Mia mulai bicara dalam tidur. Sean sudah memasang kompres handuk kecil di kening Mia. Sean merasa tidak tenang. Lalu saat pagi menghubungi dokter pribadi. Dokter pribadi segera datang. Melihat kondisi Mia yang tidak baik-baik saja. Dokter memasang infus di lengan Mia.
Pagi hari, Sean ingin berangkat ke kantor, meninggalkan Mia yang masih tidur.
"Jaga dia. Makannya masakan bubur saja. Bantu dia minum obat. Periksa suhu tubuhnya. Beritahu saya kalau terjadi sesuatu." Sean memberi arahan kepada Bik Dinah.
"Baik, Tuan." Bik Dinah menganggukkan kepala.
Sean pergi ke kantor bersama supir pribadinya. Sean merasa sudah cukup dua kali bercinta dengan Mia. Akan dilihat dulu. Apakah akan membuahkan hasil, atau tidak. Sean bertekad tidak akan menyentuh Mia lagi. Jika dalam satu bulan ternyata tidak ada hasilnya. Barulah ia menyentuh Mia lagi.
Sean tiba di kantor. Sean masuk ke ruangan diikuti oleh Ibra yang menunggunya. Sean duduk di kursi kerja. Ibra duduk di depannya.
"Bagaimana, Tuan?" Ibra bertanya dengan rasa penasaran yang sangat besar. Ibra ingin tahu apa yang terjadi tadi malam, antara Sean dengan Mia. Apakah berjalan lancar atau tidak.
"Bagaimana apanya?" Sean balik bertanya kepada Ibra. Sebenarnya Sean mengerti apa yang ditanyakan Ibra, tapi Sean tidak ingin langsung menjawab.
"Malam pertama." Ibra tersenyum. Karena melihat tanda merah di leher Sean. Selama ini, Sean tidak pernah mau di tubuhnya diberi tanda merah oleh wanita yang tidur dengannya.
"Biasa saja." Sean menjawab dengan santai. Punggungnya bersandar di sandaran kursi kerja. Tatapannya kepada Ibra. Ibra tidak bisa membaca sorot mata Sean.
"Kok dia belum datang." Ibra merasa heran, karena Mia tidak datang bersama Sean.
"Dia, aku beri libur. Senin baru masuk lagi." Sean tidak mengatakan kalau Mia sakit.
"Oh."
"Apa jadwal hari ini?" Sean mengalihkan tema pembicaraan. Karena tidak ingin membicarakan Mia lagi.
Ibra memanggil sekretaris Sean. Untuk membacakan beberapa agenda yang akan dilakukan hari ini.
Di rumah Sean.
Mia membuka mata. Merasa nyeri pada lengannya. Dan merasa dingin pada keningnya. Mia terkejut saat melihat ada jarum infus terpasang di punggung tangannya. Mia mengikuti selang infus sampai kepada botol infus yang tergantung di tiang infus. Mia sama sekali tidak merasa kalau dipasang infus. Badannya merasa hancur lebur. Karena Sean sangat agresif dalam menyentuhnya. Sean melakukan itu seperti orang yang tidak pernah melakukan bertahun-tahun. Sedang Mia tahu dari cerita teman-temannya. Sean memiliki hubungan dengan beberapa wanita cantik. Tidak mungkin hubungan itu hanya sebatas teman biasa. Pasti ada faktor nafsu walau tanpa cinta. Tiba-tiba Mia bergidik, membayangkan sudah bercinta dengan pria yang sering dipakai perempuan lain. Mia merasa takut kalau ada salah satu wanita yang mengidap penyakit kelamin. Dan menularkan penyakitnya kepada Sean. Dari Sean ditularkan kepada dirinya, sehingga ia sampai sakit begini.
'Astaghfirullah. Semoga saja aku sakit bukan karena tertular penyakit. Ya Allah. Tolong sehatkan badanku. Jauhkan aku dari segala penyakit. Aamiin.'
Karena masih mengantuk, Mia memilih tidur lagi. Mia berharap, Sean memberi ia waktu untuk istirahat sejenak. Mia tidak tahu apa yang dikatakan Sean kepada Bu Jannah. Karena ia tidak masuk bekerja hari ini. Mia ingin menelepon Bu Jannah untuk meminta izin. Tapi ponselnya di dalam tas. Mia merasa berat sekali tubuhnya untuk bangun dari berbaring. Dan matanya masih mengantuk. Karena itu memilih untuk tidur lagi dan beristirahat. Mia yakin, Sean pasti sudah memikirkan, bagaimana cara meminta izin kepada Bu Jannah. Karena itu Mia berusaha tidur dengan perasaan tenang. Tidak ingin memikirkan apa-apa. Fokus beristirahat saja.
*
Waktunya makan siang.
Sean mendapat tamu di kantor. Seorang teman yang dua tahun ini tidak berjumpa, karena sang wanita tinggal di Belanda bersama suaminya.
"Kapan kamu pulang ke Indonesia, Nia?" Tanya Sean.
Nia Audina, usia 37 tahun. Sudah tiga kali menikah. Wanita cantik dan awet muda. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Tapi seksi. Kulitnya putih. Hidungnya mancung. Rambutnya sebahu. Orangnya periang.
"Satu Minggu yang lalu." Nia menjawab pertanyaan Sean.
"Pulang dengan suami kamu?" Tanya Sean lagi.
"Tidak. Aku bercerai dari dia." Santai sekali Nia menceritakan sudah bercerai dengan suaminya. Seakan itu hal yang biasa saja di dalam hidupnya.
"Bercerai lagi?"
"Jika sudah tidak sejalan, untuk apa dipertahankan. Menikah itu untuk seumur hidup, jika bisa saling memberi kebahagiaan. Tapi jika sudah tidak cocok, lebih baik tidak usah dilanjutkan." Nia mengangkat bahunya. Sean jadi semakin yakin, kalau wanita tipe seperti Nia tidak bisa dipercaya. Karena itulah Sean memilih Mia yang orang kampung.
"Sudah berapa kali kamu menikah?" Sean tidak ingat berapa kali sudah Nia menikah.
"Tiga kali."
"Apa berniat menikah lagi?" Tanya Sean ingin tahu.
"Ya. Kalau kamu yang melamar aku. Hari ini kamu melamar, hari ini juga aku terima, hari ini juga kita bisa menikah." Nia tertawa pelan.
Sean tertawa, ucapan Nia begitu santai. Sean tahu dari saat kuliah dulu, Nia memang menyukainya. Tapi saat itu Sean sudah memiliki kekasih yang kemudian jadi istrinya. Sekarang sudah jadi mantan istri.
Tiba-tiba Sean teringat Mia. Nama Mia dan Nia mirip. Namun tampilan mereka sangat jauh berbeda.
"Aku tidak punya niat menikah. Lebih baik seperti ini, menikmati hidupku tanpa ikatan, tempat tuntutan." Apa yang menjadi keputusannya Sean sampaikan secara jujur. Karena Sean tidak ingin memberi harapan palsu.
"Apa kamu masih sering bermain-main dengan para wanita?" Nia menatap ke dalam mata Sean. Bukan rahasia lagi kalau Sean suka berpetualang setelah bercerai.
"Bukan bermain-main. Kami saling membagi dan menerima. Aku butuh mereka, mereka rela melayani aku tanpa banyak tuntutan. Itu artinya saling menguntungkan."
"Bagaimana kalau aku ingin menjadi salah satu dari mereka?" Pertanyaan pancingan dari Nia.
"Apa kamu bersedia tidak mengharapkan apa-apa dari aku. Aku benar-benar tidak ingin terikat oleh apapun juga. Tidak ingin terikat oleh cinta, dan pernikahan." Sean tahi kalau Nia menyukainya. Sayangnya Sean sudah bertekad, tidak ingin menikah lagi.
"Tidak masalah. Aku bisa menerima, apa yang kamu mau itulah yang terjadi di antara kita." Jawaban Nia diucapkan dengan nada santai saja, seakan bukan masalah bagi dirinya, berhubungan tanpa ikatan.
"Kita sudah lama berteman. Mana mungkin aku makan teman. Aku hanya bermain dengan wanita yang tidak masuk ke dalam hidupku. Mereka hanya boleh berdiri di depan pintu. Tidak ada peluang bagi mereka untuk mengisi hari-hariku. Selain sebagai teman tidurku." Tanpa rasa malu, Sean mengungkapkan cara ia berhubungan dengan para wanita, yang sering tidur dengannya.
"Jadi kau menolak aku?" Tanya Nia untuk memastikan keputusan Sean.
"Aku tidak berani menyentuhmu."
"Hah! Aku tidak akan menuntut kamu, kalau terjadi sesuatu kepada diriku." Nia mengucap janji agar Sean mau merubah keputusannya. Dirinya tidak meminta apa-apa, hanya ingin bersama Sean saja.
Sean tertawa pelan.
"Maaf, Nia. Aku tidak berminat menyentuh teman sendiri. Lebih baik aku menyentuh wanita bayaran. Tanpa beban, tanpa rasa khawatir." Kepala Sean menggeleng. Sean yakin Nia akan berbuat apa saja agar bisa menikah dengannya. Dari dulu itu yang Nia lakukan.
"Kenapa kamu tidak ingin menikah lagi?" Nia penasaran dengan Sean yang begitu lama menduga.
"Aku tidak percaya pada cintanya wanita. Wanita itu tidak punya cinta suci. Yang ada hanya nafsu dan kepentingan semata." Sean tidak segan mengungkapkan alasan, yang menyebut kalau wanita tidak setia.
"Seorang manusia wajar mempunyai nafsu dan kepentingan. Tapi pasti di dalam hatinya ada cinta dan setia."❤️
"Cinta dan setia itu yang tidak bisa aku percaya. Lebih baik aku begini saja, aku tidak kekurangan apa-apa. Aku punya segalanya. Hidupku tidak hampa." Sean lebih yakin dengan pemikiran bahwa cinta dan setia itu tidak ada. Yang ada hanyalah nafsu dan kepentingan saja.
"Tapi tanpa cinta kamu tidak punya tempat untuk berbagi rasa. Kamu pasti merasa ingin berkeluh kesah. Tidak setiap hari semuanya baik-baik saja."
"Aku punya Ibra. Dia seperti istriku, sahabatku, kadang seperti ayahku juga." Sean memuji Ibra sebagai orang yang paling dekat dengan dirinya.
"Eh, Ibra. Di mana dia? Apa dia belum menikah?" Nia sudah lama sekali tidak bertemu Ibra.
"Dia orang yang terlalu setia kepada almarhumah istrinya. Mungkin dia tidak akan menikah lagi untuk selamanya. Cintanya sudah dibawa mati bersama almarhumah istrinya."
"Persahabatan kalian cukup lama. Sudah 10 tahun lebih. apa kalian berdua tidak pernah bertengkar dan berselisih paham?" Tanya Nia penasaran.
"Ibra sangat mengerti aku. Aku juga berusaha mengerti dia. Dari saling mengerti itu bisa menjadi sahabat."
"Apa kamu tidak ingin memiliki keturunan? Untuk meneruskan usaha kamu ini."
"Ya, aku ingin memiliki keturunan. Tapi aku tidak ingin seumur hidup tinggal dengan seorang istri. Jika aku menikah, itu hanya untuk memberi aku anak. Setelah melahirkan dia akan aku ceraikan."
"Aku bersedia jadi istrimu untuk melahirkan anakmu." Nia menawarkan diri dengan nada serius.
Sean tertawa. Nia memang cantik dan seksi, tapi menurut Sean, kehidupan Nia selama ini adalah kehidupan yang tidak baik. Walau Sean merasa dirinya juga tidak bersih, tapi Sean ingin anaknya dilahirkan oleh seorang wanita yang bersih. Wanita baik-baik yang belum terkontaminasi oleh kehidupan bebas.
*
"