Affandi mengusap wajahnya kasar. Sungguh, rencana yang dicanangkan Aninda membuatnya pusing tujuh keliling. Belum juga ia tuntas menata hati, kini datang lagi sesuatu yang menghantam hatinya.
"Arrgh, mana bisa aku mencintai perempuan pilihan mama. Sementara aku belum siap untuk membuka hati." kesal Affandi, merutuki jalan cintanya yang sepertinya jauh dari keberuntungan.
Lelaki itu menghisap dalam-dalam vapor. Berharap berbagai beban di hati dan pikirannya dapat terurai. Meskipun sebenarnya ia tidak begitu yakin dengan apa yang dia lakukan saat ini.
Tatkala Affandi melayangkan pandangannya ke arah teras ruang perawatan di seberang, radar netra hazelnya menangkap sesosok perempuan muda yang begitu familiar di benaknya.
"Itu 'kan Kinan. Siapa yang sakit ya?" gumam Fandi seraya meletakkan vapornya di meja.
Namun, sedetik kemudian ia menyesal karena sudah peduli dengan wanita yang mengoyak hatinya lima tahun yang lalu. Perempuan yang nyaris meluluhlantakkan kehidupannya.
"Gak perlu ada yang dikhawatirkan. Jadi apa untungnya aku memikirkan dia. Yang ada bisa-bisa stroke aku nanti." gerutu Affandi.
Akan tetapi, sepertinya semesta memang menghendaki Affandi bersua dengan Kinan. Memaksa sepasang maniknya beradu dengan sorot teduh netra Kinan. Yang kini berjalan menghampiri pria berhobi modifikasi kendaraan bermotor itu.
"Loh. Kok mas Fandi ada di sini? Siapa yang sakit? Gimana kabar mama, Mas?" tanya Kinan begitu berdiri di depan Affandi.
"Baik," sahut Affandi cepat. Nada bicaranya terkesan malas menjawab semua pertanyaan Kinan.
Egonya mengatakan ia tidak ingin seseorang di masa lampau kembali memasuki kehidupannya. Bukan karena dendam, hanya saja Affandi tidak mau setitik kepedulian kembali menumbuhkan rasa yang lama terendap.
"Kok jawabnya singkat gitu sih? Sebab mas ada di sini belum terjawab loh. Pertanyaannya tiga, tapi jawabannya cuma satu. Singkat, padat tapi abu-abu, gak begitu jelas," ujar Kinan yang memang tidak puas dengan jawaban yang Fandi lontarkan.
Affandi menghela nafasnya kasar. Watak perempuan yang berdiri di depannya memang tidak berubah sedikitpun. Selalu menuntut orang lain menjawab pertanyaan dengan sempurna. Tanpa tahu jika lawan bicaranya sebenarnya malas menanggapinya.
"Kabar mama baik. Jadi, kamu gak perlu repot-repot mengkhawatirkan mama."
"Kalau kamu kenapa ada di sini?" barisan kata yang sedari tadi Affandi tahan akhirnya meluncur tanpa beban. Menyingkirkan sejenak ego yang melingkupi hati dan pikiran Affandi.
"Sudahlah, ini hanya sekedar berbasa-basi. Gak ada niat untuk masuk dalam kehidupan Kinan lagi, Di." Affandi mensugesti diri sendiri, berusaha menetralkan hati dan pikirannya yang kadang memang tidak sinkron.
Tak berselang lama, bukan jawaban yang Affandi terima. Melainkan buliran bening yang menumpuk di pelupuk mata Kinan. Helaan nafas panjang Kinan begitu terdengar jelas di telinga Affandi.
"Suamiku masuk rumah sakit, Mas," lirih Kinan seraya menundukkan pandangan.
"Oh memangnya sakit apa?" lagi-lagi hati dan pikiran putra pemilik rumah sakit ternama, tidak sejalan. Isi kepalanya mengatakan tidak usah peduli, namun hati nurani Fandi tergerak ingin tahu.
Sejenak, Kinan mengatur nafasnya yang terdengar tersengal. Kali ini nafas tak beraturan Kinan bukan karena kepedulian Affandi terhadapnya. Melainkan sebagai antisipasi agar ia terbebas dari tatapan menyelidik Affandi. Tatapan yang membuat hatinya menciut, kebohongan macam apalagi yang akan ia persembahkan. Hanya untuk menutupi penyebab Sang Suami dilarikan ke rumah sakit.
"Biasa, lifestyle yang berantakan nyebabin dia kek begini. Bolak balik dibawa—"
"Sebentar ya," potong pria berjambang tipis seraya berjalan menjauh dari Kinan. Demi mengangkat panggilan suara yang sepertinya begitu urgent.
"Oke, saya ke sana sekarang," ucap Affandi sesaat sebelum mengakhiri telepon.
"Maaf, aku harus pergi sekarang. Ada sedikit masalah di kantor. Oh ya, sorry gak bisa membesuk suamimu. Semoga lekas sembuh ya," tutur mantan kekasih Kinan, seraya merogoh kunci kuda besi yang setia ditempatkan di dalam saku.
Dengan langkah lebar, Affandi berjalan meninggalkan cinta masa lalunya yang masih berdiri terpaku di depan teras kamar perawatan Aninda. Bergerak mendekati kuda besi mewah itu yang terparkir di lantai basement.
"Thanks buddy, for saving me," gumam Affandi sembari menyalakan mesin kendaraan seven seater itu. Tak lupa helaan nafas lega pun begitu bebas ia hembuskan. Lega karena akhirnya ia bisa terbebas dari perempuan pemilik nama Kinanti.
"Ah, semoga pertemuan ini hanya bagian kecil puzzle yang harus kupecahkan."lirih Affandi. Berharap momen yang tidak ia inginkan hanya menjadi bagian kecil dari puzzle yang harus dipecahkan.
Sementara, di salah satu sudut ruangan berwarna krem, tampak Amanda tengah duduk tepekur. Dipeluknya kedua lututnya yang seakan masih belum cukup kuat menopang badannya. Netra maniknya ia biarkan menatap beberapa gambar diri Yogi. Lantas ia alihkan pada pandangan di luar kamar.
Mungkin, derasnya hujan di senja itu mewakili suasana hati Amanda saat ini. Bagaimana tidak terluka, seorang lelaki yang Manda pikir tak akan tega melukainya, justru bertingkah sebaliknya. Menjadikan segala perlakuan manis yang Manda terima sebagai sebuah alibi atas cinta terselubungnya.
Kendati demikian, lobus frontal Amanda seakan menolak kenyataan itu. Jikalau memang Yogi bermain cinta di belakangnya, mengapa ia tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan.
"Dia masih dengan mudah aku hubungi. Yogi juga jarang memberi alasan demi bisa menghindar dari Amanda. Pun ia tak pernah memprotes jika ada sikapku yang gak ngenakin banget. So what's wrong?" lobus frontal Amanda mencoba menganalisa tingkah Yogi.
Sepintas, memang tidak ada yang perlu dicurigai. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Sikap Yogi yang seakan berbanding terbalik dengan ciri-ciri orang yang menjalani dua kisah cinta, membuat Amanda berpikir keras.
Tidak ingin terlarut lebih dalam lagi dengan kesedihan, Amanda menyeka buliran bening yang membasahi pipinya. Lantas lekas beranjak dari tempat tidur kesayangannya. Kemudian meraih kunci hatchback merahnya.
"Ma, Manda pergi sebentar ya. Biasa mau cari angin," pamit Manda kepada Fida yang masih berada di ruang tengah. Ia sengaja mengukir senyum manis yang dipaksakan agar Fida tidak menaruh curiga padanya.
"Lhoh mau ke man—" selidik Fida. Perasaannya begitu tak enak.
"Paling ke kafe sebelah kok Ma. Lagi kepingin keluar sebentar kok Ma. Biasa, self healing," kekeh Manda seraya mengangkat gelas berisi air minum. Lalu meminumnya hingga tandas.
"Udah ya, Ma. Hati-hati di rumah." pesan Amanda.
Setelah berpamitan sejenak dengan ibunda tercinta, Manda pun bergegas menyalakan mesin mobilnya. Lantas membawa kuda besi kesayangannya bergerak menjauhi rumah nan asri itu.
["Kita meet up yok. Aku lagi suntuk di rumah. Aku jemput sekarang."] tulis Manda dalam pesan singkatnya pada seorang teman karibnya. Sesaat sebelum ia melanjutkan menekan pedal gas mobilnya.
Mana mungkin Yogi mengkhianatinya, sementara rangkaian fakta menunjukkan hal sebaliknya. Apa mungkin karena saking lihainya, ia bisa mengeksekusi skill buayanya begitu rapi.
"There's something wrong. Aku harus mencari kebenarannya. Bisa saja 'kan ada orang lain yang iri dengan hubungan ini," gumam Amanda seraya mengarahkan kemudinya menuju ke salah satu kafe favoritnya.