1 :: Ajeng Cantika ::

1080 Kata
Kehebohan terjadi ketika dapur sudah di kuasai oleh Ajeng, wanita bernama lengkap Ajeng Cantika itu adalah anak paling kecil dari pasangan ibu Siti dan Pak Dimas dan dia memiliki satu kakak bernama Tika Cahyani. Ibu Siti adalah wanita berdarah Batak Medan sementara Pak Dimas berdarah Sunda. Jika Tika lebih lembut seperti ayahnya maka berbeda dengan Ajeng, gaya bicara bahkan sifatnya hampir sama dengan ibu mereka yang memiliki darah Batak. Sayangnya Ajeng kehilangan ibu saat usianya lima belas tahun. Sempat merasa terpuruk Dimas sebagai ayah mengerti tanggung jawabnya kepada anak-anaknya sehinga Dimas mengambil langkah nekat merantau dan membawa kedua anaknya pindah ke Jakarta dari Medan tempat dimana rumah dan banyak kenangan mereka ada. Ajeng dan Tika tahu jika ayah mereka sudah mati-matian bekerja agar mereka bisa tamat sekolah maka keduanya tidak pernah mengecewakan Dimas. Tika belajar dengan tekun dan dia mendapatkan beasiswa untuk lima puluh persen uang kuliahnya di tiap semester dan Ajeng yang tidak pintar dan dia bersekolah di sekolah swasta yang biaya sekolahnya lumayan mahal sehingga dia hanya bisa membantu dengan bekerja setelah jam sekolahnya usai. Ajeng bekerja di sebuah minimarket yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Kembali ke apa yang Ajeng lakukan saat ini, dia bangun pagi selalu setiap saat untuk memasak bukan hanya untuk dirinya namun juga untuk teman-temannya yang memesan menu nasi goreng buatannya untuk mereka sarapan. Tentu saja Ajeng tidak melakukannya dengan gratis, satu porsi nasi goreng dia jual delapan ribu saja sudah pakai telur ceplok kalau kata Ajeng tapi teman-temannya bilang telur mata sapi. Masakan Ajeng sangat enak dan tidak hanya teman-teman di kelasnya saja yang memesan namun juga kelas lainnya yang sudah mengetahui kenikmatan masakan Ajeng. Hal ini sempat membuat ibu kantin memusuhi Ajeng hingga akhrinya ibu Kantin yang tahu kondisi keuangan keluarga Ajeng tidak lagi memusuhinya, lagi pula Ajeng hanya menjual sarapan saja dan ibu kantin bernama Lilis itu menawari Ajeng menitipkan gorengan di kantinnya. Dari sana Ajeng menghasilkan pundi-pundi uang untuk dia tabung. Ajeng sadar ayahnya yang hanya seorang supir angkutan umum tidak akan mampu menanggung beban sendirian di saat kedua putrinya semakin beranjak dewasa dan mereka juga membutuhkan biaya yang lebih. Ajeng dan keluarganya hanya tinggal di kontrakan sederhana namun dia dan Tika sudah berencana menabung dan akan membeli rumah kecil untuk mereka tempati maka dari itu mereka sangat giat belajar dan bekerja secara bersamaan. Mereka memiliki keluarga di Medan dan juga Bandung namun tetap saja mereka tidak bisa meminta bantuan orang lain untuk hidup mereka bukan, terlebih Dimas ayah mereka tidak ingin menerima bantuan orang lain apalagi meminta. Dimas adalah pria yang sangat bertanggung jawab dimata anak-anaknya. Bahkan saat Tika mengatakan ingin membeli ponsel agar memudahkannya untuk mengetahui jadwal kuliahnya Dimas bekerja dari pagi hingga larut malam bahkan sampai pagi lagi, semua untuk anaknya dia akan melakukan apapun. “Berapa pesanan kamu hari ini ?” tanya Tika ingin membantu Ajeng membungkus nasi goreng yang sudah di masak adiknya itu. “Lumayan lo Tik, namboh dari yang semalam.” Tika hanya menggelengkan kepala mendengar logat adiknya itu, ada baiknya juga Ajeng tetap memakai kata-kata tempat asal ibu mereka karena itu bisa mengobati rindu Tika kepada ibunya. “Sama kakak mu itu sudah sering di bilang jangan panggil nama,” ujar ayahnya yang baru keluar dari kamar dan bersiap untuk mandi. “Orang si Tikanya yang mau, biar gak tua kata dia.” Dimas hanya menggelengkan kepala melihat dua putrinya itu terlebih Ajeng yang selalu bisa menghibur mereka. “Sini aku bantu,” kata Tika membantu Ajeng agar adiknya itu bisa bersiap-siap lebih cepat. Mereka akan pergi dengan angkot yang dikendarai Dimas jadi mereka harus bergegas. Tika membuatkan bekal Dimas dengan nasi goreng dan telur serta tak lupa botol minum untuk ayahnya itu sementara Ajeng bergegas mengganti pakaiannya dan mengikat rambut dia sudah mandi pagi-pagi buta tadi. Begitulah rutinitas Ajeng dan keluarganya setiap pagi. **** “Ih anak supir angkot kok bisa nyasar di sekolah kita ya,” ucap salah satu siswi yang selalu saja mengusik Ajeng dan bukan Ajeng jika tidak menjawab sindirian musuhnya itu dia mendatangi dua wanita cantik yang sibuk memegang ponsel mereka. “Aduh gimana la ya, aku gak pintar kaya kakak ku jadi gak bisa masuk negri makanya aku masuk sekolah swasta ini.” Setelah mengatakan itu kedua orang yang mengejek Ajeng tadi langsung menatapnya dengan penuh amarah karena secara tidak langsung Ajeng mengatai mereka bodoh. Ajeng lalu tertawa dan berjalan sambil membawa dua bungkus plastik dimana ada bungkusan nasi goreng buatannya yang pasti sudah ditunggu oleh teman-temannya di kelas dia pun bergegas menuju kelasnya dan sebelum masuk ke dalam kelas dia mampir dulu ke kantin bu Lilis untuk menitipkan gorengan yang sudah dia bawa. “Bude ini ya, goreng pisangnya dua puluh tahu isi dua puluh sama risol dan tempe goreng sama dua puluh juga ya bude,” kata Ajeng lalu melambaikan tangannya pada bude Lilis. Saat dia masuk kedalam kelas teman-temannya memang sudah menunggu ada menunggu nasi gorengnya ada juga yang menunggu contekan darinya. Ajeng memang tidak pintar, namun dia sangat rajin mengerjakan semua tugas dari gurunya. “Woi lama banget sih lu,” kata Dirga salah satu teman Ajeng yang menjadi ketua kelas. “Besok ko belikan aku helicopter biar cepat aku sampek di sekolah ini,” ucapan Ajeng itu sontak membuat semua teman-temannya tertawa di tambah dengan logat Ajeng yang sangat lucu dimata mereka. Ajeng tidak menutupi identitasnya meski dia sekolah di mana teman-temannya adalah orang-orang dari kalangan atas dia tetap bangga menjadi dirinya dan apa adanya dan itu malah membuat teman-temannya suka berteman dengan Ajeng. “Jeng semalam aku liat tugas mu tapi aku malah dapat nilai tujuh puluh,” kata Wira teman satu kelasnya yang saat ini sedang mencontek buku PR miliknya. “Pilihan ada di tangan anda Wira pilih dapat nilai tujuh puluh apa keluar jadi ikan asin di bawah tiang bendera.” Lagi-lagi kelas sangat heboh sementara Ajeng menghitung uang jualan nasi gorengnya dan juga menagih uang setiap orang yang mencotek tugasnya. Tiba-tiba kelas hening ketika satu murid yang terkenal pintar dan tidak banyak bicara masuk ke dalam kelas, namanya Andini kabarnya dia adalah anak dari pemilik yayasan sekolah itu namun sifatnya yang pendiam membuatnya tidak memiliki teman di kelas maupun di luar kelas mereka. Ajeng sudah masuk di kelas sebelas, dan sebentar lagi akan ada ujian kenaikan kelas. Jika sudah mulai memasuki ujian kelas seperti ini Ajeng mulai kesulitan membagi waktu antara bekerja paruh waktu dan juga belajar. Dengan mengucapkan doa dalam hati Ajeng tetap harus semangat. Bersambung... Berminat dengan cerita ini silahkan komentarnya saudara-saudara... ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN