Semua berkumpul di lapangan tengah ketika pelatih memerintahkan. Mereka di bagi dua team untuk menentukan siapa yang akan terpilih. Idris dan Royce berada satu team sementara Percival ada di team lawan. Royce sangat hebat dalam perencanaan, sementara Idris adalah sang kapten team yang selalu berhasil mempertahankan juara. Dan mereka kakak beradik. Semua akan semakin menarik apalagi melihat kemampuan Percival tadi. Rasanya sudah puas hanya dengan melihat pertandingan ini. Tiga orang dengan kemampuan luar baisa.
"Hi, apakah bangku di sini kosong?" tanya seorang wanita. Suaranya lembut sekali, tetapi tidak lebih bagus darinya. Dia sangat percaya diri dalam hal itu. Memiliki cita-cita sendiri yang berhubungan dengan suara.
Kacy menatap ke samping, ke arah wanita itu dan cukup tercekat dengan siapa yang mengajaknya bicara. "T-tentu," jawab Kacy agak gugup.
Wanita itu tersenyum dan dia terlihat cantik. Memakai tanktop hitam dan celana jogger berwarna biru donker. "Aku Mikayla Alex." Wanita itu mengulurkan tangannya dan Kacy segera membalas. Ia tahu jelas tanpa wanita ini memperkenalkan diri, bahwa yang di depannya adalah Mikayla Alex. Mikayla adalah teman satu jurusan dan satu angkatan dengannya. Dan semua orang tahu Mikayla termasuk dalam klasifikasi siswi popular karena cantik dan cukup berpengaruh di Abel Wood. Jelas dia kaya raya. Dan kesempurnaan itu sekarang berada di samping Kacy. Kemajuan yang bagus. "Ehm kenapa kau diam saja?" Tanya Mikayla dengan ragu dan bingung.
Cukup untuk menyadarkan Kacy dari isi kepalanya dan segala teori-teori yang ada. "Euhm sorry," ujarnya kikuk.
Mikayla terkekeh. "Its ok. You are cute." Sungguh tawa itu indah sekali. Kacy yang wanita dan dipastikan menyukai pria saja, sampai terpesona.
"Thankyou?" jawabnya dengan nada yang mirip seperti pertanyaan. Ragu. Bayangkan saja disebut cute oleh wanita sekelas Mikayla. Bahkan pipi Kacy ikut memanas. Memerah malu dengan pujian yang didapatkan. Efeknya lebih dari ocehan Royce atau malah Percival.
"So, pasti kau Kacyka Trace. Right?" tebak Mikayla.
"Ya. Bagaimana kau tahu?” tanya Kacy balik. Terkejut. Rasanya seperti mendaat banyak sekali kejutan. Setelah mendapat pujian, sekarang Mikayla tahu namanya.
"Kau dibicarakan banyak orang,” jawabnya jujur. Tidak berniat untuk mengatakan kebohongan untuk mendekati atau menarik hati. Pun memang sekelas Mikayla tidak perlu melakukan hal itu. Orang-orang ingin dekat dengannya.
"Benarkah?" Kening Kacy berkerut bingung. Kacy bukan Mikayla ataupun Livy. Mustahil orang membicarakannya bahkan menganggap dia ada. Dia sudah terbiasa tidak kasat mata.
Mikayla mengangguk. "Mereka bilang sekarang kau berbeda. Sangat cantik."
Ia langsung mengangguk-anggukkan kepalanya. Mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Mengerti mengapa dia jadi perbincangan. Tepat seperti yang dikatakan Royce sebelumnya. Tepat seperti reaksi Percival. "Oh aku mengerti tentang itu."
"Dan kau cerdas." tambah Mikayla. Merasakan perubahan berarti dari wajah Kacy setelah dia mengatakannya, tetapi bukan sebuah kesenangan.
"Tidak ada yang peduli tentang itu," ujar Kacy sambil mengedikan bahunya. Ia tahu diri dan sadar. Menurutnya tidak masalah. Ia juga mengakui apa yang ada.
"Aku peduli,” jawab Mikayla.
"Benarkah?" tanya Kacy sambil mencari-cari kejujuran di sana.
"Tentu! Sayangnya kau sulit sekali diajak berbicara. Maksudku dari dulu aku ingin sekali berteman denganmu. Kau terlihat baik,” akui Mikayla. Tidak ada kebohongan di sana. Ia memang tertarik sejak dulu dengan Kacy. Menurutnya, mereka akan cocok ketika dekat.
"Benarkah? Bukan hanya sekarang aku tampak berbeda?" tanya Kacy lagi. Dia sadar dan tahu.
Mikayla terkekeh. "Oh Ayolah aku tidak peduli dengan itu. Mungkin karena kau terlalu menarik diri, dan itu yang menarik. Kau tidak seperti mereka yang mendekatiku hanya karena agar terlihat keren lalu membicarakanku di belakang." Mikayla menerawang sambil menghela napasnya. Dia berkali-kali mengalami hal itu. Orang yang mau dekatnya karena alasan strata, seakan jika sudah berteman dengannya, berada satu kelompok dengannya, berarti sudah berada level yang sama. Sebenarnya Mikayla tidka begitu mempedulikan hal itu, tapi bagaimana mereka membicarakan di belakang setelahnya, sangat memuakan.
Kacy benar-benar senang mendengarnya. Dia tidak pernah menyangka bahwa Mikayla menilainya sebagus itu. "Mungkin itu alasannya aku lebih suka sendiri," ujar Kacy. Dia juga tidak suka dibicarakan di belakang. Pria dan wanita, sama saja. Dia hanya perlu menemukan teman yang setia dan baik. Yang tulus.
"Mungkin aku juga sekarang," ujar Mikayla. Lalu Mikayla menatap Kacy tersenyum. "Mungkin kita bisa bersama karena kita sama-sama tidak membutuhkan teman?"
Kacy cukup kaget dengan apa yang Mikayla katakan. Mikayla terlihat benar-benar menyenangkan tidak seperti yang selama ini Kacy anggap. "Ide yang sangat bagus!" Dan mereka tertawa bersama. Sungguh perbincangan aneh tentang persahabatan. Permulaan yang sangat langka.
"GOAL!!" saat itu sorakan terdengar dari seluruh penjuru lapangan ini.
Kacy dan Mikayla langsung menatap ke arah lapangan. Para pemain mengerubungi Percival. Memberikan high five, tepukan di bahu, atau memeluknya. Percival memberikan goal untuk teamnya. Artinya dia berhasil mengelabuhi seluruh rencana dan trik Royce. Ia juga berhasil mengalahkan kapten team terhebat, Idris. Dia memang sempurna, padahal masih di tahun pertama.
"Wow he is cool!" ujar Mikayla terpana.
Kacy menatap ke arah Percival yang masih di kerubungi. Dielu-elukan. Lalu Percival melepaskan diri dari kumpulan orang-orang yang memberinya selamat. Kembali mengambil bola yang ada dan menendangnya. Gawang itu memang tidak ada yang menjaga, tapi melihat jaraknya yang begitu jauh dan tendakannya tepat masuk, itu menakjubkan. Percival lalu mengadah ke arah bangku penonton dan menatap Kacy yang duduk. Tersenyum penuh kemenangan dengan sangat manis ke arah Kacy sambil menaikan sebelah alisnya. Kacy bergidik memasang wajah sinis, jijik. SEperti biasa, Percival si tukang pamer. Lalu kembali ke lapangan karena pelatih mengumpulkan mereka.Ttentu untuk memberi tahu siapa yang masuk team inti dan pasti Percival ada di dalamnya.
"Kalian benar-benar manis," ujar Mikayla pada Kacy.
"Who?" Kacy terlihat bingung.
"Kau dan pacarmu."
"Pacar?" Kacy semakin binggung dan curiga. Menemukan kejanggalan pada ucapan Mikayla.
"Ya, yang berhasil mencetak goal. Dan dia tersenyum ke arahmu seperti mengatakan ini untukmu. Manis sekali," puji Mikayla.
Sekarang Kacy benar-benar tidak habis pikir. Mulut terbuka lebar karena kaget. Bagaimana bisa Mikayla beranggapan seperti itu? Tidakkah Mikayla melihat, bagi Kacy senyuman itu lebih seperti kesombongan dan mengatakan bahwa Percival adalah orang hebat dan akan selalu begitu. Bahwa Percival selalu teratas dan dia dapat melakukan apapun seperti yang diakukan dahulu. Membuat Kacy menjadi bahan lelucon. "Tidak. Dia bukan pacarku."
"Benarkah?" Sekarang Mikayla yang merasa bingung karena dia merasa apa yang dia lihat tidak salah. Percival seperti berusaha mencari perhatian dari Kacy.
"Ya, dan jangan tanyakan apa-apa lagi, Mikayla. Satu-satunya pacarku adalah buku. Dan sekarang aku harus berkencan dengan pacarku di perpustakaan." Kacy langsung bangkit pergi dengan segera meninggalkan Mikayla. Itu jelas bukan salah Mikayla, tetapi dia merasa marah dengan keadaan. Marah dengan Percival. Geram. Marah juga dengan dirinya sampai orang lain menganggap begitu. Teringat bagaimana menyebalkannya Percival. Kacy tak suka hal itu.
Mikayla memandang ke lapangan sambil memerhatikan Percival yang dari tadi bermain sempurna. Lalu tiba-tiba tatapannya berhenti ke seorang pria yang tersenyum ke arahnya. Dia tahu jelas bahwa itu adalah Idris, kapten team. Mikayla memberikan senyuman balik dengan kikuk. Lalu Idris dan yang lainnya pergi menuju ruang ganti. Mikayla masih tidak bisa menahan senyumnya mengingat Idris tiba-tiba tersenyum padanya. Menyadari bahwa dari tadi pria itu menatapnya. Tapi kenapa? Jujur saja, itu membuat Mikayla merasa bahwa Idris tertarik padanya. Terdengar begitu percaya diri untuk dirinya sendiri. Ia bahkan tidak bisa berhenti tersenyum memikirkan dan menebak-nebak saja. Rasanya tidak mungkin. Atau mungkin di lubuk hati terdalam. memang Mikayla menginginkan hal itu benar.
[]