Penuturan salah satu pengunjung Teduh Coffee Shop tak ayal membuat wajah Amanda memerah, nyaris seperti kepiting rebus. Tanpa mengindahkan tatapan menghiba Yogi agar tidak berbuat kasar pada Fida, sontak, gadis berhijab itu menarik tangan ibunya. Lalu membawa perempuan yang tidak berhijab itu masuk ke dalam kabin mobil.
"Manda! Apa-apaan sih kamu, Nak. Pakai nyeret-nyeret mama segala! Mama 'kan masih bisa jalan sendiri." protes Afida yang tidak terima dengan perlakuan Amanda yang dinilainya jauh dari kata sopan. Bahkan bisa dibilang seperti kurang ajar.
"Maaf, Ma. Tapi seharusnya Manda lah yang bertanya seperti itu. Kenapa sih mama pake acara ngerusuh segala di tempat usahanya mas Yogi?" sahut Manda yang kecewa karena ibunya telah mempermalukannya di depan kekasih dan segenap pengunjung coffee shop itu.
"Bikin malu kali ah, Ma," imbuh gadis berhijab itu seraya bermanuver dengan sedan hatchbacknya.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Amanda sengaja mendiamkan Afida. Wanita muda itu tidak habis pikir dengan tingkah mama tercintanya. Pasti ada saja hal yang sengaja dijadikan bahan kerusuhan.
"Mau sampai kapan sih mama merusuh di kehidupan mas Yogi? Finansial mas Yogi lagi turun, mama rendahin habis-habisan. Giliran mulai naik, mama juga sewot. Mau mama tuh apa sih sebenarnya?" cerocos Amanda seraya tetap menatap lurus ke depan jalan beraspal itu.
"Roda kehidupan orang itu 'kan terus berpu—"
"Manda! Stop ceramahin mama. Mama udah tahu kok kamu mau ngomong apa. Iya, mama ngerti kalau roda kehidupan itu terus berputar. Tapi tidak dengan dendam," cerocos Aninda yang hampir kelepasan mengungkap masalahnya.
Mendengar apa yang Fida ucapkan, spontan Manda menginjak rem mendadak, yang menimbulkan suara berisik. Membuat Afida nyaris terpental ke arah dashboard.
"Dendam? Mama ada dendam yang belum termaafkan? Astaga, Ma!" kini giliran Manda menatap penuh selidik ibunda tercinta.
Ngeri. Itulah hal yang pertama kali Fida tangkap kala melihat tatapan tajam netra putri sulungnya. Yang justru membuat Fida semakin bergidik mengungkapkan dendam yang ia anggap belum terbalaskan.
"Eng-enggak kok, Nak. Tadi mama cuma bercanda." sebuah alasan yang terdengar begitu bodoh meluncur tanpa beban dari lengkungan kembar bergincu merah. Sebuah dalih yang kiranya bisa menyelamatkan Fida dari rentetan interogasi yang Manda ajukan.
Apa?
Bercanda?
Gak salah?
Amanda mencebik. Bisa-bisanya intonasi bernada tinggi masih disebut bercanda. Kalau yang begitu saja dikatakan bercanda, apa kabar dengan yang dikatakan marah? Apa mungkin justru lebih lembut volumenya?
Andai saja saat ini Afida masih seumuran dengannya, bisa dipastikan ia menerima sentuhan spesial dari Amanda. Sentuhan panas nan pedih yang menyapa pipi halusnya.
"Ah mama. Manda udah gede kali. Jadi ya tahu lah gimana nada bicara mama kalau lagi marah, serius atau bercanda. Jangankan Manda, si Caca bocah SD itu juga ngerti kali aksen kalau orang lagi nglempar jokes itu seperti apa," sahut Manda sengaja menyindir Afida.
Skak mat. Seperti peribahasa senjata makan tuan, kilah Fida yang dikira mampu mengamankan dirinya dari sejuta pertanyaan menyelidik Manda, justru membuat posisinya kian sulit. Bukannya mampu membuat ia bernafas lega. Namun malah menghela nafas kasar.
"Kenapa diam, Ma? Berencana mau berubah pikiran, dengan bilang kalau tadi keceplosan gitu?" tebak Manda tepat sasaran, layaknya seorang cenayang yang mampu mengetahui apapun yang orang lain lakukan.
"Kok kamu sekarang jadi begini sih, Nak? Omongannya ngena banget. Apa seperti ini yang kamu bilang Yogi begitu baik?"
Fida sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Agar ia tak lagi menjadi bulan-bulanan putri kesayangannya; Faza Amanda. Perempuan berkepala lima itu menjadikan Yogi sebagai topik pembicaraan.
Manda memutar malas bola matanya. Menghadapi mamanya yang semakin ke sini membuatnya lelah hati. Membenci Yogi yang sedikit banyak membantu keluarganya. Namun begitu menyanjung Affandi yang belum sepenuhnya mengerti keadaannya.
"Heleh. Mulai lagi 'kan. Kayaknya emang mama lebih jeli ya lihat sisi negatifnya orang lain daripada kebaikannya. Kapan tobat to, Ma?" celetuk Manda, berusaha sabar menghadapi ibundanya.
Fida akhirnya membungkam bibirnya. Karena percuma saja, sekeras apapun ia menjelek-jelekkan Yogi, pastilah Amanda tidak akan mungkin berada di pihaknya.
"Oke, Nak. Kali ini kamu memang berhasil mengalahkan mama. Tapi lihat esok. Tak akan kubiarkan kalian tertawa bahagia," monolog Afida seraya tersenyum multi tafsir ke arah anak gadisnya yang tengah mengemudi kendaraan five seaters itu.
Tak terasa, dua wanita lintas generasi itu tiba di rumah. Tak ingin terlibat pembicaraan dengan Sang Mama, Amanda terus melangkahkan kakinya menuju ke bilik privasinya. Tak lama setelah ia memarkirkan sedan hatchbacknya di carport.
Begitu memasuki spot favoritnya, Amanda menerjunkan raganya yang mungil di atas kasur bersprei monokrom. Sedianya ia ingin memejamkan sepasang netranya yang sedari tadi ia paksa terbuka lebar.
Akan tetapi, sebuah dering notifikasi gawainya membuat Manda menunda hasratnya. Dibacalah pesan singkat yang ternyata dari Yogi.
"Hon, sepertinya apa yang mama ucapkan di outlet sore tadi ada benarnya." barisan kata yang Yogi kirim seketika membuat Amanda mengernyitkan dahi.
"Omongan? Jangan-jangan perkataan mama menyudutkan mas Yogi nih." batin Amanda bertanya-tanya.
"Oh ya, tumben. Emang mama bilang apa, Hon?" selidik Amanda. Memastikan apa yang ia duga hanya sebatas asumsi.
Tetapi ternyata, pesan singkat dari Yogi setelahnya, membuat Amanda membelalakkan sepasang netra hazelnya. Bagaimana tidak terkejut, dengan jumawanya Sang Mama tidak akan memberikan restu pada hubungan mereka. Sekalipun Yogi berusaha keras untuk memantapkan diri.
Kesal. Marah. Bingung. Itu yang Amanda rasakan sekarang. Kesalnya karena tingkah perempuan yang seharusnya mendukungnya malah selalu memperkeruh keadaan. Ia pun juga marah kenapa Yogi; lelaki yang ia harapkan lebih kuat darinya justru rela bersiap melambaikan tangan. Tanda ingin menyerah pada keadaan.
"Memang sayang maunya gimana? Mau menyerah begitu aja?" balas cepat Amanda yang tengah tersulut emosinya.
"Ini cowok kok begini banget sih. Jadi bertanya deh, sebenarnya siapa yang ingin bersama. Sabar, Manda. Inhale, exhale," monolog Manda seraya menatap barisan kata Yogi yang terpampang di layar benda pipih kesayangannya.
"Hon, sabar. Masih ada Tuhan yang bisa membolak-balikkan hati. Keadaan hati seseorang itu bisa berubah, Babe. Bisa aja 'kan sekarang dia benci. Tapi lain waktu perasaan itu bisa berubah," balas Amanda dengan rangkaian kata yang tak kalah panjangnya.
"Begitupun juga dengan mama, Sayang. Ayo dong kita berjuang bareng. Kalau mas Yogi kendor, gimana Manda bisa kuat coba?" Amanda mencoba memberi semangat pada Yogi yang nyaris menyerah dengan keadaan.
"Jalan yang harus kita lalui masih panjang, Sayang. Jangan menyerah gitu aja. Yah, kalaupun akhirnya kita harus terpisah, at least kita sudah berusaha," imbuhnya dalam pesan berantai.