Lima

1238 Kata
Aku turun dari angkutan umum yang kunaiki saat jam di pergelangan tanganku menunjukkan angka 06.46 WIB. Itu berarti bel masuk sudah berbunyi satu menit yang lalu. Mungkin saat aku masih sekitar dua ratus meteran dari sekolah dalam lambung sebuah angkot ibu kota yang masih melaju kencang-kencangnya mengantar manusia-manusia yang menjadi muatannya. Ah, aku lupa mengambil uang kembalian tadi saking buru-burunya. Sudahlah, tidak apa. Hitung-hitung sedekah. Biasanya Kak Rama yang akan mengantarku berangkat ke sekolah, tapi katanya hari ini ia sibuk. Entah kesibukan macam apa. Akhir-akhir ini ia selalu menyuruhku berangkat sekolah sendiri. Jadi untuk mengehemat pengeluaran, aku memilih naik angkot. Dan sebagai akibatnya, aku jadi sering terlambat karenanya. Melewati gerbang masuk, halaman sekolah terlihat sudah lumayan sepi. Beberapa anak tampak berlarian menuju kelasnya masing-masing. Aku salah satu di antara mereka. Di sisi lain ada Pak Edo, guru BK yang meneriaki kami dari kejauhan. Tangannya memegang sebuah tongkat kayu berbentuk persegi panjang. Jangan tanya soal itu! Yang jelas, tongkat kayu itu sudah banyak memakan korban selain aku, karena selama ini aku tidak pernah datang terlambat. Dan hari ini, aku masih cukup menyayangi diriku untuk mau merasakan sentuhan tongkat kayu itu pada lengan kecilku. Jadi secepat yang kubisa kupacu tungkaiku berlari. Aku terus menambah kecepatan lariku saat suara motor terdengar dari kejauhan. Kejadiaanya begitu cepat saat tiba-tiba sebuah suara decitan rem motor terdengar di dekatku. Ciitt! Sebuah motor besar berwarna hitam berhenti begitu dekat dari tubuhku. Aku melebarkan mata karena bagian depan motor itu yang hampir saja menyenggol badanku, menabrak, dan bisa jadi melemparku. Tepat dari sisi kananku yang sekarang berdiri memaku di tengah-tengah lapangan dekat tempat parkir. Aku membeku diam seperti keledai. Astaga, jantungku sekarang mau meledak saja rasanya. Untuk sejenak, aku memejamkan mata untuk menenangkannya. Baiklah, pada nyatanya aku sekarang masih baik-baik saja dan masih mampu menghirup udara. Aku tidak kenapa-napa. Menghela napas, aku segera melirik ke arah motor Ducati yang hampir menabrakku tadi. Di atasnya, seorang cowok dengan jaket kulit dan helm fullface berwarna hitam senada dengan jaketnya terlihat duduk tenang di atas jok kendaraan beroda dua itu, membuatku mengernyitkan kening. Tadi, motor itu memang hampir menabrakku kan?! Kenapa cowok yang tak terlihat wajahnya karena helm sialannya itu malah tampak santai di atas motornya? Memangnya dia merasa semua baik-baik saja apa? Baru saja tidak terjadi apa-apa yang berisiko melukai seseorang? Huh, yang benar saja?! "Heh, elo! Bisa bawa motor nggak, sih?" celetukku pada cowok misterius yang mengendarai Ducati warna hitam itu dengan mata melebar. Cowok itu hanya diam. Jika diperhatikan, melihat penampilannya yang serba hitam seperti itu membuatku sedikit curiga kalau dia sebenarnya adalah seorang teroris. Lihat saja bagaimana keanehan sikapnya yang hanya bergeming setelah apa yang baru saja terjadi. Namun, di sisi lain aku segera merasa sangsi atas pikiran bodohku. Sebab, sejak kapan sekolah bonafide semacam SMA Garuda merekrut teroris sebagai siswanya?! Ah, ralat-ralat! Menerimanya. "Huh ...." Aku menghela napas. "Untung gue nggak kenapa-napa," desisku. Setelah itu aku segera memunguti lembar demi lembar kertas folio berisi tugas milikku yang berceceran di tanah, lepas dari tanganku karena terkejut hampir ditabrak motor tadi. Setelah mengumpulkan lembaran-lembaran itu dan merapikannya, aku kembali menatap cowok berjaket hitam. Seperti sebelumnya, cowok itu masih diam membisu di atas motornya. "Lo nggak bisa ngomong, ya?" tanyanku curiga. Di SMA Garuda, sekolahan elite yang menjadi sekolahanku ini memang bukanlah sekolahan untuk anak-anak istimewa yang katakan saja memiliki kebutuhan khusus. Tetapi, bisa saja, kan, orang yang tak bisa bicara tetap sekolah di dalamnya karena terlahir sebagai anak orang kaya dan dipaksa keluarganya sekolah di sini? Seperti yang ada di drama-drama negeri ginseng itu. Twinkling Watermelon. Duh, sungguh kasihan. Kupikir semuanya bisa saja menjadi mungkin untuk orang-orang yang punya kuasa dan berbicara menggunakan uangnya. Aku kembali menghela napas. "Buat orang yang hampir nabrak orang lain, seharusnya lo minta maaf meski nggak turun dari motor lo," kataku belum bisa terima akan sikapnya meski seandainya cowok itu benar-benar tunawicara pada kenyataannya. Cowok itu tetap diam seperti semula. "Ck." Aku berdecak. "Lo tuh, ya! Bisa ngomong nggak, sih?" risikku untuk ke sekian kali. Kecurigaanku bertambah kali ini. Jangan-jangan selain gagu, cowok ini ternyata juga tuna rungu?! Aku terus menatap tajam ke arah cowok itu. Tak lama, cowok itu kemudian melepaskan helm fullface-nya secara tiba-tiba. Masih mengenakan jaketnya, ia kemudian turun dan berjalan dengan santai ke arahku. Aku sedikit terkesiap. Dengan wajah datar tak berekspresi cowok itu mendatangiku. Matanya sangat kelam. Begitu kontras dengan wajah putih dan warna kemerahan yang tercetak di bibirnya. Sangat kemerahan malahan jika untuk ukuran pemuda sepertinya, karena ya, bibirku saja yang notabenenya seorang perempuan baru bisa semerah itu jika memakai liptint dan teman-temannya. Rahang cowok itu terlihat tegas. Tulang hidungnya tinggi dengan dua garis alis yang melintang sempurna. Dan ... entah kenapa rambut kecokelatan acak-acakannya membuat sosoknya terlihat semakin sempurna. Astaga. Apa yang kamu pikirkan, Laras?! Lirih, aku menggelengkan kepalaku sendiri. Ketika sampai di depanku, cowok itu kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah dompet kulit yang tampak mahal pun begitu tebal. Hal yang tak terduga setelahnya adalah cowok itu yang mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dompetnya kemudian meraih tanganku dengan tiba-tiba. Menggenggamkan lembaran-lembaran uang itu di sana, kemudian tanpa berkata-kata, berbalik dan kembali berjalan ke arah motornya. Aku dibuat tercengang di tempat selama beberapa lama. Apa ini? Apa yang baru saja terjadi? "Eh, eh. Tunggu!" pekikku setelah mendapatkan kembali kesadaranku kemudian cepat menahan ujung jaket cowok itu. Cowok itu pun berhenti melangkah. Masih dengan wajah datar yang entah bagaimana tetap bertahan saat kerutan terbentuk di dahinya, ia kemudian berbalik menatapku. "Kenapa? Kurang?" desisnya hampir tanpa intonasi. Mendengar itu aku langsung berupaya mati-matian menahan diri. Jujur, aku langsung ingin meledak saat ini. Emosiku tersulut. Dalam hati aku mendengkus dan mati-matian menahan u*****n. Anak orang kaya ini! Dia pikir semua hal bisa dibeli dengan uang? Mataku kemudian terpejam untuk menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. "Nggak usah," tolakku kemudian berusaha memasang senyum yang sepertinya akan terlihat seperti cebikan sekarang. "Gue nggak perlu uang lo," lanjutku saat melihat tangan cowok itu bergerak mengeluarkan dompetnya lagi dari saku celananya. Aku kembali tersenyum ke arahnya. "Gue cuma mau balikin uang ini ke elo." Aku menarik tangan cowok itu dan meletakkan uangnya kembali ke genggamannya. Cowok itu terlihat sedikit terperangah dalam tiga detik. Antara kaget dan bingung. Namun, secepat itu juga wajah yang tak kupungkiri cukup rupawan miliknya pun kembali datar seperti sedia kala. Dasar cowok aneh! Aku membatin. Aku kembali menghela napas. "Oke. Kalau lo nggak mau minta maaf, nggak masalah," gumamku. "Tapi, please, lain kali jangan pernah menukar kata maaf sama sejumlah uang," lanjutku sembari menatap sedikit tajam, "karena maaf itu, nggak akan pernah bisa dibeli. Nggak peduli sebanyak apa pun uang yang lo miliki." Aku menghela napas sekali. "Dan gimana pun, lo harus tetap meminta maaf saat berbuat salah. Orang seperti lo ... pasti udah diajarin itu kan?!" Setelah mengucapkan semua kalimat itu aku segera berlalu meninggalkan cowok yang menurutku masuk kategori menyebalkan dan aneh itu. Cukup mengejutkan lagi sebenarnya saat melihat wajah innocent bisa muncul dan menghiasi tampangnya saat mendengar semua kata-kataku. Tapi aku sudah tidak ingin peduli lagi. Sudah cukup bagiku menyimpulkan dalam kepala kalau cowok yang hampir menabrakku itu memang memiliki wajah yang terlalu tampan seperti cowok animasi di kartun favoritku. Eh! Kenapa aku malah memuji ketampanannya? Ya, baiklah. Dia memang tampan. Hanya saja perilakunya begitu buruk. Sikapnya itu jauh berbeda dengan cowok di kartun-kartun anime yang kusuka karena cowok itu sama sekali bukan good boy yang memiliki jiwa gantle dan kesatria. Amit-amit, jangan sampai aku berurusan lagi dengan orang sepertinya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN