BAB 3. DICORET DARI KELUARGA KUSUMA

1199 Kata
. . "Mulai saat ini, kamu bukan lagi anakku. Urus ibumu sendiri!" Setelah mengatakan itu Aji berlalu meninggalkan Bulan yang hanya bisa mematung di tempat. "Syukurin!" ejek Sekar merasa menang atas apa yang sudah menimpa Bulan. Sedangkan Anggi dan juga Tiara tersenyum bahagia atas kemalangan yang menimpa Bulan. Mereka merasa sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan saat ini. "Setelah di buang oleh keluarga Kusuma mau jadi apa kamu?" ucap Anggi penuh ejekan. "Aku nggak nyangka ya kak, ternyata kamu nggak sepolos yang aku kira. Sekarang mana ada lelaki baik-baik yang mau dengan wanita bekas gigolo seperti kamu," ejek Tiara tak mau kalah. Ternyata adik tirinya bisa bermulut tajam juga. Selama ini ternyata dia hanya berpura-pura polos. Bulan tercekat mendengar hinaan yang ditujukan untuknya. "Gi-ggigolo?" gumamnya jijik. Benarkah lelaki yang sudah merenggut keperawanannya seorang gigolo? "Iya. Aku yang sudah menyiapkan lelaki itu untuk kamu. Aku baikkan?" ucap Sekar penuh kemenangan kala melihat wajah Bulan yang kian pias saat mendengar kalau lelaki yang membersamainya semalam adalah seorang gigolo. Apa lagi yang lebih hina selain ketahuan bermalam dengan seorang lelaki bayaran. "Tanpa bantuanku, tentu tak ada satupun lelaki yang tertarik padamu. Buktinya untuk melepas keperawanan pun aku yang membantumu membayarkan seorang p*****r pria untukmu," ejek Sekar kian menyakiti perasaan Bulan. "Ish ish kasihan sekali kamu kak," ejek Tiara ikut menggarami luka di hati Bulan. "Akhirnya anak dan ibu yang benalu itu pergi juga dari kehidupanku," ucap Anggi penuh kelegaan. Tanpa menyebut nama, Bulan sadar siapa yang dimaksud oleh ibu tirinya itu. Bulan menatap Anggi benci. Andai Anggi tau kalau sebelum sakit, ibunyalah yang membesarkan usaha ayahnya yang tidak becus berbisnis itu. Sayang sekali setelah ibunya sakit, kondisi perekonomian mereka ikut bangkrut. Hal itu terjadi karena Aji yang selalu kalah dalam merayu investor. Beberapa kebijakan yang diterapkan ayahnya juga selalu gagal. "Jangan pernah menyebut ibuku sebagai benalu. Kamu tak tau siapa dulu yang membuat usaha ayah berkembang!" bentak Bulan marah. Dia paling tidak suka ada yang mengatai ibunya benalu. Tak masalah kalau mereka menghinanya. Tapi jangan ibunya. "Oh ya? Setahuku saat aku menikahi ayahmu, kondisi perusahaan sudah bangkrut. Andai tidak dibantu keluargaku, usaha ayahmu itu saat ini hanya tinggal nama. Jadi jangan mengatakan omong kosong di depanku," bentak Anggi murka. "Sudahlah tante, tak usah memperdulikan anak buangan itu. Nanti bisa kena sial juga," ucap Sekar merasa tak nyaman karena ada beberapa pegawa dan pengunjung hotel memperhatikan mereka. Dia tak mau nama baiknya tercoreng akibat perseteruan kali ini. Dia mengajak Anggi dan Tania untuk menyusul Aji yang sudah lebih dulu pergi. Bulan terpaku di tempatnya. "Ibu. Apa yang harus kulakukan padamu?" gumamnya seakan di depannya kini ada sosok yang dia sebut ibu. Tak mungkin dia masih mengharapkan ayahnya untuk tetap mengurusi biaya pengobatan ibunya. "Ibu," gumam Bulan gegas melangkah mengingat di mana kini ibunya berada. Dia ingat kemarin ayahnya membawa ibunya pulang untuk rawat jalan saja karena tak adanya perubahan akan kondisi ibunya saat di rawat di rumah sakit. Itu pula yang dijadikan ayahnya sebagai ancaman pada Bulan supaya mengikuti Sekar hingga sesuatu yang buruk kini menimpanya. Meski berat, Bulan tak bisa melakukan apapun. Kini setelah ancaman dari ayahnya, dia yakin ayahnya tega mengusir ibu dari kediaman mereka. "Ibu. Tunggu aku. Bertahanlah," ucap Bulan gegas melangkah menuju kediaman keluarganya. Dan benar ketakutannya. Begitu dia turun dari taxi. Dia mendapati ibunya sudah berada di luar pagar dengan beberapa koper yang diletakkan di samping kursi roda ibunya. Air mata membasahi kedua netra ibunya. Sesak rasa yang kini Bulan rasakan. Air matanya juga ikut menetes. "Pak, tolong bantu saya membawa ibu saya dan koper saya," pinta Bulan kepada sopir taxi yang dia naiki. Dengan bantuan sopir taxi akhirnya Bulan membawa ibunya masuk ke dalam taxi. Bulan bingung akan ke mana membawa ibunya. "Pak. Apa bapak tau rumah sederhana yang dikontrakkan?" tanya Bulan penuh harap. Sopir taxi itu sedikit berpikir. "Ada non. Tapi saya tidak tau apa non suka. Sebenarnya saudara saya punya beberapa kontrakan. Barangkali ada yang kosong. Sebentar bapak tanyakan dulu," sahut sopir itu ramah. Tak lama lelaki paruh baya itu menepikan taxinya di tepi jalan. Lelaki itu mulai menghubungi seseorang. "Halo Di. Jadi gini, saya mau nanya kontrakan kamu apa masih ada yang kosong?" tanya sopir taxi itu di telepon. Entah apa jawaban dari orang yang ditelepon Bulan tak bisa mendengar karena bapak itu tidak meloudspeaker ponselnya. Tak lama bapak itu mengakhiri panggilannya dan berbalik ke arah Bulan. "Kata saudara saya, kontrakannya masih ada yang kosong. Kalau non nya mau saya antar. Kalau semisal nggak suka juga nggak masalah. Nanti kita cari lagi," ucap bapak itu ramah. Bulan mengangguk setuju. Dia terlalu lelah hanya untuk berkata-kata. Bapak itu kemudian melajukan taxinya kembali memecah lalu lintas yang padat. ** Akhirnya Bulan menempati kontrakan sepetak milik saudara pak Nurdin sopir taxi yang tadi menolongnya mencari kontrakan. Kontrakan itu hanya terdiri dari satu kamar, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Teras bisa dipakai untuk menjemur. Tak apa. Saat ini, Bulan hanya mampu menyewa rumah sepetak ini saja. Sisa uang yang didompetnya hanya cukup untuk menyewa dua bulan. Untung pemilik rumah ini bisa memberinya keringanan membayar dua bulan dulu. Biasanya kan setahun. Saudara pak Nurdin itu bernama pak Sardi. Tampangnya galak tapi ternyata orangnya baik. Begitu melihat kondisi bu Maya, ibunya Bulan. Hati pak Sardi langsung tak tega. Makanya memberi keringanan bisa bayar dua bulan dulu. "Neng, saya ada kasur yang nggak kepake. Kalau neng mau, pake saja. Ada di gudang samping. Kalau ada yang neng butuhkan terus dibgudang ada, neng juga bisa pakai. Dari pada beli. Sayang uangnya." "Iya neng, kalau butuh apa-apa panggil mak Romlah aja. Tuh rumah kami cat warna kuning itu," sahut istri pak Sardi ramah. Alhamdulillah, batin Bulan penuh syukur bisa bertemu orang baik seperti mereka. "Makasih banyak pak, bu. Saya bersih-bersih dulu kalau begitu. Di gudang apa juga ada alat bersih-bersihnya?" tanya Bulan sopan. "Ada neng, ayo mak antar," ujar istri pak Sardi ramah. Setelah mengambil alat bersih. Bulan gegas membersihkan kontrakan supaya ibunya bisa secepatnya istirahat. "Itu ibunya sakit apa neng? Kok diem saja," tanya mak Romlah sembarinikut membantu bebersih. Sedang pak Sardi sudah pamit sedari tadi. "Kata dokter strok mak," sahut Bulan sendu tiap mengingat kondisi ibunya yang tidak ada kemajuan sama sekali. "Sudah dibawa terapi neng?" tanya mak Tomlah perhatian. "Sudah mak. Tiga tahun selalu langganan ke dokter. Tapi nggak ada perubahan. Malah sekarang ibu saya nggak bisa gerak sama sekali. Beliau juga nggak bisa ngomong sama sekali," ucap Bulan sendu. "Mak ada kenalan yang bisa ngobati penyakit begituan neng. Nanti mak ajak ke sana. Barangkali jodoh siapa tahu," kata mak Romlah menawarkan bantuan. "Tapi saya belum ada uang untuk berobat mak," sahut Bulan sendu. Dia merasa sebagai anak sangat tidak berguna. Jangankan membawa ibunya berobat. Mencukupi kebutuhannya saja dia masih bergantung kepada ayahnya. Dia memang seringkali membantu pekerjaan ayahnya di perusahaan. Tapi dia tak pernah digaji. Apalagi sekarang pasti ayahnya tidak akan sudi memperkerjakannya lagi di kantor. Tapi kalau dipikir dia tak rugi juga tak bekerja di sana. Tak digaji juga. Sekarang Bulan harus berpikit demi dirinya dan ibunya dia harus bekerja. Tapi di mana? Dia hanya tamatan SMA, ayahnya tak mengijinkannya untuk kuliah saat dia mendapatkan bea siswa. Alasannya tak ada biaya. Apalagi dia hanya seorang perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Wadduuuh Bulan bulan gimana nasib kamu sekarang????
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN