Sampai saat ini, Dean dan Devina masih mengikuti mobil milik Benedick.
Mobil yang Dean kemudikan berada dalam jarak aman, tidak terlalu dekat tapi juga tidak terlalu jauh. Dean tidak mau Benedick sadar jika sebenarnya Benedick sedang diikuti. Jika sampai Benedick sadar sedang diikuti, maka mungkin rencana Dean akan gagal, meskipun tidak secara menyeluruh.
"Apa Om tahu ke mana Benedick dan Amanda akan pergi?"
"Tentu saja." Seperti yang sebelumnya sudah Dean katakan, Dean sudah tahu apa saja jadwal Benedick, jadi malam ini, dean juga tahu ke mana Benedick akan pergi.
Devina menoleh ke arah Dean. "Jadi, ke mana mereka berdua akan pergi?" tanyanya sambil menunjuk mobil yang Benedick gunakan.
"Klub." Dean menjawab tanpa melirik Devina, fokus pada laju mobilnya.
"Klub?"
"Iya, klub." Dean melirik Devina, sebelum akhirnya kembali fokus pada jalanan di hadapannya. "Benedick, Carlos, Krystal dan teman-teman mereka yang lainnya suka pergi ke klub, kamu tidak tahu?"
"Ti–"
"Tentu saja kamu tidak tahu, kamu kan sudah dibohongi habis-habisan oleh mereka semua." Devina yang sudah dibohongi oleh Benedick, Carlos, dan juga Krystal, tapi Dean juga tidak bisa menyembunyikan amarahnya sampai rasanya, Dean ingin sekali memberi ketiga orang tersebut pelajaran, supaya ketiganya sadar jika apa yang sudah mereka lakukan pada Devina itu salah.
"Jangan menyela," ucap ketus Devina. Devina kesal karena Dean menyela ucapannya.
"Maaf." Dengan tulus, Dean meminta maaf.
Devina tidak menanggapi permintaan maaf Dean. Atensi Devina kembali tertuju pada mobil milik Benedick. Devina meraih ponselnya, lalu mencari tahu, klub mana yang paling dekat dengan lokasi mereka saat ini. "Heaven, apa itu nama klub yang akan mereka berdua kunjungi?"
Dean tersenyum tipis, tak menyangka jika Devina akan tahu klub mana yang akan Benedick datangi. "Iya, nama klub yang Benedick dan teman-temannya sering kunjungi adalah klub Heaven."
Tak sampai 10 menit kemudian, mereka semua sampai di klub Heaven, klub tempat Benedick sering menghabiskan waktunya.
Mobil yang Dean dan Devina tumpangi terparkir tepat di depan mobil milik Benedick.
Selang beberapa menit kemudian, Benedick keluar dari mobil.
Benedick memperlakukan Amanda dengan sangat manis, membuat emosi Devina yang sejak tadi sudah membara menjadi semakin membara. Devina ingin sekali keluar dari dalam mobil, lalu menghampiri Benedick. Devina ingin tahu, apa Benedick akan terkejut saat melihatnya? Sekaligus juga ingin tahu, apa yang selanjutnya akan terjadi?
"Dasar pria b******k!" Tanpa sadar, Devina mengumpat.
Saat melihat betapa manisnya sikap Benedick pada Amanda, Devina semakin yakin jika keduanya memang sepasang kekasih, bukan teman atau sahabat.
Dean yang mendengar umpatan Devina hanya bisa menghela nafas panjang.
"Apa kita juga akan masuk ke dalam klub?" Devina ingin tahu apa saja yang akan Benedick dan Amanda lakukan di dalm klub. Devina juga ingin tahu, apa Carlos dan Krystal juga ada di dalam klub tersebut?
"Tentu saja, apa kamu tidak mau masuk ke klub?" Jika Devina tidak mau memasuki klub, maka Dean tidak akan memaksa.
"Mau, ayo kita masuk." Devina menyahut cepat.
"Baiklah, ayo kita masuk ke sana." Dean keluar dari mobil, begitu juga dengan Devina.
Devina menghampiri Dean yang saat ini sedang merapikan penampilannya.
Dean menarik Devina supaya Devina mendekat padanya.
Devina terkejut, semakin terkejut saat Dean menunduk. Sekarang, wajah Dean sudah berada tepat di depan wajahnya. Wajah Dean sangat dekat, bahkan mungkin terlalu dekat, karena Devina bisa sampai merasakan terpaan nafas hangat Dean yang kini menerpa seluruh wajahnya.
"Kamu tahu kan tempat seperti apa yang akan kita masuki?" Dean menatap lekat Devina, dan tatapan intens Dean membuat Devina gugup sekaligus juga salah tingkah.
"Iya, Om. Devina tahu." Tatapan lekat yang Dean berikan memang membuatnya gugup, tapi Devina sama sekali tidak mau menundukkan wajahnya, menghindari tatapan tersebut. Devina malah balik menatap Dean, mengikuti setiap pergerakan kedua mata Dean.
"Bagus. Ayo kita masuk." Dean melingkarkan tangan kanannya pada pinggang ramping Devina, lalu membawa wanita tersebut memasuki klub.
Begitu memasuki klub, Dean dan Devina bisa langsung menemukan di mana posisi Benedick dan Amanda. Keduanya tetap menjaga jarak dari kedua orang tersebut karena tidak mau jika kehadiran mereka berdua disadari oleh keduanya, terutama oleh Benedick.
"Ternyata tidak ada Carlos dan Krystal." Sejauh mata memandang, Devina tidak melihat Carlos dan Krystal, hanya Benedick dan Amanda.
"Sepertinya mereka tidak akan datang." Dean menyahut pelan.
Awalnya Benedick dan Amanda duduk di berdampingan di sofa, tapi semakin lama, posisi keduanya berubah. Sekarang Amanda sudah duduk dalam pangkuan Benedick dengan posisi tubuh menghadap secara langsung pada Benedick.
Saat ini, keduanya sedang b******u mesra.
"Dasar pria sialan!" Devina mulai mengeluarkan semua kata-kata kasarnya, tak peduli lagi jika semua umpatannya didengar oleh Dean, atau orang-orang yang saat ini ada di sekitarnya.
"Eh kamu mau ke mana?" Dean menahan Devina yang akan pergi dari hadapannya, dan Dean tahu, ke mana Devina akan pergi.
Devina berbalik menghadap Dean, menatap Dean dengan amarah yang terpancar jelas di kedua mata indahnya. "Tentu saja menghampiri pria b******k itu!" Jawabnya sambil menunjuk Benedick.
Devina sudah tidak tahan lagi. Devina ingin segera melabrak Benedick, dan memberi pria b******k itu tamparan atau jambakan.
"Jangan melakukan itu." Dengan penuh lemah lembut, Dean melarang Devina menghampiri Benedick yang saat ini masih b******u mesra dengan Amanda.
"Kenapa tidak boleh?" Devina tidak terima dengan larangan yang Dean berikan. Devina ingin menghampiri Benedick, menampar pria tersebut, dan juga memakinya.
"Devina, kalau kamu melabrak Benedick sekarang juga, kamu hanya akan mempermalukan diri kamu sendiri. Jika sampai Daddy kamu tahu tentang kejadian malam ini, habislah kita berdua." Dean tidak punya pilihan lain selain mengancam Devina. Padahal sebenarnya Brian sudah tahu tentang apa yang terjadi saat ini.
"Iya juga ya," gumam Devina, setuju dengan saran yang baru saja Dean berikan.
"Sebaiknya kita kembali ke mobil, kita tunggu mereka di sana." Sekarang Devina sudah tahu apa yang sedang Benedick, dan Amanda lakukan, jadi menurut Dean, itu sudah jauh lebih cukup. Dean juga tahu kalau Devina juga tidak menyukai suasana dalam klub yang sangat bising, jadi akan jauh lebih baik jika mereka menunggu saja di luar, atau bisa langsung pulang ke mansion.
Dean membawa Devina kembali ke mobil, dan Devina sama sekali tidak menolak ajakan Dean. Sekarang, Dean dan Devina sudah berada di dalam mobil.
"Lalu, apa yang selanjutnya akan kita lakukan?"
"Kita tunggu sampai Benedick dan Amanda keluar. Atau kamu mau langsung pulang? Kalau kamu mau pulang, kita akan pulang sekarang juga."
Devina menggeleng, menolak saran Dean. "Jangan pulang sekarang, kita tunggu sampai Benedick dan Amanda keluar dari klub."
"Kamu yakin mau menunggu mereka berdua?" Sebenarnya Dean tidak berharap jika Devina akan menunggu keduanya keluar dari klub.
"Iya, yakin." Devina menyahut tegas.
1 jam berlalu, tapi belum ada tanda-tanda kalau Benedick atau Amanda akan keluar dari dalam klub.
"Mau pulang?" tawar Dean pada akhirnya. Dalam hati Dean berdoa, semoga Devina mengangguk, setuju untuk pulang bersamanya.
Lagi-lagi Devina menggeleng, menolak saran Dean. "Enggak, kita tetap tunggu sampai mereka berdua keluar."
"Baiklah." Dean tak punya pilihan lain selain menuruti kemauan Devina.
Tak lama kemudian, Benedick dan Amanda keluar dari dalam klub.
"Mereka keluar," gumam Devina sambil terus menatap Benedick dan Amanda yang sepertinya sudah sangat mabuk.
Benedick dan Amanda memasuki mobil, tapi keduanya duduk di kursi belakang, bukan kursi depan.
"s**t!" Umpat Dean dalam hati. Dean tahu apa yang akan kedua orang tersebut lakukan.
"Kita pulang, ok." Dean tidak mau Devina melihat kejadian selanjutnya.
"Enggak!" Dengan tegas, Devina menolak ajakan Dean untuk pulang.
"Devina," ucap lirih Dean.
"Sebentar, Om. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan mereka berdua lakukan," ucap lirih Devina dengan mata yang terus memandang Benedick dan Amanda.
Dean menurunkan pandangannya, menghela nafas panjang saat melihat kedua tangan Devina yang sudah mengepal.
Posisi mobil Benedick dan Dean saling berhadap-hadapan, jadi Dean dan Devina bisa tahu apa yang saat ini sedang Benedick dan Amanda lakukan, karena kaca mobil milik Benedick tidak segelap kaca mobil milik Dean.
Devina menunduk sambil memejamkan kedua matanya, enggan melihat Benedick yang saat ini sedang b******u mesra dengan Amanda. Devina sudah tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Keduanya pasti akan berhubungan intim.
Devina kembali mengangkat wajahnya, dadanya terasa sesak saat pada akhirnya melihat Benedick dan Amanda melakukan hal yang paling ia takutkan, berhubungan intim.
Semuanya memang tidak terlihat jelas di mata Devina, karena kedua mata Devina saat ini penuh dengan linangan air mata, tapi Devina tahu apa yang saat ini sedang keduanya lakukan.
"Ternyata apa yang Om katakan memang benar, dia memang pria b******k," ucap Devina sambil tersenyum masam diiringi air mata yang kini mengalir deras membasahi wajahnya.
Dean hanya diam, tak menanggapi ucapan Devina.
"Om, apa kita bisa pergi sekarang?" Devina sudah tidak sanggup lagi melihatnya. Devina merasa dadanya terasa sesak, lalu ditambah rasa sakit yang saat ini juga menggerogoti hatinya.
"Tentu aja, kita bisa pergi sekarang." Dean tahu, apa yang baru saja Devina lihat pasti sangat menyakitkan, tapi memang itulah kenyataan yang harus Devina tahu tentang Benedick.
Faktanya adalah, Benedick tidak sebaik yang Devina lihat.
"Jangan pulang ke mansion, bisa?" Devina tidak mau Devian melihatnya dalam keadaan yang sangat kacau seperti sekarang ini.
Devina tidak tahu, apa yang nanti harus ia katakan pada Devian, karena saat ini pikirannya sangat kacau balau.
"Kamu tidak mau pulang ke mansion?"
Tanpa ragu, Devina mengangguk. "Iya, jangan pulang ke mansion."
"Ok, kita enggak akan pulang ke mansion." Dean akan mengajak Devina pulang ke rumahnya.
Devina tidak bertanya ke mana Dean akan mengajaknya pergi. Devina kembali menangis, dan Dean membiarkan Devina menangis.