Hari ini Devina tidak kuliah, jadi Devina memutuskan bangun siang. Dean sudah tahu jadwal Devina, jadi sama seperti Devina, hari ini Dean juga memutuskan bangun lebih siang dari hari sebelumnya, lain halnya dengan Arion dan Han yang tetap bangun pagi seperti biasanya.
1 jam sebelum jam makan siang tiba, Dean sudah bangun, lain halnya dengan Devina yang masih tertidur pulas di kamarnya.
Dean baru saja memasuki ruang keluarga ketika bertemu dengan Arion dan Han yang datang dari arah berlawanan.
Awalnya, Arion dan Han ingin membangunkan Dean, tapi ternyata Dean sudah bangun.
"Kalian berdua sudah makan?" tanya Dean pada Arion dan Han yang saat ini berjalan tepat di belakangnya.
"Belum." Arion dan Han menjawab kompak.
"Ya sudah, sebaiknya kita makan siang dulu." Dean pergi menuju ruang makan, diikuti oleh Arion dan Han.
Saat mereka bertiga memasuki ruang makan, suasana ruang makan dalam keadaan ramai. Para pelayan sedang menyiapkan makan siang.
"Bi, apa Nona Devina sudah bangun?" Dean bertanya pada salah satu pelayan yang biasanya mengecek Devina.
"Nona Devina belum bangun, Tuan. Apa harus saya bangunkan?"
Dean menolak halus tawaran pelayan tersebu. "Tidak usah, biar saya yang bangunkan."
Arion dan Han berdeham, membuat atensi Dean seketika tertuju pada keduanya.
"Apa?" tanya Dean sambil menatap bingung keduanya.
"Tidak apa-apa." Han yang menjawab pertanyaan Dean, sementara Arion malah bersiul, sengaja menggoda Dean.
Dean hanya mendengus, lalu bergegas pergi meninggalkan ruang makan.
1 jam berlalu, Devina sudah mandi sekaligus makan siang, begitu juga dengan Dean.
Tadi setelah selesai makan siang, Devina sudah memberi tahu Dean kalau siang ini ingin pergi jalan-jalan. Dean menyetujui rencana Devina, dan Dean juga sudah meminta izin pada Brian.
Devina serta ketiga pengawalnya sudah berada di mall yang ingin Devina kunjungi.
Devina keluar terlebih dulu dari mobil, sedangkan Dean masih berada di dalam mobil. Dean sedang menerima telepon, dan Devina tidak tahu dengan siapa Dean sedang berbincang.
Arion dan Han ikut, tapi saat ini keduanya masih mencari tempat parkir.
"Nona, tunggu!"
Devina mengabaikan teriakan Dean, terus melangkah menuju lift yang terletak tak jauh dari mobil. Devina sudah tidak sabar, ingin segera berbelanja, menghabiskan uang yang beberapa menit lalu Brian kirimkan.
Dean merasa ada orang yang sedang memperhatikannya. Dean mengedarkan pandangannya ke segala penjuru tempat parkir, dan ketika pandangannya kembali tertuju pada Devina, Dean melihat seoroang pria berpakaian serba hitam, lengkap dengan topi serta masker yang menutupi wajahnya mendekati Devina dari arah depan dengan langkah cepat.
Dean tidak mau membuat Devina panik, jadi Dean memilih untuk lari mendekati Devina lalu memeluk Devina sambil memutar tubuh Devina.
Devina terkejut dengan apa yang Dean lakukan, semakin terkejut ketika mendengar Dean meringis kesakitan.
Devina menolehkan wajahnya ke belakang ketika mendengar suara orang berlari kencang.
Devina belum tahu apa yang terjadi, tapi begitu melihat ekspresi kesakitan Dean, Devina tahu kalau sesuatu yang buruk baru saja terjadi.
"Darah," gumam Devina terkejut ketika melihat darah menetes ke lantai.
Devina menatap Dean yang terlihat sekali menahan sakit. Devina segera membalik tubuh Dean, tubuhnya seketika terasa lemas tak bertenaga ketika melihat luka sayatan di punggung Dean.
Devina hampir saja jatuh, tapi dengan cepat, Dean menahan tubuh Devina.
Seharusnya, Devina yang terkena luka sayatan tersebut, tapi tadi Dean berhasil bertukar posisi dengan Devina.
Arion dan Han yang kebetulan sudah berada dekat dengan posisi keduanya langsung berlari ketika sadar kalau pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Devina dan Dean.
Kedua pria tersebut sama-sama mengumpat ketika melihat kalau punggung Dean terluka, lalu Devina terlihat pias dengan kedua mata yang tampak berkaca-kaca.
"Tenanglah, Nona, Dean baik-baik saja." Arion mencoba menenangkan Devina yang kini mulai menangis.
Bukannya tenang dan berhenti menangis, Devina malah semakin menangis.
"Ma-maaf," lirih Devina sambil menunduk. Kedua tangan Devina yang bergetar saling bertaut, dibarengi dengan keringat deras yang membasahi telapak tangan juga keningnya.
"Arion, antar Nona Devina pulang." Bukannya menanggapi ucapan Devina, Dean malah meminta agar Arion membawa Devina pulang.
Arion ingin menolak permintaan Dean, tapi tatapan tajam yang Dean berikan membuat niat Arion untuk mengajukan penolakan sirna.
"Nona, ayo kita pulang." Arion membantu Devina untuk berdiri.
Devina mendongak, menatap Dean dan Arion secara bergantian.
"Sebaiknya Nona pulang, saya mau pergi ke rumah sakit dulu." Dean terpaksa berbohong agar Devina mau pulang. Sebenarnya, Dean tidak akan pergi ke rumah sakit, karena luka yang di alaminya tidaklah parah, hanya luka gores.
Devina ingin sekali menolak, tapi begitu melihat Han mengangguk sebagai isyarat agar dirinya setuju untuk pulang, Devina akhirnya mengangguk.
Mobil yang Arion kemudikan baru saja keluar dari tempat parkir ketika ponsel milik Devina berdering cukup nyaring.
Devina segera meraih ponselnya, ingin kembali menangis ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
Dengan cepat, jemari lentik Devina menggeser ikon hijau di layar ponselnya, kemudian menempelkan benda pipih tersebut di telinga kanannya.
"Sayang, kamu baik-baik saja?"
Devina hanya mengangguk tanpa menjawab pertanyaan Brianna.
Brianna semakin panik ketika Devina tidak menjawab pertanyaannya, dan malah menangis. "Devina, jawab pertanyaan Mommy? Apa kamu baik-baik saja, Sayang?"
"Iya, Mom, Devina baik-baik saja." Devina akhirnya bisa menjawab pertanyaan Brianna.
"Syukurlah," ucap Brianna dengan perasaan lega.
Brianna dan Devina terus mengobrol, begitu juga dengan Brian yang saat ini sedang mengobrol dengan Dean.
Tadi setelah memastikan kalau mobil yang Devina tumpangi pergi, Dean langsung mengirim pesan pada Brian, memberi tahu Brian kalau tadi, Devina hampir saja mengalami insiden penusukkan. Tak lama setelah itu, Brian menghubungi Dean, sedangkan Brianna menghubungi Devina.
"Dean, apa yang sebenarnya terjadi?"
Dean mulai menjelaskan apa yang tadi terjadi.
Selama Dean memberi penjelasan, Brian diam, mendengarkannya secara seksama.
"Dean, apa lukanya parah?" Di satu sisi, Brian lega karena Devina tidak terluka, tapi di saat yang bersamaan juga khawatir begitu tahu kalau Dean terluka.
"Tidak, Tuan. Tuan jangan khawatir, saya baik-baik saja."
Brian lega, tapi tidak sepenuhnya. Brian mulai was-was, takut jika kejadian serupa kembali terulang.
Dean dan Brian terus mengobrol, membahas tentang siapa orang yang tadi berniat menyerang Devina. Apa orang tersebut adalah orang suruhan? Atau mungkin hanya seorang pencuri yang ingin mengambil harta benda milik Devina setelah berhasil melukai Devina?
Han melirik Dean yang saat ini sedang melamum. "Jadi ke rumah sakit?"
Dean menggeleng. "Enggak usah, kita pulang aja."
"Pulang ke mana?"
"Mansion."
Han tidak lagi bersuara, begitu juga Dean.
Han fokus menyetir, sedangkan Dean memilih untuk memejamkan matanya.
Tak sampai 10 menit kemudian, mobil yang Han dan Dean tumpangi sampai di mansion.
Sejak tadi, Devina menunggu kedatangan Dean di ruang tamu. Devina segera beranjak dari duduknya, menghampiri Dean dan Han yang baru saja keluar dari mobil.
"Apa kata Dokter?" Devina bertanya pada Dean, tapi Devina malah menatap Han.
"Dean tidak pergi ke dokter, Nona."
"Loh, kenapa tidak pergi ke dokter?" Devina menatap bingung Dean dan Han.
"Saya akan mengobatinya sendiri." Setelah mengatakan kalimat tersebut, Dean pergi meninggalkan Devina dan Han.
Kepergian Dean membuat Devina seketika berpikir kalau Dean marah padanya.
"Nona, Dean sama sekali tidak marah pada Nona." Han seolah bisa membaca pikiran Devina.
Han tahu kalau Dean memang tidak marah pada Devina, dan Han tahu apa alasan Dean terlihat marah sekaligus kesal.
Dean pasti merasa kesal dan marah pada dirinya sendiri yang hampir saja gagal dalam menjaga Devina.
"Benarkah?" Devina bertanya ragu.
"Tentu saja benar."
"Tapi Om Dean terlihat kesal dan marah."
"Jika Nona memang merasa bersalah, sebaiknya Nona membantu Dean mengobati lukanya. Dean tidak akan bisa melakukannya sendiri."
Devina tidak langsung menyetujui saran Han, tapi tak lama kemudian, Devina mengangguk, setuju.
Devina pamit undur diri, dan tujuan Devina adalah kamar Dean, sedangkan Han memilih pergi menuju tempat di mana Arion berada.
Sekarang Devina sudah berdiri tepat di depan kamar Dean.
"Masuk atau tidak, ya?" gumam Devina penuh keraguan.
Devina ingin membantu Dean mengobati luka pria itu, tapi Devina takut kalau Dean malah akan menolak bantuannya. Apalagi tadi raut wajah Dean terlihat sekali sangat tidak bersahabat.
Dengan gugup, Devina mengetuk pintu kamar Dean, tak lupa memberi tahu Dean kalau dirinyalah yang datang.
Tak berselang lama kemudian, Dean memberi izin Devina untuk memasuki kamarnya.
Masih dengan keadaan gugup, Devina membuka lebar pintu kamar Dean, dan saat itulah Devina melihat Dean sedang duduk di sofa dengan posisi membelakanginya.
Dean menoleh ketika mendengar suara pintu kamar tertutup.
Perasaan Devina berubah lega, dan penyebabnya adalah raut wajah Dean yang terlihat jauh lebih bersahabat dari sebelumnya. Dean tidak lagi terlihat marah atau kesal.
Dengan penuh percaya diri, Devina menghampiri Dean.
"Duduklah, Nona." Dean menepuk bagian sofa kosong di sampingnya.
Devina duduk di samping kanan Dean.
"Ada apa?"
"Lukanya belum diobati, kan?" Devina bertanya tanpa menjawab pertanyaan Dean.
"Belum." Dean menarik kaos hitam polos yang membalut tubuh atletisnya, dan saat itulah, tanpa sadar, Devina menahan nafasnya.
Devina tak menyangka jika Dean akan membuka pakaian tepat di hadapannya.
Seharusnya, Devina memalingkan wajahnya, tapi yang Devina lakukan malah terus menatap setiap pergerakan Dean.
Devina kembali bernafas ketika Dean menoleh padanya.
Mata Devina tidak bisa di ajak bekerja sama. Devina menatap setiap lekuk tubuh Dean, dan fokus matanya tertuju pada bahu kanan Dean.
Tangan kanan Devina terangkat, membelai bahu kanan Dean dengan gerakan yang sangat lembut.
"Apa saat membuat ini rasanya sangat sakit?" Devina mendongak, menatap Dean yang juga sedang menatap intens dirinya.
Dean menggeleng. "Tidak, kenapa? Apa Nona mau membuatnya juga?"
"Apa benar-benar tidak sakit?" Devina kembali menatap tato kupu-kupu yang ada di dekat bahu kanan Dean. Bentuk tato tersebut tidaklah besar, tapi juga tidak kecil. Bentuknya sangat cantik, dan karena itulah, Devina langsung jatuh cinta sampai ingin membuatnya.
"Menurut saya tidak sakit, tapi mungkin Nona akan menangis."
"Tapi aku ingin membuatnya."
"Tuan Brian tidak akan mengizinkan Nona untuk mentato tubuh Nona."
Raut wajah Devina berubah masam sesaat setelah mendengar ucapan Dean yang benar adanya.
Brian pasti akan memarahinya habis-habisan jika tahu kalau dirinya ingin membuat tato di tubuhnya. "Ya jangan bilang sama Daddy."
"Itu bukanlah pilihan yang tepat, Nona. Saya tidak mau terkena amukan dari Tuan Brian."
Devina bergidik ngeri, sudah bisa membayangkan bagaimana Brian akan marah padanya jika tahu dirinya mentato tubuhnya.
"Tato apa yang ingin Nona buat, dan di mana letaknya?" Dalam hati, Dean mengumpat, menyesali pertanyaan terakhirnya.
"Kupu-kupu, sama seperti tato milik Om dan untuk letaknya di sini." Dengan santai dan polosnya, Devina menjawab pertanyaan Dean sambil menunjuk area tubuhnya, tempat di mana ia ingin membuat tato yang sama dengan Dean.
Devina ingin membuat tato yang sama persis seperti Dean di bagian tubuh depan, dekat dengan bahu, dan hanya berjarak beberapa meter dari payudaranya.
Jakun Dean bergerak naik turun dengan cepat, sudah bisa membayangkan bagaimana bentuk tato tersebut di tubuh Devina.
Reaksi yang Dean berikan menimbulkan banyak sekali pertanyaan di otak Devina. "Kenapa? Apa tidak boleh kalau aku ingin memiliki tato seperti Om?"
Pertanyaan tersebut sukses menyadarkan Dean dari bayangan erotisnya.
Dean berdeham, kemudian menggeleng. "Tentu saja boleh, tapi Nona baru bisa melakukannya jika Nona sudah mendapat izin dari Tuan Brian."
"Daddy pasti tidak akan memberi izin," keluh Devina dengan raut wajah penuh kesedihan.
"Sekarang, sebaiknya Nona obati luka saya dulu." Dean berbalik memunggungi Devina, membuat Devina terkejut dengan pergerakan tiba-tiba Dean.
Dean memilih untuk mengalihkan pembicaraan agar otaknya tetap bisa berpikir dengan jernih.
Sekarang, Devina bisa melihat jelas bagaimana punggung Dean yang pastinya akan sangat nyaman sekali jika dijadikan sebagai sandaran.
Ugh, otot-ototnya sangat menggoda, membuat Devina ingin membelainya.
Devina bergeser semakin mendekati Dean, mulai mengobati luka sayatan yang terdapat di punggung bagian kanan Dean.
Dengan telaten, Devina mengobatinya, dan selama itu pula keduanya sama-sama diam.
Dean sibuk berpikir tentang Devina yang ingin memiliki tato, sedangkan Devina sedang memikirkan luka yang terdapat di punggung Dean.
"Pasti rasanya sangat menyakitkan," ucap sendiri Devina yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri.
Devina menundukkan wajahnya, meniup-niup luka di punggung Dean.
Dean meringis, membuat Devina panik. Devina takut kalau ternyata, dirinya menekan luka tersebut dengan cukup kuat.
"Maaf," lirih Devina ikut meringis, seolah bisa merasakan rasa sakit yang Dean rasakan.
"Tidak apa-apa, lanjutkan saja. Tapi jangan ditiup." Dean memejamkan matanya, dan tanpa sadar, menggigit kuat bibir bawahnya, menahan agar dirinya tidak lagi mendesahan.
Sebenarnya, tadi Dean bukan meringis karena kesakitan, tapi suara tersebut adalah suara desahan.
Kedua mata Dean melotot dengan kedua tangan yang mengepal sempurna. "Nona, saya bilang jangan ditiup," desisnya dengan suara memberat.
Devina menjauhkan wajahnya dari punggung Dean. "Kenapa tidak boleh?"
"Astaga! Sebenarnya gadis itu pura-pura polos atau memang masih polos si?" rutuk Dean dalam hati.
"Apa dia tidak tahu efek apa yang diberikan dari tiupan tadi?" lirih Dean frustasi.
Secara tiba-tiba, Dean berbalik menghadap Devina, membuat Devina terkejut. Secara naluriah, Devina memundurkan tubuhnya dengan kedua tangan yang menjadi tumpuan.
Dean mendekati Devina, mendorong Devina sampai akhirnya Devina terlentang di sofa dengan Dean yang kini berada di atas tubuhnya.
"Om, mau apa?" Dengan gugup, Devina bertanya. Devina meletakkan kedua tangannya di bahu Dean, menahan tubuh Dean agar tidak semakin mendekat.
Dean tidak menjawab pertanyaan Devina, tapi Dean malah membenamkan wajahnya di leher bagian kanan Devina. Jarak antara dirinya dan Devina sangat dekat, bahkan terbilang intim, membuat Dean bisa menghirup aroma vanila yang menguar dari tubuh Devina.
"Wangi," bisik Dean tepat di telinga kanan Devina.
Bisikan Dean berhasil membuat Devina merinding.
Dean meniup-niup leher jenjang Devina, saat itulah, Devina merasakan sensasi yang baru pertama kali di rasakannya.
Tanpa sadar, Devina mendesah sambil memejamkan matanya, dan di saat yang bersamaan, meremas kuat bahu Dean.
Desahan Devina hampir saja membuat akal sehat Dean hilang. Dean segera menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Devina, lalu di saat yang bersamaan, kelopak mata Devina terbuka.
"Itulah yang saya rasakan ketika tadi Nona meniup-niup punggung saya."
"Aku suka aroma tubuh Om." Bukannya menanggapi ucapan Dean, Devina malah mengatakan hal yang membuat pikiran Dean semakin kacau.
Dean mengalihkan pandangannya pada bibir ranum Devina yang berwarna pink alami, sangat menggoda.
Dean terus menatap bibir ranum Devina, sedangkan Devina terus menatap jakun Dean yang bergerak naik turun.
"Jangan menyentuhnya!" Dean memberi Devina peringatan ketika tahu apa yang akan Devina lakukan.
Sayangnya, Devina mengabaikan peringatan yang Dean berikan, dan malah mengusap jakun Dean dengan gerakan yang mampu membuat tubuh Dean panas dingin.
Mata Dean terpejam. Semakin lama, nafasnya semakin memburu.
Dean mengerang, dengan cepat menyingkir dari atas tubuh Devina.
Devina terkejut, semakin terkejut saat tahu apa yang baru saja ia lakukan pada Dean.
Devina beranjak bangun dari sofa, lalu pamit undur diri. Belum juga Dean membalas ucapan Devina, Devina sudah berlari keluar dari kamar Dean.
Dean kembali membaringkan tubuhnya, kali ini dengan posisi miring agar luka di punggungnya tidak tertekan.
Dean mengumpat, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Dean merutuki pikirannya sendiri yang terus membayangkan Devina, lebih tepatnya membayangkan Devina memiliki tato sama persis dengan dirinya.