela. “Idih ... mengundang penyanyi profesional dalam negeri saja aku mikir lagi, apalagi mengundang kamu yang bukan siapa-siapa? Paling tidak orang tuaku pasti akan mengundang penyanyi internasional karena tamu undangan kami bukan orang sembarangan!” “YA SUDAH PERGILAH!” Kali ini Billy benar-benar emosi. Kedua tangannya yang bersedekap menjadi gemetaran dan perlahan mengepal. “Tentu saja, ... tanpa kamu minta pun aku akan melakukannya.” Sebelum pergi, Dara sengaja berkata, “Jangan pernah menganggap pertemuan ini karena aku mengemis pertanggung jawaban kamu. Aku, sengaja menemui kamu karena aku sengaja memperingatkan kamu, selain karena aku yang memang tidak mungkin mengundangmu ke acara pernikahanku!” “CAMKAN ITU!” “PENGANGGURAN DARI KELUARGA PAS-PASAN, BELAGUNYA TINGKAT DEWA! AKU TUNGGU KESUKSESAN KARIER YANG SELALU KAMU KOAR-KOARKAN KEPADAKU. AKU TUNGGU KEGAGALANMU KARENA BISA AKU PASTIKAN, SEBAGUS-BAGUSNYA SAMPAH DIDAUR ULANG, KUALITASNYA TETAP MURAHAN!” Dara meluapkan emosi sekaligus kekecewaannya. Ia menatap sinis Billy dan tak segan berludah di depan pemuda itu. Billy berpikir Dara hanya sedang bersandiwara karena kekasihnya itu kesal bahkan kecewa kepadanya. Billy yakin, semuanya tetap baik-baik saja walau Dara sampai meludahinya. Namun nyatanya, jangankan berhenti, sekadar melirik dan sedikit menoleh saja, Dara tak melakukannya. Dara sungguh pergi dengan langkah tegas sekaligus lebar persis seperti saat wanita muda yang tengah mengandung benihnya itu tiba-tiba menerobos masuk toilet kemudian menyeretnya masuk ke salah satu bilik toilet perempuan. Dara benar-benar akan menikah? Dengan siapa? Duda tua itu? Pikir Billy yang menjadi ketar-ketir sendiri. Aku akan menjadi ibu tunggal. Aku akan memberi janin ini kesempatan seperti halnya apa yang mamah lakukan kepadaku! Tekad Dara sudah bulat, tak ada lagi Billy dalam hidupnya. Tak ada lagi cinta yang tersisa untuk pemuda itu apa pun yang terjadi. Bahkan sekalipun Billy dan band-nya menjadi topik hangat karena manggung di kampus dan membuat semua mahasiswi meleleh. Dara langsung pulang bersama mobil jemputannya yang sampai diganti dari yang biasa. Mobil jemputan Dara merupakan koleksi mobil terbaru milik Danian dan tak sembarang orang bisa memilikinya. Yang mana, mobil jemputan Dara dengan sederet keistimewaannya itu juga sampai memecah fokus mahasiswi pada Billy dan bandnya. Kabar yang juga langsung membuat Billy tercengang ketika mengetahuinya. Billy merasa kembali tertampar dengan ucapan terakhir Dara yang menantang kesuksesannya, selain Dara yang sampai mengecap Billy sebagai pengangguran dari keluarga pas-pasan. Dari semuanya, Velly dan Lita menjadi orang yang paling merasa bingung atas perubahan sikap Dara maupun Billy. Dara dan Billy seperti tidak saling kenal dan seolah sengaja menjaga jarak. Dara yang terkesan sengaja menutup diri dari siapa pun termasuk itu dari mereka apalagi Billy. Billy yang sibuk tebar pesona dan beberapa kali mengundang mahasiswi cantik di sana untuk naik ke panggung menemaninya bernyanyi. Iya, Billy terus menebar sensasi dan tak segan menggandeng atau malah memeluk mahasiswi cantik pilihannya. *** Ketika Dara sibuk muntah karena serangan mengidam, Billy makin sibuk bersenang-senang dengan wanita cantik. Wanita cantik yang tak segan Billy bawa ke mana pun Billy pergi. Dari panggung ke panggung, bahkan ke penginapan. Keadaan Dara yang makin hari makin mengkhawatirkan, membuat Fean berdusta pada Danian dan Azura. Fean mengakui kehamilan Dara sebagai ulahnya. Fean berdalih, janin dalam rahim Dara merupakan benihnya sebagai hasil dari hubungan mereka. “Karena ini juga, aku ingin menikahi Dara dalam waktu dekat.” Fean mengakhiri ucapannya dengan serius sekaligus tegas tanpa ada sedikit pun celah yang membuatnya terlihat sekaligus terdengar tengah bersandiwara. Di ruang sarapan yang berada di teras sebelah kolam renang, Danian sampai menyiramkan kopi panas yang baru akan ia nikmati ke wajah Fean. Tak hanya sampai di situ. Karena Danian juga sampai membanting cangkir kopinya ke lantai teras kebersamaan mereka, penuh emosi. Fean terdiam membeku dan menerima hukuman dari Danian karena Fean sadar, itu memang sudah menjadi konsekuensi dari pengakuan sekaligus keputusannya. Sementara yang terjadi pada Azura, wanita itu teramat sulit mengungkapkan perasaannya. Azura merasa pengakuan Fean mengenai kehamilan Dara bak sambaran petir di siang bolong. Azura merasa sangat tak habis pikir, kenapa Dara juga mengalami apa yang ia alami di masa lalu saat mengandung Dara? “Papah ...?” Suara barusan merupakan suara Dara. Dara dengan wajah pucatnya hingga ia tampak sangat tidak sehat, menatap tak habis pikir Danian yang tadi ia dapati dari kejauhan sampai menyiram wajah Fean dengan kopi panas. Kopi yang bahkan masih mengepulkan uap pekat dan juga sukses membuat wajah Fean yang tersiram merah padam. “Bawa dia pergi dari sini!” Danian benar-benar murka. Dara yang sudah sampai jongkok di hadapan Fean dan memberi pria yang sudah ia anggap sebagai papahnya itu perhatian, langsung menatap tak habis pikir Danian. Dara nyaris protes dan menanyakan maksud sang papah sangat murka pada Fean yang juga menjadi kenyataan langka, tapi Azura sudah lebih dulu berdeham. Azura mengatur napas, sibuk menghela napas pelan dan memang cenderung terlihat sesak napas. Kenyataan yang makin membuat Dara mereka ada yang kurang beres dalam kebersamaan di sana. Terpikir oleh Dara, apakah Fean telah melakukan kesalahan fatal hingga Danian murka dan sampai berdampak pada Azura? Tak biasanya Danian begitu karena sejauh ini, hubungan Fean dan orang tua Dara sangat dekat. Danian dan Azura bahkan cenderung menghormati Fean yang memang lebih tua empat bulan dari Danian. “Dara, bawa Om Fean pergi dulu. Mamah dan Papah harus membicarakan ini.” Azura angkat suara dan bertutur sangat tegas. “Sebenarnya ada apa, sih?” lirih Dara. Ia bahkan memilih berlutut di hadapan Fean yang sempat ia tiup-tiup wajahnya demi meredam luka di sana. Tak ada yang menjawab. Baik Danian yang bungkam, Azura yang kebingungan, juga Fean yang masih menunduk dalam. Keadaan yang makin membuat Dara yakin, telah terjadi hal fatal di antara ketiganya. “Om, sebenarnya ada apa?” tanya Dara setelah mereka memisahkan diri dari Danian dan Azura. Dara membawa Fean ke kamar mandi yang ada di kamar tamu. Di tangan kanan Dara juga sudah ada salep untuk luka melepuh yang juga bisa membuang bekas lukanya. “Sebentar lagi kalau sudah waktunya, kamu pasti tahu!” ucap Fean optimis dan tetap memberikan senyum terbaiknya sekalipun di wajahnya masih dihiasi kopi panas yang kini sudah mengering. Diam-diam, Azura dan Danian yang mengintip kebersamaan Fean dan Dara, menjadi gundah gulana. Mereka tak memiliki pilihan lain selain menikahkan Fean dan Dara secepatnya apalagi melihat kepedulian Dara yang sampai membantu membersihkan wajah dan juga sekitar leher Fean menggunakan handuk basah sebelum akhirnya Dara juga sampai memoleskan salep pada wajah Fean yang tersiram kopi, semua itu menegaskan bahwa Dara sudah siap menjadi istri sekaligus pendamping Fean.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN