Tujuh Belas

1248 Kata
"Laras." Aku sedang memperhatikan gelang-gelang cantik di pergelangan tangan kananku saat tiba-tiba Erland memanggil. Menyadari kalau salah satu dari gelang-gelang itu ada yang berbandulkan huruf dengan inisial 'E', aku mengernyitkan dahi melihatnya. "Huruf E yang lo lihat itu inisial nama gue." Erland menurunkan tanganku dengan lidah yang berdecak lirih. "Hah?" bingungku. "Maksudnya?" Erland mengerutkan sudut matanya. Dari tatapannya, sangat jelas kalau cowok itu tidak mau menjawab. Aku kemudian memilih menunduk. Satu hal lagi yang harus kucatat tentang cowok ini: Erland adalah cowok yang tidak akan menjawab pertanyaan yang menurutnya tidak perlu dijawab dan tidak penting. Entahlah, itu hanya sedikit kesimpulan dari orang yang belum terlalu mengenalnya sepertiku. Itu hanya pendapat pribadiku. Bisa saja itu tidak benar karena sangat mungkin jika cowok itu memang bersikap begitu terhadap orang asing di hidupnya. Dan tentu saja, aku adalah salah satunya meskipun saat ini statusku adalah pacarnya. Ingat! Kami pacaran hanya pura-pura. "Lepasin tas sama sepatu lo!" Suara Erland yang terdengar seperti titah seorang raja itu kemudian membuatku harus mendongak lagi untuk melihatnya. Cowok itu berdiri di hadapanku. Aku seperti yang sudah pernah kukatakan sebelumnya yang hanya setinggi bahu Erland tentu saja harus mendongakkan kepala untuk melihat wajahnya. Tatapan kami bertemu. "Hah?" Aku menatap Erland bingung. "Lepasin itu!" tukas Erland melirik arah belakangku, tepatnya pada tas yang kusampirkan di punggungku sebelum menariknya. Aku menurut dan melepaskannya. "Kenapa sih lo nyuruh gue lepas tas?" Aku kembali menatapnya. Erland kembali dalam aksi tak mau menjawabnya. Cowok itu mengeluarkan buku-bukuku dari ruangan tas yang paling besar dan memindahkannya pada tas cokelat yang baru dibelinya tadi. Aku kemudian hanya tercenung melihat adegan itu sampai tangan Erland bergerak unuk membuka ritsleting tasku yang paling depan. "Jangan!" teriakku panik. Bagaimana tidak panik? Isi tas paling depanku adalah itu. Ugh, aku sebenarnya merasa malu untuk mengatakannya. Karena apa yang ada di bagian depan tasku itu adalah sesuatu yang aku yakin semua cewek pasti memilikinya dalam tas mereka. Untuk berjaga-jaga akan sesuatu yang datang tiba-tiba setidaknya. Ya, kalian kaum hawa pasti tahu apa yang kumaksud. Refleks, aku mengatupkan kedua tanganku ke wajah saat Erland tidak menggubrisku dan malah menatapku lagi dengan benda yang baru ia keluarkan dari dalam tas bagian depan itu. Malu. Sekarang aku sangat malu. "Jadi, ini?" Erland terkekeh. Sangat ringan dari apa yang pernah kubayangkan. Begitu lepas. Aku bahkan tiba-tiba meragukan semua kesimpulanku atasnya dua hari ini karena salah satunya ada yang salah. Aku sempat menarik kesimpulan sendiri kalau cowok kartun ini tidak bisa tertawa selepas ini. Aku pikir dia tidak bisa tertawa selain menyeringai jahat dan menyebalkan. Tapi nyatanya aku salah! Seperti orang lainnya, Erland ternyata juga bisa tertawa ringan. Meski sebenarnya bagiku terasa aneh. Dia bisa tertawa dan terlihat tidak terganggu sama sekali dengan benda yang tadi itu, apalagi malu. Padahal, seharusnya dia lebih malu daripada aku kan dengan benda bersayap itu? Aish, aku tidak tahan lagi bicara berputar-putar! Benda di tangan Erland adalah penangkal tamu bulanan perempuan, pembalut. Harusnya Erland malu bukan? Membuka wajah yang sekarang pasti memerah seperti kepiting rebus, aku menyahut persediaan pembalutku yang ada di tangan Erland. Sambil melihat sekitar, aku kemudian memegang pembalut itu erat-erat di tanganku. Beberapa orang yang lewat tampak menatapku, dan aku merasa semakin malu. Terlebih, saat ini aku dan Erland masih berada di luar store sepatu, karena tentu saja, di luar sini lebih banyak orang yang berlalu lalang. Meski tidak benar, aku merasa kalau aku dan Erland mendadak menjadi pusat perhatian. Ingat, kami masih dalam Jakarta mal sekarang! "Udah. Biasa aja." Erland melemparkan tatapan sinisnya. "Nih, ambil!" Ia menyodorkan tas cokelat di tangannya ke arahku. Aku mengerjap menerima tas mahal itu. "Hah? Ini ... buat gue?" raguku saat tas yang harganya tiga juta itu berpindah ke tanganku. Mataku membola sembari menunjuk diri sendiri saat mengatakannya. Erland mengangkat sebelas alisnya. "Menurut lo?" katanya lantas memicingkan mata. "Tapi, gue nggak punya uang sebanyak itu buat gantiin uang lo. Lagian tas gue masih bagus kok." Aku mencoba meraih tas army-ku yang ada di tagan Erland. Erland menepis tanganku cepat sebelum memasukkan tas loreng-loreng yang baru kubeli minggu lalu di Pasar Legi itu dalam paper bag bekas tas cokelat yang tadi lalu melemparnya ke tempat sampah besar yang kebetulan memang ada di dekat kami. Aku terbelalak melihat apa yang dilakukannya barusan. Situasi ini ... apa-apaan? "Lo bisa malu-maluin gue pake barang murahan kayak gitu, Ras," kata Erland sama sekali tidak merasa bersalah. "Hah? Tapi kan-tapi kan---" "Gue belikan. Lo nggak usah ganti. Lagian ini masalah harga diri gue." Erland melipat kedua tangannya ke depan d**a. "Sekarang status lo cewek gue." Ia menatapku lurus. Aku langsung terkesiap. Tatapan itu .... "Nih, pakek!" tukas Erland sembari mengeluarkan kotak sepatu yang baru dibelinya tadi dari satu paper bag lagi yang masih ada di tangannya. Aku pun hanya terbengong melihat tangan putih kekarnya mengulurkan sepatu yang harganya dua jutaan itu. Terbengong, terkesiap, kaget bercampur tak percaya. Seperti saat membeli tas sebelumnya. Saat membeli sepatu, Erland menyuruhku memilih di antara dua sepatu yang diambilnya dari showcase lalu membeli sepatu yang tidak kupilih. Ya, sepatu cantik dengan sedikit heels warna hitam mengkilat dengan bagian bawah warna putih itu. Sebenarnya, dari kedua sepatu yang dipilih Erland sama-sama bagus, brand-nya juga sama. Aku pun menunjuk asal tadinya. "Buruan! Kita hampir telat." Erland mengangkat lengan kanannya. Menyingkap lengan jaket yang kemudian menampakkan jam tangan Rolex hitam miliknya. Astaga~ Jika itu asli maka harganya masih ratusan juta. Dan jika itu untuk orang seperti Erland, pasti yang asli. "Mau gue yang pakein?!" Erland menatapku. "Hah?" Aku mengalihkan pandanganku dari jam tangan itu ke wajah pemiliknya. "Nggak usah! Gue bisa pakai sendiri." Aku meraih kotak sepatu itu. Cepat-cepat kulepas sepatuku dan kuganti dengan sepatu pemberian Erland. Pas. Dan sangat cantik tentunya. Barang mahal. "Udah siniin sepatu lo!" Erland mengulurkan tangannya lagi. Mengerti apa yang akan dilakukannya, dengan gerakan super cepat kusembunyikan sepatuku dari jangkauan Erland. Aku yakin, dia pasti akan membuangnya juga seperti tas army-ku. Kali ini tidak. Sepatu ini memang tidak semahal sepatu yang kupakai saat ini. Tapi itu sepatu pertama yang kubeli dengan keringatku sendiri. Aku tidak akan rela jika sepatu itu dibuang. "Jangan!" Aku memeluk erat sepatuku yang sudah kumasukkan kotak. Menampilkan wajah permusuhan. Tubuhku sudah meliuk ke samping menghindari jangkauan tangan Erland. "Kenapa?" Erland menekuk dahiya lagi. "Sepatu seperti ini tuh pantesnya dibuang." Ia mencoba meraih kotak di tanganku lagi. Sedikit kesal aku menepis tangannya. "Lo nggak tahu sih betapa berharganya sepatu ini buat gue," kataku menatap cowok itu lurus. "Ini sepatu gue beli pakai uang hasil kerja keras gue sendiri," lirihku, menunduk sembari menatap lekat kotak biru di tanganku. Erland hanya diam. Ia kembali melipat tangannya ke depan. Seringaian merekah di bibirnya. "Oke. Tapi lo nggak boleh pakai sepatu itu lagi mulai sekarang. Gue nggak mau lihat lo pakai barang kayak gitu lagi di sekolah yang bisa ngancurin image gue." "Makasih." Aku tersenyum. "Gue janji, lo nggak bakal lihat gue pakai sepatu ini lagi." Ternyata ada kebaikan juga dari cowok ini. Toleransi dan sedikit baik hati. Yah, meskipun selebihnya hanya kesombongan dan kepercayaan diri yang berlebihan. Hal ini sudah cukup sedikit melegakan. Erland mengidikkan bahu. "Ya udah ayo! Kita keburu telat," katanya melirik jam tangan Rolex-nya lagi sebelum melangkah pergi. Aku mengangguk. Memasukkan kotak sepatu yang cukup besar ke dalam tas lalu berjalan menyusulnya. Terengah-engah aku menyejajari langkah lebarnya. "Tungguin!" kataku di sampingnya. Manik hitam Erland pun menatapku. Tanpa kuduga, tangannya bergerak merangkul bahuku. Aku tidak yakin, tapi aku merasa Erland baru saja tersenyum kecil tepat beberapa detik sebelum tangan kekar cowok itu melingkar di bahuku. Dan lagi-lagi, aku merasakan sengatan listrik mengalir di sekujur tubuhku. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN