EPISODE || Ikut Bersama Mereka?

1954 Kata
            EPISODE 10 ______________________________________________________________________________________________             Dering ponsel menggema di ruangan serba putih itu. Tiga orang yang sejak tadi duduk terdiam di sofa sontak mengecek ponsel masing-masing karena ponsel mereka punya nada dering yang sama. Ketiga manik mata yang berbeda itu sempat saling tatap.             “Bukan milik-ku,” jelas Noah, menunjukan ponselnya dalam keadaan mati. Samantha juga mengatakan hal serupa. Dan kedua orang itu langsung memusatkan mata mereka ke arah Elan setelah mengantongi ponsel masin-masing. “Cepat lihat siapa yang menelfon. Aku curiga itu Ayahku karena dia mungkin mencari keberadaan kami. Aku baru ingat bahwa aku sengaja mematikan ponsel.”             “Ahh Noah! Kau membuatku semakin ketakutan! Aku tidak mau melihat siapa yang menelfon. Biarkan saja orang itu menelfon berulang kali,” jelas Elan yang sejak tadi memikirkan hal itu. Dia terlihat kesal.             Sementara itu, Noah terkekeh melihat ekspresi sahabatnya sambil melepas dasi dengan perlahan.               Berbeda dengan Samantha yang terlihat tenang. Walaupun dalam hatinya juga memikirkan ketakutan yang sama.  “Ayahku mungkin akan marah padaku  jika Ayahmu sampai memecatku, Noah dan aku juga akan sedih karena akan berpisah dengan Elan dari kantor yang sama. Tetapi jika itu terjadi, Ibuku akan senang sekali. Dia pasti akan menjadikanku manajer di hotel Greenlight. Kau tahu, dua kubu yang berbeda.”             Noah tersenyum tipis mennggapi itu. “Semuanya akan baik-baik saja,” sahut Noah yang sedang berusaha menenangkan kedua sahabatnya termasuk dirinya sendiri. “Jika benar itu Ayahku, bukankah seharusnya kita menghadapinya? Kalian juga punya masalah yang sama denganku, kan? Mereka pasti selalu menjadi penentu pilihan kalian dalam bekerja?”             Elan dan Samantha mengangguk ragu.             “Hanya saja, terkadang aku mengartikannya sebagai arahan seorang bos pada karyawannya.” Elan menghela napas pelan. “Entahlah … kalaupun harus dipecat mungkin memang seharusnya aku membuka bisnis sendiri dengan uang tabunganku.”             “Tenang saja, aku akan selalu menyemangatimu.” Noah menepuk pundak Elan beberapa kali.             Selama ini dia tahu bagaimana Ellards mengatur segalanya. Membuat keputusan yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Bahkan aturan yang ditetapkan ayahnya itu bukan hanya berlaku pada Noah. Hampir semua karyawannya diperlakukan sama seperti Ellards memperlakukan Noah.             “Betapa dirimu masih beruntung, Sayang. Banyak kantor perusahaan yang bersedia menerimamu. Greenlight bukanlah sesuatu yang buruk,” ucap Elan yang tampak frustasi jika Ellards benar-benar akan memencat mereka.             Samantha tersenyum tipis, prihatin dengan keadaan kekasihnya.             Hotel Greenlight adalah hotel yang dibangun oleh ibu Samantha. Dan Samantha selalu menjadi target utama untuk menjadi pengganti ibunya. Ada banyak alasan mengapa samantha tidak mau mengurus hotel tersebut. Salah satunya adalah karena dia tidak mau pisah dengan Elan.                  Sementara berbeda dengan ayahnya yang merupakan teman Ellards. Ayah Samantha justru merasa akan lebih bagus jika putrinya bekerja di perusahaan milik ayah Noah. Padahal jika dipikir, perusahaan ayah Samantha juga tidak kalah lebih besar. Ya, tentu saja Samantha tidak menolak untuk hal ini walaupun dia harus bekerja di bawah perintah.             Ponsel Elan berdering lagi setelah beberapa detik lalu berhenti. Dan ketegangan kembali di wajah pria berkumis itu.             “Elan, bukankah membiarkannya hanya akan semakin membuatmu penasaran? Angkat dan berbicaralah dengan orang tersebut. Hadapi dengan tenang jika itu Ayahku,” ucap Noah menyuruh Noah segera bertindak melakukan sesuatu.             “Noah, bagaimana aku bisa baik-baik saja? Sementara kau mengatakan bisa jadi panggilan ini berasal dari Ayahmu! Kau tahu bahwa aku sangat takut dipecat!”  Kaki Elan terhentak-hentak di lantai. Pria itu terus menutup layar ponselnya. Tidak berani melakukan sesuatu karena tahu apa yang sudah dia lakukan. Kabur dari rapat bukanlah berita yang bagus. Dan dipecat adalah hal yang wajah Elan dapatkan.             “Aku hanya mengatakannya. Tetapi kuharap bukan dia.” Noah menyandarkan punggungnya.  Meregangkan otot-oto tubuhnya yang terbalut setelan serba hitam dan putih.               Elan menghela napas kasar. “Seandainya seperti itu. Sayangnya Ayahmu adalah salah satu manusia yang ikut meramaikan panggilan masuk di ponselku,” sahut Elan dengan suara parau setelah akhirnya dia menyingkirkan telapak tangan bergetarnya dari layar ponsel miliknya. “Tamat sudah riwayatku,” tambahnya dengan ekspresi pasrah.             “Hei, it’s ok, Babe …,” ucap Samantha menenangkan.             Perempuan itu pindah duduk di samping Elan untuk mengusap pundaknya dan memberi sedikit sentuhan lembut, menghangatkan. “Apakah kau mendapat panggilan dari Ellards?”  ulang Samantha, bertanya dengan suara lembut karena bagaimanapun panggilan dari Ellards cukup mendebarkan jantung. Tidak mau semakin menambah ketakutan pria itu yang sebenarnya juga merupakan ketakukan Samantha.             Bibir elan mengeriting. Dia hampir menangis karena rasa takut akan dipecat dari perusahaan Ellards meski Noah sudah menjamin pernikahannya dengan Samantha, Elan masih merasa takut karena jika dia dipecat dari perusahaan Ellards, maka dia tidak akan bisa membiayai hidup keluarganya.             “Jika Ayahmu memecatku, bagaimana dengan keluargaku, Noah?” Elan terlihat hampir menangis. “Noah, kau pasti tahu bahwa aku bukan pria kaya dan punya banyak uang? Aku sungguh tidak mungkin bisa membiayai hidup ke empat Adik-ku dan Ibuku jika Ayahmu memecatku. Sungguh, tolong aku …,” pinta Elan ketakutan.             Kehidupan Elan sangat jauh dari kata mewah. Dia tidak seperti Noah bahkan Samantha. Dia hanya seorang pria yang memiliki 4 adik dan ibunya. Elan sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal 15 tahun lalu.             “Hei, tenanglah ….” Samantha mengusap pundak Elan lebih lembut lagi. Lalu, menatap Noah dengan penuh harapan. “Kau pasti punya cara untuk menyelamatkan … setidaknya Elan dari kemungkinan dipecat, ‘kan?”             “Maksudmu, kalian meminta tolong padaku?” Noah balik bertanya dengan ekspresi acuh tak acuh.             Samantha menganggukinya. “Apa yang harus Elan katakan? Ayahmu tidak sebaik dirimu Noah! Lagi pula, ini juga karenamu,” ketus Samantha.             Baiklah … Noah menyadarinya. Mereka kabur dari rapat untuk menemuinya. Jadi, Noah memang perlu membantu mereka. Ah. Bukan membantu lebih tepatnya.             Menyelamatkan mereka.             Noah menegakan duduknya, menghela napas dan berkata, “Angkat saja. Jika dia mengancam aku yang akan bertindak.” _____________________________________________________________________________________________              “Noah!”             Noah yang baru saja selesai berganti pakaian segera menutup lemari dan memperbaiki kaos merah yang dikenakannya. Panggilan dari suara yang familiar itu memaksa langkahnya untuk segera keluar dan menemui orang tersebut. Lantas Noah menutup pintu kamar apartemennya karena setelah Samantha dan Elan memutuskan pergi dari rumahnya atas suruhan Ellards, Noah juga pergi menuju salah satu apartemen miliknya. Hanya satu alasan yaitu Noah merasa sangat hampa tinggal di rumah besar sendirian.             “Hei, masuklah.” Noah lantas menutup pintu apartemen setelah Samantha dan Elan masuk. Mereka mengambil tempat tepat di sofa bewarna abu-abu. “Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan minum untuk kalian.”               Elan menahan tangan Noah yang baru akan melangkah. “Tidak perlu. Kami baru saja minum di rumah Ayahmu.” Noah mengangguki perkataan Elan dan ikut duduk namun di sofa berwarna cream tepat di sebelah sofa abu-abu.             “Bagaimana? Apakah aku akan mendengar kabar buruk atau sebaliknya?”               Ditatapnya dua orang itu dengan tatapan menunggu. Noah berharap mereka memberikan kabar yang menggembirakan dan bayangan pemecatan tidak benar-benar terjadi. Sayangnya, Noah menyadari sesuatu setelah memperhatikan dengan saksama ekspresi dua orang di seberangnya itu.             Mereka menunduk, jemari tangan saling bertautan dan terlihat tidak ada kegembiraan di wajah mereka. Bukankah itu sudah dapat dipastikan mereka tidak membawa kabar baik dan kemungkinan buruknya adalah Ellards benar-benar memecat mereka?             Noah menghela napas berat. Penyesalan tiba-tiba menghampirinya. “Andai saja aku tidak memaksa kalian untuk menemuiku. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Maaf Samantha, Elan … aku benar-benar egois ….” Ucapan itu tulus dari dalam hati. Wajah Noah berubah sedih dan tertekan. “Apa yang bisa kulakukan untuk kalian? Katakan saja aku akan bertanggung jawab.”             Dua orang itu saling bertukar tatap. “Bagaimana jika kau ikut dengan kami?” Tiba-tiba ekspresi wajah Elan berubah total. Tidak ada lagi gurat kesehidan dan mata sendunya.             Apakah mereka sedang membohongi Noah?             Kedua ujung alis Noah bersatu. “Ikut kemana? Kau dan Samantha akan pergi?” Noah menunggu jawaban dengan wajah kebingungan yang tercetak jelas.             Samantha mengangguk. Ditatapnya Noah dengan lekat. “Kami baru saja diberi tugas oleh Ayahmu untuk membuka cabang bisnis di Korea Selatan. Dan beruntungnya dia tidak memecat kami. Justru menjadikan kami sebagai penggantinya. Dia mengatakan bahwa akan kesulitan mengurus banyak bisnis. Kami senang, dia memberikan kepercayaan itu pada kami.” Di sela penjelasan itu Samantha tersenyum. Dia bahagia karena pemecatan itu hanyalah sebuah ketakutan yang tidak terjadi. Dan bersyukur karena Ellards masih baik padanya dan juga Elan.                         “Meskipun, dia memang sempat marah karena kami kabur dari rapat.” Elan dan Smantha terkikik geli. “Jika dipikir, itu memang kesalahan kami. Jika diulangi lagi, mungkin kami akan merugikan perusahaan walaupun bukan dalam bentuk materi.”             Entahlah ada apa dengan dua orang itu. Noah hanya merasa mereka berubah pikiran.             “Itu berarti artinya kalian akan ke luar negeri?” tebak Noah yang sebenarnya tidak rela. Bagaimana bisa dia kehilangan dua sahabatnya begitu saja hanya karena sebuah tugas? Atau jangan-jangan ini adalah rencana Ellards? Noah tidak akan bisa menentang jika sendirian serta Elan dan Samantha tidak akan ikut melanggar apapun jika tidak bersamanya!             Sialan! Pria satu itu selalu punya cara.             “Yaps, benar sekali. Ayahmu sudah mempercayakan ini pada kami. Aku juga tidak tahu mengapa dia dengan tiba-tiba menunjuk kami. Kupikir, seharusnya aku dan Smantha mendapatkan hukuman yang buruk.”             “Bukankah kalian tidak bisa berbahasa Korea?”             Samantha membenarkan dengan anggukan. “Tetapi bukan berarti kami hanya akan pergi berdua. Sonya akan ikut dan menjadi penerjemah. Lagi pula, pebisnis di sana pasti bisa berbahasa Inggris kan? Tidak mungkin tidak,” jelasnya, melipat kaki di atas paha.               Noah paham. Tetapi yang tidak dia pahami adalah mengapa mereka berdua mengajaknya?             “Lalu, mengapa kalian mengajak-ku? Apakah itu perintah dari Ayahku?”             “Andai saja begitu, sayangnya itu hanya usulan kami berdua. Noah … bukankah ini adalah kesempatanmu untuk bisa terbebas dari semua kenangan tentang Kylie? Kau bisa mencari perempuan lain di sana. Kau bisa melupakan Kylie dengan mengencani banyak perempuan. Idol-idol Korea juga tidak kalah cantik.”             Gila.             Satu kata yang Noah pikirkan tentang Elan.             Noah tidak terima. “Apa yang kalian pikirkan? Ayahku tidak akan semudah itu memberikan izin padaku. Kalian tahu bagaimana dia, ‘kan? Apalagi hanya untuk alasan ikut dengan kalian.” Noah menggeleng dan menghela napas pelan, tak bisa berpikir lagi. “Bukankah kalian sudah sepakat untuk kabur denganku? Kita tidak perlu meminta izin padanya.”             Satu pasang kekasih itu saling tatap. Hingga Elan memperbaiki duduknya. Dia duduk tegap menghadap Noah dengan ekspresi serius. “Ya, itu memang benar kami bersedia kabur denganmu apalagi dengan imbalan kau akan membantu proses pernikahan kami. Hanya saja, apa yang kau sarankan itu tidak memikirkan bagaimana kehidupan kami nantinya. Aku punya banyak saudara yang harus kutanggung hidupnya, Noah. Kau harus mengerti itu!” jelas Elan dengan nada suara menahan kesal.             “Hei, sudah ….” Samantha menenangkan. “Noah, kami bukan bermaksud tidak ingin membantumu. Tetapi, tolong pikirkan sekali lagi. Kau bisa meminta izin pada Ayahmu dan jika pun tidak kau masih bisa melakukan rencana awalmu … sendirian. Pemecatan Ayahmu terhadapmu bukan sesuatu yang penting, ‘kan? Kami akan membantumu, kami akan berbohong bahwa kami tidak tahu keberadaanmu.”             Pikiran Noah sangat kacau sekarang. Dia tak dapat berpikir. Menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa, memejamkan matanya dan menghela napas kasar.             Mana yang harus dia ikuti? Haruskah meminta izin pada Ellards yang mana jawabannya pasti TIDAK atau haruskah Noah pergi begitu saja?             “Besok adalah keberangkatan kami. Kau bisa memikirkannya malam ini. Maaf  Noah, aku tidak bisa mengkuti keegoisanmu.”             Mau bagaimana lagi? Yang Elan katakan ada benarnya. Noah terlalu egois pada pilihannya sendiri. Dan Elan tentu tidak mau menaruhkan hidupnya hanya untuk kepentingan Elan.             Sepertinya, tidak ada salahnya mencoba. Korea Selatan? Sepertinya bukan tempat yang buruk untuk melupakan semua kenangan tentang Kylie dan menjauh dari Zelia. Lalu … jika beruntung, Noah bisa mendapatkan perempuan yang benar-benar ia cintai.             “Jadi, mana yang akan kau pilih, Noah? Ikut bersamaku dan Elan atau kau memilih untuk tinggal di sini bersama kenangan tentang Kylie?”      Tangan Noah terkepal erat.      "Aku akan ...."  ______________________________________________________________________________________________ SAMPI JUMPA DI EPISODE 11 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN