Masa Kecil Suram
Seorang anak lelaki yang menutup kepalanya dengan topi hoodie berwarna merah terlihat bersembunyi di bawah meja makan. Dia menutup telinganya sekuat tenaga dan membiarkan air matanya mengalir di pipi tanpa suara.
"Aku ngga mau tau. Pokoknya aku akan pergi ke Sidney minggu depan." Teriak seorang wanita yang terlihat masih muda dan stylish.
"Apa kamu tidak punya kerjaan lain selain menghambur-hambur kan uang." Seorang pria yang merupakan lawan bicaranya menampakkan wajah marah. "Kerjaan lain kamu bilang?. Maksudmu mengurus anak." Jawabnya sinis.
"Kamu itu seorang ibu, apa pantas kamu bicara begitu!" Hardik pria itu.
"Dia juga anakmu, pa. Kamu juga punya tanggung jawab mengurusnya." Jawabnya dengan nada yang sama.
"Tapi aku sangat sibuk, ma, aku..."
"Alah, aku tidak perduli, minggu depan aku akan tetap pergi. Kalau kamu tidak kirimkan uang aku akan jual mobil. Titik." Ucapnya dengan nada pelan tapi di tekan.
"Kamu lihat situasi kantor dulu dong, keuangan di kantor sedang tidak stabil." Jawab pria itu dengan nada tak kalah di tekan.
"Itu urusan kamu, pa. Masak aku yang harus mikirin kantor." Jawabnya dengan nada bengis.
"Kalau pun kamu tidak memikirkannya paling tidak jangan banyak pengeluaran disaat seperti ini." Teriaknya lagi.
"Aku tidak mau tau. Aku sudah booking tiket dan hotel. Aku akan tetap pergi dengan atau tanpa persetujuan kamu." Ucap wanita itu sambil mengacungkan jari telunjuk. Pria itu hanya bisa mendengus kasar mendengar keputusan istrinya itu. Dia benar-benar kehabisan akal menghadapi keborosan istrinya. Dia hampir tidak pernah memikirkan nasib pernikahan mereka, yang dia tau hanya menghabiskan uang dengan caranya sendiri tanpa memikirkan penghasilan suaminya yang semakin merosot.
"Dewa, sayang, ayo keluar," Suara wanita paruh baya membuat anak kecil itu mengangkat wajah. Wanita itu mengangguk lembut sambil mengulurkan tangan. Anak bernama Dewa itu perlahan melepaskan tangan dari telinganya.
"Dewa takut, mbok," ucapnya lirih. Anak yang baru saja berusia enam tahun itu harus mendengar pertengkaran hebat hampir setiap hari. Hampir tidak ada kedamaian dalam pernikahan kedua orangtuanya. Hal ini tidak dapat dipungkiri ataupun dirahasiakan lagi, Darwin Brahmana memang terpaksa menikahi Arinda Wijaya demi mendapatkan bantuan modal usaha dari orangtuanya. Dia terlalu gampang tergiur dengan kekayaan yang dijanjikan almarhum ayah mertuanya. Dia bahkan tidak berpikir panjang untuk menikahi putri tunggal keluarga itu demi menjadi orang kaya. Meskipun sudah mengetahui kebiasaan Arinda, tekatnya tidak juga luntur. Darwin Brahmana adalah anak yatim piatu sejak berusia empat belas tahun. Dia terpaksa kehilangan ayah dan ibunya yang terenggut akibat kecelakaan tunggal dan itupun tanpa meninggalkan warisan. Mereka hanya sepasang suami istri yang tinggal di rumah kontrakan dan bekerja sebagai pegawai swasta biasa. Hanya uang tunai senilai empat puluh juta yang ada di dalam rekening ibunya yang dia dapatkan dari kematian orang tuanya. Namun sejak kematian orangtuanya dia kehilangan segalanya, termasuk harapan hidup. Sejak itulah ia mengenal ayah mertuanya yang begitu baik hati mengulurkan tangan dan merawatnya. Ayah mertuanya sendiri tak lain adalah bos pemilik usaha kedua orang tuanya bekerja selama hidup. Dia mulai tergoda dengan hidup mewah dan serba berlebihan. Impiannya mulai beralih, yang dia inginkan hanyalah hidup bergelimang harta. Ayah mertuanya juga sangat menyukainya karna terlihat seperti pekerja keras dan ambisius. Entah mengapa dia begitu yakin menyerahkan putri tunggalnya beserta semua asetnya pada seorang Darwin Brahmana yang ternyata tak sepintar dirinya dalam masalah bisnis. Hampir setiap tahun bisnis itu mengalami kerugian sejak kematiannya. Namun didikan yang telah diberikannya pada Arinda, putri tunggalnya tampaknya tak bisa diubah. Hidup mewah dan selalu mendapatkan segalanya dengan mudah membuat Arinda tak bisa hidup tanpa foya-foya. Bahkan dia merahasiakan bisnis berlian sebagai sampingannya dari suaminya. Rumah mewah yang terlihat bak istana itu tidak hanya dipenuhi puluhan pelayan. Tapi juga dilengkapi dengan perabotan mewah yang sangat mahal dan berasal dari pengrajin atau merk yang terkenal. Tidak satupun barang pribadinya yang tidak bermerk, tidak ada dalam kamusnya untuk menggunakan produk yang tidak terkenal.
"Mama sama papa ngga berantem lagi kok, sama mbok yuk," bujuk wanita yang kerap dipanggil mbok Darmi itu.
"Tapi kenapa mereka saling berteriak?" tanya bocah kecil itu dengan polosnya. Mbok Darmi menghela napas dalam-dalam, dia menatap Dewa penuh iba. Jika saja dia punya uang yang cukup, ingin rasanya dia membawa Dewa keluar dari tempat yang lebih mirip neraka itu.
"Sayang, orang dewasa itu punya masalah yang susah dipahami anak kecil. Nanti kalau Dewa sudah besar, Dewa pasti mengerti." Jawabnya dengan bijak. Dewa menatap wanita itu dengan lekat. Dia melihat dalam pada kedua bola mata pengasuhnya itu. Ada cahaya ketulusan yang sangat damai dalam pandangan itu. Tangannya terulur untuk meraihnya lalu pengasuh itu memeluknya dengan erat.
"Dewa lapar," desisnya dibalik pelukan hangat pengasuh itu. Mbok Darmi tersenyum lebar mendengar pengakuan itu. Dia mengelus kepala anak itu penuh kasih sayang lalu mengecupnya seperti anak sendiri.
"Kita makan dulu ya, mbok udah siapin makanan enak khusus untuk kesayangan mbok." Jawabnya sambil menempatkan Dewa di salah satu kursi meja makan itu. Namun Dewa tidak melepaskan pelukannya. Itu adalah isyarat yang menunjukkan kalau ketakutannya belum hilang. Namun mbok Darmi dengan lembut mengelus pipinya lalu mencium keningnya.
"Ngga apa-apa, sayang, mbok ada disini," Dewa kembali melihat ketulusannya. Pegangannya akhirnya terlepas dan bersedia duduk. Mbok Darmi lalu menyiapkan makanan seperti yang sudah dia janjikan. Tak sedetikpun pandangan anak itu teralih dari pengasuhnya. Dia terus mengikuti langkah mbok Darmi dengan pandangannya. Mbok Darmi mendekat setelah menyiapkan semuanya, tatapan Dewa kembali hangat.
"Jangan lupa cuci tangan ya, sayang," mbok Darmi mengelus kepalanya dengan lembut lalu mengecupnya penuh iba. Sungguh dia telah berusaha keras untuk mengembalikan keberanian bocah itu. Tapi usahanya hampir selalu gagal karna tidak mendapat dukungan dari kedua majikannya. Pertengkaran mereka yang tidak ada habisnya selalu berhasil membuat Dewa hidup dalam ketakutan.
"Kenapa bengong, ngga suka ya?" tanyanya dengan lembut. Dia memperhatikan tatapan Dewa yang kosong dan kesepian. Sorot mata dengan warna coklat terang itu terlihat tidak fokus dan kosong. Warna itu juga yang sering membuatnya mendapat ejekan dari teman-temannya.
"Orangtuanya kan asli Indonesia, mereka juga ngga punya warna mata begitu. Apa jangan-jangan dia anak angkat?" kenang mbok Darmi mengingat ucapan salah satu orang tua murid setiap kali menatap mata itu.
"Dewa mau minum," pintanya dengan suara pelan.
"Prang" Dewa dikagetkan dengan pecahan perabotan akibat dilempar ibunya. Dia segera menarik kuat pada pakaian mbok Darmi yang baru saja berniat menuangkan air pada gelasnya. Mbok Darmi menunda pekerjaannya lalu memeluk Dewa yang gemetar.
"Dasar tidak berguna. Seharusnya aku tidak menikahi pria sepertimu!" Teriakan itu menyusul tak lama setelah suara pecah itu terdengar. Pegangan Dewa semakin kuat, air matanya kembali menetes mengungkapkan ketakutannya. Plak, "Kau keterlaluan. Kau sudah melewati batasan." Ayahnya kehilangan kendali. Satu tamparan pertama akhirnya mendarat di pipi ibunya. Arinda meringis sambil memegangi pipinya. Sorot matanya yang tajam menatap dalam pada lelaki yang telah delapan tahun menjadi suaminya itu.
"Kau menamparku, pa?" ucapnya lirih. Darwin seketika menyesali perbuatannya. Dia memandangi tangannya yang sudah lancang, dia juga menatap istrinya penuh sesal.
"Ma, ..." Arinda mengangkat tangan untuk menghentikan suaminya berucap. "Aku tidak ingin bicara denganmu." Jawabnya dengan nada pelan kemudian bergegas meninggalkan rumah dengan laju mobil yang cukup tinggi. Darwin hanya bisa mematung dalam penyesalannya. Dia terduduk lesu dan kehilangan kosa kata. Air matanya mulai menetes dan kedua tangannya otomatis mengepal.
"Bodoh. Bisa-bisanya kau menampar seorang wanita." Sesalnya mengutuk diri sendiri. Dewa hanya bisa menatap tak mengerti lewat celah kecil dalam pelukan mbok Darmi. Dia bisa merasakan ketidakberdayaan ayahnya. Dia juga tidak bisa menutupi kalau ibunya terlalu egois dan kasar. Namun dia hanya anak kecil di mata mereka. Sungguh tidak ada yang menyadari kemampuan yang dia miliki dan bahkan tidak ada yang pernah bertanya.
"Kamu jangan takut ya, mbok ada disini." Mbok Darmi berusaha menenangkannya. Dia mengangguk kecil dengan pegangan yang masih kuat pada pakaian mbok Darmi. Matanya tiba-tiba berkedip dengan cepat seperti kelilipan. Dia mengucek matanya beberapa saat lalu berusaha melihat dengan normal. Namun kedipan matanya semakin cepat dan tak bisa dikendalikan. Diapun menjerit hebat membuat Darwin segera bangkit. Mbok Darmi yang juga kaget menempatkannya di kursi untuk melihat. Namun Dewa menolak, dia menarik lengan mbok Darmi sekuat tenaga seakan tak ingin di lepaskan. Darwin berlari menghampiri putranya yang kesakitan sambil mengucek matanya dan tak berhenti menjerit.
"Dewa sayang, ada apa?" tanya mbok Darmi kwartir. Namun Dewa hanya bisa menjerit tanpa jawaban.
"Sakit," Di merintih dan terus mengucek.
"Sayang, ada apa?" Darwin tak kalah khawatirnya. "Mata Dewa sakit, pa, sakit," tangisnya semakin pecah. Dia menarik tangan Dewa agar berhenti mengucek, matanya kini merah dan berair. Tanpa banyak bicara, dia segera mengambil putranya dari pangkuan mbok Darmi dan berlari menggendongnya menuju mobil.
"Ke rumah sakit terdekat pak." Perintahnya pada supir yang tampak kebingungan.
"Baik, pak." Jawab supir itu dan segera melajukan mobil. Dokter pun segera menangani begitu mereka tiba. Darwin dan mbok Darmi tak bisa menunggu dengan tenang. Mereka sudah seperti setrikaan yang bolak-balik saling berpapasan dan mondar-mandir kebingungan. Darwin mencoba menelpon istrinya tapi tidak dijawab. Bahkan panggilan keduanya dengan tega di reject olehnya. Setelah itu ponselnya tidak aktif lagi membuat Darwin semakin emosi.
"Kau sangat tidak bertanggung jawab, Arinda. Apa kau tidak memiliki feeling terhadap anak kita." Sungutnya dengan nada kesal. Mbok Darmi hanya bisa diam meski mendengar sungutan Darwin. Dia selalu membatasi diri agar tidak ikut campur dalam masalah majikannya itu. Setelah setengah jam menunggu, dokter akhirnya keluar dengan seorang perawat disampingnya.
"Ada apa dengan putra saya dokter, bagaimana keadaannya, dia baik-baik saja kan?" pertanyaan bertubi-tubi langsung Darwin ajukan pada dokter. Dokter tersenyum dan berusaha menenangkannya dengan mengelus di lengannya.
"Jangan khawatir, dia hanya kelilipan. Ada semut yang masuk pada kedua matanya. Karna itulah dia merasa perih dan kesakitan." Jawab dokter. "Semut?" tanya mbok Darmi dalam hati. Dia bahkan tidak pernah melihat semut di dalam rumah itu.
"Semut dok?" tanya Darwin yang juga tak habis pikir.
"Ia betul, tapi kami sudah berhasil mengeluarkannya. Mungkin matanya akan sedikit membengkak, tapi itu tidak akan jadi masalah." Terang dokter itu.
"Lalu bagaimana keadaannya sekarang? apa dia masih kesakitan?" tanya Darwin.
"Tidak, kami sudah memberi obat pereda nyeri untuk mengurangi perih di matanya. Dan kami terpaksa membuatnya tertidur agar bisa memeriksa matanya tadi. karna dia terus mengucek dan tak mau melepaskan matanya. Saat ini dia sedang tertidur dan tidak lama lagi akan bangun." Jelasnya. Darwin pun mengangguk paham, sedangkan mbok Darmi sudah mengintip lewat kaca kecil di pintu ruangan itu.
"Terimakasih atas bantuannya dokter." Ucap Darwin. "Sama-sama, pak. Sudah menjadi tugas kami." Jawabnya di ikuti senyuman tulus.
Dalam tidurnya, Dewa mendapatkan mimpi aneh. Dia melihat ibunya pulang dengan mobil dan bahkan melihat setiap jalan yang di lalui oleh ibunya. Dia juga melihat ayahnya menunggu ibunya di depan pintu dan kembali bertengkar karna tidak mengangkat telponnya. Dia pun terbangun karna dikagetkan oleh teriakan ibunya dalam mimpinya. Dia membuka mata dan kini sudah berada di kamarnya. Dia mengintip lewat jendela kamar dan melihat ayahnya mondar-mandir di depan pintu. Itu sama persis seperti di mimpinya. Matanya tertuju pada gerbang masuk mobil ibunya segera muncul seperti di mimpinya. Dia menunduk lesu dan kembali ketempat tidur. Dia menarik selimutnya dan membungkus diri dengan perlahan. Dia mulai menghitung satu sampai tiga. Dan pada hitungan terakhir ibunya benar-benar berteriak seperti di mimpinya. Dia memejamkan mata dengar rapat lalu menutup telinga sekuat tenaga. Dia sudah tau apa yang akan terjadi selanjutnya.