"Kacy!"
"Yes Dad," sahut Kacy dari kamarnya.
"Bisa kau kesini sebentar?" Pinta ayahnya.
Ia menarik napas lalu mengembuskannya. Aktivitas membaca bukunya jadi terganggu, sementara dari semua hal yang dia paling sukai adalah berkutat dengan buku-buku di dalam kamar. Tetapi untuk ayahnya, Kacy akan melakukan apa pun. Hidup dan tumbuh besar dengan sang ayah, membuat ikatan mereka cukup kuat, sekalipun tidak setiap hari lovey-dovey, sebab keduanya sama-sama sibuk. Sang ayah sebagai sherrif di Abel Wood, sementara Kacy dan ambisinya menjadi nomor satu. Ambisinya mengisi isi kepala dengan berbagai pengetahuan yang kadang bahkan orang-orang lain pertanyakan mengapa dia ingin tahu hal tersebut. Tidak hanya sekadar pengetahuan, Kacy menikmati buku-buku fiksi dengan berbagai genre. Dia merasa dapat hidup di banyak dunia ketika membacanya. Untuk hiburan dan kadang akan menemukan banyak hal untuk merefleksikan diri. Menutup bukunya, ia membawa langkahnya berjalan keluar kamar menuju ruang kerja di mana sang ayah berada. Teman terbaiknya ; buku, masih ada di genggaman. Ruangan yang penuh dengan berkas-berkas kasus dan beberapa senapan angin—Tuan Trace suka berburu—juga pistol mengingat pekerjaannya. Kacy ingin memilikinya satu, sayangnya itu tidak dilegalkan untuknya.
"Ada apa Dad?" Tidak biasanya sang ayah memanggil sampai meminta datang ke ruangan. Jiak sudah seperti ini, pasti ada hal penting. Ada kalimat yang ingin dilontarkan, tetapi butuh suasana khusus, seperti Kacy yang harus mendekat agar menegaskan di mana sang ayah memiliki kuasa lebih. Ingin dipatuhi sekaligus menjaga.
"Ini tentang pembunuhan yang beberapa hari lalu terjadi sekolahmu," kata Tuan Trace membuka pembicaraan. Ia adalah sherrif, dipastikan menangani hal tersebut.
Baru saja satu pembukaan, senyuman mereka sudah terukir di wajah Kacy saat ini. "Ya?" Langsung bersemangat mendengarnya. Kacy memiliki suatu hasrat tersendiri dalam analisis. Menebak-nebak sesuatu. Membuat hipotesa dan kesimpuan. Spekulasi. Mungkin karena dia tumbuh bersama ayahnya yang seorang kepala polisi. Atau mungkin karena buku-buku suspens yang telah dia baca selama ini. "Apa kau memintaku menyelidikinya? Oh untuk mu apapun akan aku lakukan. Aku akan sangat bersedia,” sambungnya lagi, sebab sudah tidak sabaran dengan apa yang ayahnya akan katakan. Dia sekarang seperti bocah yang menunggu permen kapas di taman bermain. Matanya berkilap penuh gairah dan kedua tangan yang diremat, menahan diri hingga meledak dalam kesenangan. Sesuatu yang aneh untuk dilihat, sebab Kacy tidak sedang menunggu sebuah hadiah, melainkan tanggung jawab, tugas ; itu juga kalau dia mendapatnya. Diperbolehkan oleh sang ayah.
Helaan napas berat lolos dari bibir Tuan Trace yang tidak begitu tebal, berbeda dengan anaknya. Kacy pasti mengikuti bibir indah dan tebal milik ibunya yang sudah tiada. Banyak yang mengatakan bahwa Kacy tidak mirip sang ayah sama sekali. Semua dari paras sampai sifat yang suka sekali hal-hal misteri—bukan mistis—sangat mirip sang ibu. Dan alasan mengapa Tuan Trace memanggil Kacy tentu untuk menghentikan anaknya. Dia cemas akan ada sesuatu yang berbahay. Bagaimanapun orang tua—yang seharusnya—selalu ingin melindungi anaknya. Sekalipun tidak sedikit yang melakukan sebaliknya. Tuan Trace masuk dalam kualifikasi orang tua baik hati, sekalipun sibuk, dan Kacy juga anak baik karena selalu memahami hal tersebut. "Tidak akan. Aku juga sangat-sangat bersedia untuk melarangmu. Jangan coba-coba melakukan hal berbahaya seperti itu dengan keingin tahuanmu Kacy,” larang Tuan Trace. Alasan mengapa dia memilih untuk memanggil Kacy, alih-alih mendekatinya. Juju saja, dia juga sedang bingung dan kaget dengan kasus pembunuhan yang terjadi.
"Lebih tepatnya dengan kecerdasanku Dad," koreksi Kacy. Tetap tenang. Tidak ingin membuat sang ayah semakin pusing. Sebab sedari tadi terus mendengar helaan napas sambil memijit kepala terus-menerus. Rambut putih ayahnya mungkin akan terus muncul hingga Kacy akan menawarkan menyemir di salon.
"Apa pun itu,” kata ayahnya.
"Lalu ada lagi?” tanyanya. Ia tahu pasti ada hal lainnya yang dibutuhkan sang ayah. Perlu digaris bawahi, ayahnya memanggil Kacy ke ruang kerja, bukan mengetuk pintu kamar dan memberi tahu lembut. Memang masih lembut, tetapi Kacy tahu ada sesuatu yang lain. Sudah dikatakan, anak perempuan Tuan Trace ini sangat baik dalam menganalisa. Dia bisa menelanjangimu dengan sebuah kebenaran kalau berusaha membohonginya.
"Ini tentang saksi mata,” kata Tuan Trace membuka mulut pada akhirnya. Ia tidak ingin sama sekali menyeret anaknya masuk dalam kasus ini. Tapi sialnya, pembunuhan itu memakan korban dan terjadi di Abel Wood Highschool, dan Kacy adalah salah satu murid di sana.
"Ya?" tanya Kacy lagi agar ayahnya melanjutkan apa pun yang ingin dikatakan. Adrenalinnya terpacu. Detak jantungnya menjadi lebih cepat dari biasanya untuk ukuran darah rendah sepertinya. Menahan diri agar senyuman lebar tidak terukir, kalau tidak mau ayahnya menarik diri kembali. Enggan bertanya padanya. Mungkin cara terbaik adalah pura-pura tidak tertarik.
Mengangguk-anggukkan kepala, Tuan Trace menjadi lebih gugup dan cemas. Ia berkali-kali meyakinkan diri bahwa hanya ingin bertanya dengan sang anak. Tidak lebih. Tidak berusaha menarik Kacy untuk ikut campur banyak dalam kasus ini. Tidak akan membahayakan Kacy. "Jadi—kau akan sangat-sangat membantuku.” Ia menarik napas dulu, seolah sedang mengalami wawancara perusahaan untuk mendapatkan posisi tinggi. Atau mungkin sedang menginterogasi saksi mata seperti pekerjaan yang biasa dilakukan. Dan yang kedua, sepertinya memang sedang terjadi, sebab dia sengaja menyuruh Kacy datang ke ruangannya. “Kau tahu apa itu saksi mata?" tanya Tuan Trace perlahan, seolah sedang berbicara pada seorang murid, bukan hanya sekadar anaknya. Benar-benar berhati-hati memilih kalimat.
Baiklah, Kacy mengerti sekarang. Pertama, dia bukanlah saksi mata. Tidak dekat juga dengan korban. Pasti ada sesuatu yang lebih dari itu. "Tentu, orang yang melihat kejadian di tkp atau menemukan korban. Bisa juga orang yang tahu sesuatu tentang sebuah kasus dan dekat dengan korban. Aku membacanya." Kacy mulai bersemangat kembali.
"Baiklah, jadi—Ayah memintamu menemui saksi mata," tutur Tuan Trace pada akhirnya. Sampai pada pokok pembicaraan.
Mata Kacy langsung membulat bersemangat. Kembali berkilap-kilap. "Benarkah? Tentu aku sangat bersedia!" katanya langsung seolah sedang bermain detektif-detektifan.
"Bagus,” sahut sang ayah sambil mengangguk-anggukkan kepala. Menenangkan dirinya sendiri.
Penuh percaya diri, Kacy seakan siap dengan tugas pertamanya. Seperti mendadak menjadi peran utama dalam serial tertentu. Bisa menjadi agent rahasia di mana tidak ada yang menyangka seorang anak sekolahan, memiliki kendali dan kemampuan sehebat itu. Dulu dia pernah memiliki cita-cita banyak, salah satunya adalah agent rahasia. Intelijen negara. "Apa yang aku harus lakukan? Semacam memaksa dia meminta keterangan atau merayunya? Atau mencari kesalahan dalam alibinya?" tanya Kacy dengan mata memincing. Lagaknya sudah seperti FBI saja.
Buru-buru menggeleng, Tuan Trace merasa butuh meluruskan sesuatu. Pertama, yang harus menginterogasi adalah diri dia sendiri, dengan surat perintah dan mendapat pendamping. Tidak mungkin orang lain. Ia juga tidak akan menyuruh Kacy melakukan hal semacam itu. Melanggar mekanisme pekerjaan dan juga dirinya sebagai seorang ayah. Akan menjadi tidak becus jika dia melakukannya. "Tidak. Bukan itu, tetapi aku butuh kau menenangkannya."
Kening Kacy berkerut bingung sekarang. Terdengar aneh. Menimbang-nimbang apakah rasa tertariknya harus pudar atau tidak. Menenangkan—jelas bukan yang dia harapkan. Tetapi mungkin ini bisa menjadi awal di mana sang ayah akan meminta bantuannya lagi dan lagi. Menjadi jalan untuk kepercayaan sang ayah. Atau mencari jalan untuknya agar mengetahui banyak hal tentang kasus ini. Mendapatkan informasi dan melihat banyak hal secara langsung. "Uh baiklah. Cukup Aneh, tapi tak apa-apa. Detektif akan melakukan itu." Kacy mengangguk-anggukan kepalanya. Membujuk dirinya sendiri.
"Dan membujuknya ke sekolah lagi,” tambah Tuan Trace dengan senyum merekah.
Ia tercekat. Seketika seluruh semangat Kacy runtuh. Tahu jelas siapa yang dimaksud sang ayah. "Oh dang! Tidak Dad! Kau menjebakku! Maksudmu Percival kan? Kau meminta aku menemui Percival? Ini bukan tentang saksi mata. Kau hanya berusaha membujukku!" protes Kacy.
"Oh, Ayolah Kacy. Kau, Percival, Royce, dan Idris sudah saling kenal sejak lama. Setidaknya kita harus menunjukan rasa peduli kita. Apalagi Percival terlihat syok dan ini ada hubungannya dengan pekerjaanku," bujuk Tuan Trace.
"Kalau begitu mengapa tidak ayah saya yang ke sana?" tanya Kacy balik. Merengek. Kalau seperti ini, dia sungguh-sungguh putri seorang Tuan Trace. Bibirnya ditekuk dan wajahnya muram. Apa pun dan siapa pun kecuali Percival. Dia tidak mau berurusan dengan pemuda sialan yang menyebalkan itu. Menghindari Percival adalah sesuatu yang paling dan harus dia lakukan. Sumber masalah. Dia benci pria itu.
"Kau bercanda? Kau pikir anak umur enam belas tahun mau bertemu dengan polisi sementara dia trauma dengan mayat yang dilihat? Ayah sudah ke rumah Percival dan bertemu dengan orang tuanya. Bertanya tentang beberapa hal mengenai mayat itu. Dan Percival benar-benar terlihat kacau. Ayah hanya membayangkan bagaimana jika itu terjadi padamu. Anak satu-satunya ayah. Hati ayah pasti akan terluka dan sedih sekali," jelas Tuan Trace dengan jujur. Tidak ada lagi yang ditutupi. Datang ke kediaman Alastar cukup membuat hatinya teriris. Bagaimana kacaunya Percival, seorang anak cukup bersemangat, jago olahraga di semua bidang dan dielu-elukan, manjadi begitu pendiam. Kacau. Trauma.
Kacy menghela napas. Ucapan ayahnya benar. Sekalipun dia sangat tidak mau bertemu si Percival, tetapi jiwa kemanusiaannya bergetar. Sisi baik dalam dirinya tidak dapat membiarkan itu saja. Bukan ingin sok heroic, tetapi membayangkan bagaimana jika terjadi pada dirinya. Bagaimana jika ayahnya yang mengalami hal itu. Maka demi sang ayah dan sisi kemanusiaannya, Kacy mengangguk. Setidaknya dia akan mencoba. "Baiklah aku akan menjenguknya. Hanya karena Ayah. Hanya untuk menunjukan rasa peduli. Toleransi, atau apa pun itu."
Tuan Trace selalu tahu bahwa anaknya sangat menyayangi dia, begitu juga sebaliknya. Bahwa Kacy memiliki sisi lembutnya sendiri. "Thankyou Kacy." Ia memeuk putri cantik semata wayangnya.
"Tapi hanya sebentar!" tambah Kacy menegaskan. Membayangkan bertemu dnegan Percival saja sudah seperti hal buruk untuknya.
"Bawalah makanan yang ada di kulkas. Ayah sudah menyiapkannya. Kau juga boleh membawa mobil untuk malam ini,” instruksi ayahnya. Menegaskan sesuatu yang membuat Kacy tidak dapat menolak. Membawa mobil.
"Seharusnya aku boleh membawa mobil setiap hari," gerutu Kacy. Tapi dalam hatinya tentu teramat senang untuk dalam beberapa hal ; jika menyingkirkan kenyataan dia tetap harus bertemu dengan Percival.
[]