"Apa? Kalian gimana sih, nyelakain satu orang aja gak bisa!" maki seorang perempuan di seberang telepon. Membuat ketiga kawanan itu saling pandang satu dengan yang lain, kala tahu mereka tahu jika tidak hanya disuruh untuk menguntit. Namun juga untuk mencelakakan seorang perempuan yang tiada membuat perkara dengan mereka.
Sementara tiga serangkai suruhan itu bingung untuk meneruskan atau memutus misi, Amanda kini mulai bisa bernafas lega. Pasalnya, sejauh ini ia mampu meloloskan diri dari marabahaya yang sengaja ditujukan padanya.
Wanita yang didapuk sebagai satu-satunya harapan Afida itu bermaksud menurunkan sandaran jok mobilnya. Ia ingin sejenak melemaskan otot dan mengistirahatkan netra beningnya barang sebentar. Setelah sempat memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Namun, baru saja ia hendak memejamkan netra yang sedari tadi terasa perih, benda pipih berwarna hitam itu mulai menunjukkan pesonanya. Mengagetkan Amanda yang hampir saja terlelap.
"Manda, kamu di mana, Nak? Kamu baik-baik saja 'kan?" suara bernada khawatir itu seketika membuatnya terjaga. Lalu gegas menegakkan posisi jok mobilnya.
"Manda baik-baik saja, Ma. Gimana?" Amanda mengangkat sebelah alisnya. Ia begitu heran dengan mamanya yang kali ini begitu kentara mengkhawatirkannya.
Apa yang terjadi di rumah sebenarnya? Mengapa suara Afida tadi begitu terdengar panik? Apakah ada orang asing yang sepertinya berencana berbuat rusuh di kediamannya?
Berbagai pertanyaan muncul satu persatu dalam benaknya. Membuat wanita itu memburu Afida dengan pertanyaan yang sama.
"Mama takut, Sayang. Tapi mama juga gak ingin terjadi hal yang buruk denganmu. Menjauhlah dari rumah sementara waktu. For our safety," cerocos Fida yang menggugah pening yang sempat hilang di kepala Amanda, kini kembali menggelayuti dara berparas ayu itu.
"Memang apa yang terjadi, Ma? Please tell me!" pinta Amanda.
"Tolong jangan buat Manda semakin khawatir," ucap Amanda yang tak ia lisankan pada Afida.
"Manda pulang sekarang ya, Ma," tukas Manda tanpa menunggu jawaban dari Afida. Lalu segera menutup panggilan suara dari wanita yang telah melahirkannya 23 tahun yang lalu.
Amanda langsung menekan pedal gas lebih dalam. Perempuan itu tak lagi memperdulikan tatapan heran orang yang melihat aksinya kali ini. Juga tidak memperhatikan jarum penunjuk speedometer.
"Aku harus segera tiba di rumah. Meski mama melarangku untuk segera pulang." tekad Manda seraya membiarkan kuda besinya membelah jalanan kota metropolitan di senja itu.
Pada saat yang bersamaan, Affandi yang baru saja menikmati me time di kamar mewahnya, terpaksa bangkit dari posisinya saat ini. Seiring suara khawatir Aninda mendistraksi tidurnya.
"Ada apa sih, Ma? Kok khawatir begitu?" tanya Affandi yang nyawanya belum masih terkumpul sepenuhnya.
"Tolong tante Afida, Fandi. Cepat tolong beliau! Ia berada di rumah sendirian tanpa Amanda!" tutur Aninda seraya menggoncang-goncangkan tangan Affandi.
"Tante Afida? Siapa, Ma? Fandi kenal? Dia kenapa?" tanya Affandi dengan polosnya. Sepertinya pemuda berahang tegas itu terlupa sejenak dengan ibunda dari calon tunangannya.
Mendengar pertanyaan lugu sekaligus mengesalkan yang begitu mudahnya lolos dari bibir Affandi, Aninda kesal bercampur gemas. Bisa-bisanya dalam keadaan segenting ini masih bertanya tentang apa yang terjadi pada Afida.
"Ini bocah emang kadang otaknya minta dijitak, biar bisa running well," gerutu Aninda.
"Astaga Fandi! Sekarang juga kamu ke rumah Amanda! Tante Afida benar-benar membutuhkanmu!"
Tanpa menunggu keterangan lebih lanjut dari Aninda, lelaki berparas rupawan itu mengambil langkah lebar menuju ke garasi. Lalu gegas melajukan kendaraannya.
Perkataan ibunya yang mengatakan jika Afida membutuhkan bantuan segera, membuat Fandi mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Membiarkan mobil sporty berwarna putih itu melaju, membelah jalanan ibu kota yang kebetulan agak lengang.
"Aku harus belok mana nih? Duh, payah banget. Kenapa tadi gak pake tanya mama tentang lokasinya sih?" gumam Affandi yang saat ini dilanda kebingungan. Tepat di saat ia berada di persimpangan jalan.
Pria itu lantas meraih gawai yang ia letakkan di ruang kosong dekat tuas persneling. Ia bermaksud untuk menghubungi wanita yang berjuang membesarkannya. Sekedar menanyakan alamat rumah Amanda.
Nampaknya semesta tengah berada di pihak Affandi. Tepat sebelum ia menekan tab panggil di ponsel cerdasnya, lampu benda pipih berwarna hitam miliknya berkedip. Meminta jejaka eksekutif muda itu segera menempelkan gawai di telinganya.
"Kamu udah sampai mana, Nak? Mama masih kepikiran dengan nasib Afida." suara panik seorang perempuan lewat paruh baya itu menjadi nada sambut kala Yogi menempelkan smartphone di telinga.
"Maaf, Ma. Fandi kesulitan mencari di mana letak rumah Manda. Bisa kah mama kasih alamat lengkap rumah tante Fida sekarang? Fandi lupa harus belok ke kanan atau ke kiri nih," cerocos Fandi seraya mengedarkan pandangannya ke sekitar.
"Alright. Alamatnya udah mama kirim ya, Nak. Tolong segera ke sana ya, Sayang," pinta Aninda.
Fandi mengiyakan pinta bidadari tak bersayapnya. Ia segera mempelajari peta lokasi yang Aninda berikan via pesan singkat aplikasi berwarna hijau. Lalu kembali melajukan mobilnya ke arah kediaman Afida, setelah sempat terjeda sejenak.
Setelah melintasi jalanan yang sama sekali belum familiar untuknya, Fandi akhirnya tiba di lokasi tujuan. Ia pun segera mematikan mesin mobil lalu bergegas keluar dari kabin mobil sporty-nya.
Namun, belum juga maksudnya tersampaikan, sepasang bola netra Affandi mau tidak mau dibuat membulat sempurna. Amanda yang selama ini begitu menjaga jarak dengannya, kini berlari menghampirinya.
Puan yang dibesarkan dalam keluarga broken home ini pun menggebrak kap mobil Affandi. Meminta Affandi lekas keluar dari kabin mobilnya.
"Tolong mama! Tolong mama!"lolong Amanda dihiasi tangis yang bersuara. Menimbulkan kesedihan bagi setiap orang yang mendengar dan melihat tingkah Amanda saat ini.
Melihat kondisi Amanda yang begitu payah saat ini, memacu Affandi berlari kencang menuju ke tempat di mana Afida berada. Lalu sekonyong-konyong menggendong perempuan paruh baya yang direncanakan menjadi mertuanya kelak. Lantas memacu mobilnya jauh lebih kencang daripada sebelumnya.
Keadaan saat ini memanglah begitu genting. Memacu Affandi untuk melakukan manuver semi ekstrem. Hanya demi menyelamatkan perempuan di mana surainya mulai terlihat memutih. Dan juga tak ingin membuat wanita seceria Amanda dirundung mendung yang lebih lama.
"Kamu yang tenang ya. I'll do my best as I can," ucap Affandi seraya melirik Amanda lewat spion tengah kendaraannya.
"At least we have tried it," pungkas Affandi. Sebelum ia kembali menggeber kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Mencoba melawan waktu yang bisa saja menciptakan luka untuk Amanda setelah ini.
"Mama yang kuat yah, demi Amanda," ucap Amanda seraya menggenggam erat tangan Afida. Begitu erat, seakan-akan kali ini menjadi genggaman terakhir Amanda pada Sang Ibunda.
Perempuan lewat paruh baya itu hanya tersenyum simpul. Dengan tenaga yang masih tersisa, Afida menggenggam tangan Amanda seraya membisikkan barisan kata yang membuat pandangan putri kesayangannya semakin mengabur.
"Seandainya nanti mama tak lagi mampu menggenggam tanganmu seerat ini, mama percaya pria yang saat ini berusaha sekuat tenaga menyelamatkan mama, akan mampu melakukannya. He's your right man, maybe."