1 minggu sudah berlalu sejak insiden Devina menyelinap keluar dari mansion, lalu diketahui oleh Devian, dan Dean yang berakhir dengan marahnya kedua pria berbeda usia tersebut.
Devina menyalahkan Benedick atas kejadian malam itu. Sejak hari itu juga, hubungan keduanya pun memburuk.
Benedick sudah berulang kali meminta maaf, baik itu secara langsung di hadapan Devina, ataupun secara tidak langsung dengan cara mengirim banyak pesan, tapi Devina mengabaikan semua permintaan maaf dari Benedick.
Devina tidak sepenuhnya menyalahkan Benedick atas kejadian tersebut, karena Devina sadar, dirinya juga salah. Seandainya saja saat itu ia menolak ajakan Benedick, pasti ia tidak akan di marahi oleh Devian juga Dean.
Hari ini Devina tidak libur kuliah, jadi yang seharian ini Devina lakukan adalah berdiam diri di kamar sambil menonton.
Tak jauh berbeda dengan Devina, hari ini Devian juga libur, bedanya, Devian tidak keluar dari kamar, bahkan pagi tadi, Devian tidak ikut sarapan bersama Devina. Padahal Devina berharap kalau tadi pagi dirinya bisa sarapan bersama dengan sang kakak, Devian.
"Bosan," keluh Devina.
Sekarang sudah siang, jadi wajar saja jika Devina mulai bosan. Biasanya jika ada Brianna, maka Devina akan menghabsikan waktunya bersama dengan Mommynya tersebut. Sekarang Brianna tidak ada, jadi Devina sangat kesepian.
"Kak Devian," Tiba-tiba Devina memikirkan Devian yang sampai saat ini masih marah padanya. Raut wajah Devina berubah sedih ketika tahu kalau sampai saat ini Devian masih marah padanya, dan tidak mau berbicara dengannya.
"Lebih baik minta maaf lagi, siapa tahu kali ini Kak Devian mau maafin aku." Devina bergegas menuruni tempat tidur, lalu pergi ke kamar sang Kakak yang tertelak cukup dekat dengan kamarnya.
Saat ini Devina sudah berdiri di depan kamar Devian.
Devina berbalik, berniat untuk kembali ke kamarnya. "Sekarang atau tidak sama sekali," gumamnya pada diri sendiri. Devina kembali menghadap kamar Dean, dengan tangan bergetar hebat, Devina mengetuk pintu kamar sang Kakak.
"Siapa?"
Devina tersentak kaget begitu mendengar teriakan dari Devian. Devina tidak menjawab pertanyaan Devian, takut kalau Devian tidak mau bertemu dengannya begitu tahu jika dirinyalah yang datang.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka.
"Hai, Kak," sapa gugup Devina sambil tersenyum canggung
"Ada apa?" Devian memasang raut wajah ketus.
"Boleh Devina masuk?" Dalam hati Devina terus berdoa, semoga saja Devian memberinya izin untuk memasuki kamar.
"Kita bicara di sini aja." Devian tidak mau Devina memasuki kamarnya karena saat ini kamarnya sangat berantakan.
Sayangnya, jawaban yang Devian berikan tidak sesuai dengan harapan Devina.
Devina mundur beberapa langkah saat Devian maju beberapa langkah. Devian menutup pintu kamar, dan begitu pintu kamar tertutup, Devian bersandar di pintu dengan fokus mata yang kini sepenuhnya tertuju pada Devina. "Jadi ... ada apa?"
"Devina mau meminta maaf," ucap Devina dengan kepala tertunduk. Devina tidak berani terus bersitatap dengan Devian yang menatap tajam dirinya.
Jika Devina bandingkan dengan Dean, tatapan mata Devian memang tidak menyeramkan, tapi tetap saja, bagi Devina, itu sangat menakutkan.
Devian mendengus. "Minta maaf?"
Devina mengangguk, lalu memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, menatap Devian yang masih saja menatapnya dengan raut wajah datar. "Devina mau meminta maaf atas kejadian kemarin, Devina benar-benar menyesal, Kak."
"Apa kamu tahu, kalau apa yang kemarin sudah kamu lakukan sangat merugikan semua orang?"
Dengan lemas, Devina mengangguk. Devina tahu, sangat tahu.
"Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk sama kamu, maka Daddy pasti akan memarahi mereka semua, bahkan mungkin tak segan untuk menghajar Om Dean karena sudah lalai dalam mengawasi kamu, Devina!" Dean adalah pemimpin dari semua pengawal yang berjaga di mansion, jadi sudah pasti Deanlah yang akan pertama kali mendapatkan amukan kemarahan dari Bryan jika sampai sesuatu yang buruk menimpa Devina.
"Maaf, Kak. Devina benar-benar menyesal," lirih Devina penuh penyesalan.
Devina menunduk, menatap kedua jemari tangannya yang sejak tadi saling bertaut.
Tanpa berkata-kata, Devian maju, memeluk Devina.
Pelukan Devian mengejutkan Devina, tapi Devina tidak menolak dan malah membalas pelukan erat Devian.
Awalnya Devina tidak mau menangis, tapi begitu merasakan pelukan hangat Devian, Devina tak kuasa untuk menahan tangisnya.
"Maaf. Devina minta maaf, Kak." lirih Devina di sela isak tangisanya.
"Kakak sudah memaafkan kamu, Devina. Tapi jangan kamu ulangi lagi ya, itu bahaya!"
Devina yang masih menangis hanya bisa mengangguk.
Tanpa Devian dan Devina sadari, sejak tadi, Dean sudah mendengarkan pembicaraan antara keduanya. Dean bersembunyi di balik tembok, jadi kehadiran Dean sama sekali tidak akan di sadari atau dilihat oleh Devian maupun Devina. Dean berlalu pergi meninggalkan keduanya, tidak mau jika kehadirannya mengganggu.
Setelah berbaikan dengan Devian, Devina merasa jauh lebih baik.
Saat ini Devina berada di kamarnya, sementara Devian baru saja pergi ke luar.
"Masalah dengan Kak Devian sudah selesai, sekarang hanya tinggal menyelesaikan masalah dengan Om Dean." Devina merasa memiliki masalah dengan Dean, dan masalah yang Devina maksud adalah masalah tentang dirinya yang saat ini menjalin hubungan asmara dengan Benedick.
Beberapa hari yang lalu, Dean mengatakan jika Dean sudah memberi tahu orang tuanya tentang dirinya yang menyelinap keluar dari mansion, tapi entah mengapa, Devina merasa jika Dean berbohong.
Devina berpikir kalau Dean berbohong sebab Brian dan Brianna tidak marah padanya. Kemarin ketika mereka berkomunikasi, Brian dan Brianna bersikap seperti biasanya, keduanya tidak terdengar marah, ataupun kesal padanya. Itulah alasan mengapa Devina berpikir jika sebenarnya Dean tidak memberi tahu orang tuanya tentang apa yang sudah ia lakukan malam itu.
"Tidak ada pilihan lain selain bertanya langsung sama Om Dean," gumam Devina sambil melangkah keluar dari kamar.
Devina pergi menuju kamar Dean. Devina sudah berdiri di depan kamar Dean. Devina juga sudah memaggil Dean, dan mengetuk, tepatnya menggedor kamar Dean, tapi tak juga ada tanggapan dari sang pemilik kamar.
"Apa Om Dean sedang tidur siang? Atau mungkin sedang mandi? Karena itulah tidak mendengar teriakan atau panggilan dari aku?" Devina bergumam, seketika berpikir apa yang saat ini sedang Dean lakukan sampai Dean tidak kunjung membuka pintu kamarnya?
"Om!" Untuk kesekian kalinya Devina berteriak memanggil Dean, sambil mengetuk pintu kamarnya, tapi tak kunjung ada tanggapan dari Dean.
Devina baru saja akan membuka pintu kamar Dean ketika ada yang menepuk bahu kanannya dari belakang. Devina terkejut, tapi tidak sampai berteriak, hanya mengumpat, dan itu pun dengan suara yang sangat kecil.
Devina berbalik, terkejut saat tahu kalau Deanlah yang kini berdiri di hadapannya.
"Pantas aja dari tadi dipanggil enggak nyahut-nyahut, ternyata orangnya ada di luar kamar," ucap Devina dalam hati.
"Apa yang sedang Anda lakukan di depan kamar saya, Nona Devina? Dan apa Anda baru saja akan menerobos memasuki kamar saya?" Sebenarnya sejak tadi, Dean sudah mendengar teriakan Devina, hanya saja Dean memilih diam, sengaja melakukan hal tersebut untuk membuat Devina kesal padanya.
"Bisa kita bicara?" Devina tidak menjawab pertanyaan Dean, dan malah balik bertanya.
"Bukankah saat ini kita sedang berbicara?" ucap Dean sambil menyeringai.
Pertanyaan Dean membuat Devina semakin kesal, tapi Devina menahannya. "Iya, tapi jangan di sini, bisa kan?"
Dean tidak menjawab pertanyaan Devina. Dean memasuki kamarnya, dan Devina mengikuti langkah Dean.
"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan, Devina?"
"Nah kalau tidak formal kan enak." Devina senang karena Dean tidak lagi bicara secara formal padanya. Sekarang Dean juga sudah terlihat jauh lebih ramah dari sebelumnya, bahkan Dean tidak lagi memasang raut wajah dingin.
"Kenapa tersenyum apa ada yang lucu?"
Ternyata saking senangnya, Devina sampai tersenyum, dan senyuman manis Devina di lihat oleh Dean.
Devina tidak menjawab pertanyaan Dean, lalu memilih untuk kembali memasang raut wajah datar.
"Aku yakin kalau Om belum memberitahu Daddy dan Mommy tentang kejadian malam itu, iya kan?" tanya Devina menuntut.
"Kenapa kamu bisa seyakin itu?" Dean ingin tahu, apa alasan Devina bisa sampai berpikir seperti itu.
"Karena sampai saat ini, baik itu Daddy ataupun Mommy tidak ada yang marah." Devina yakin, jika kedua orang tuanya sudah mengetahui tentang kejadian tersebut, maka mereka berdua pasti akan sangat marah padanya, terutama Brian.
"Memang, Om belum memberi tahu orang tua kamu tentang kejadian malam itu."
Bukan hanya Dean yang tidak memberi tahu Brian dan Brianna tentang kejadian tersebut, tapi Devian juga tidak memberi tahu keduanya. Devian tidak mau, Dean serta para pengawal lainnya di marahi oleh Brian. Itulah alasannya.
"Syukurlah, ternyata Om Dean memang belum memberi tahu Daddy dan Mommy," Devina membatin, merasa sangat lega juga bahagia.
Baiklah, sekarang saatnya meminta supaya Dean tidak memberi tahu orang tuanya tentang dirinya yang ternyata sudah memiliki kekasih.
"Om mau ngapain?" Devina seketika panik ketika melihat Dean meraih ponselnya.
"Menghubungi orang tua kamu untuk memberi tahu tentang kejadian malam itu," jawab Dean tanpa memandang Devina.
Devina melotot, dengan cepat, menghampiri Dean, lalu mencoba untuk merebut ponsel milik Dean. Sayangnya usaha Devina gagal. Dean mengangkat tangan kanannya setinggi mungkin, jadi Devina tidak akan bisa meraih ponselnya.
Tinggi Dean dan Devina tidak sama, tinggi Devina hanya sebatas bahu Dean, jadi jelas saja Devina kalah sekalipun Devina berjinjit.
"Om, tolong, jangan kasih tahu Daddy sama Mommy." Devina tidak punya pilihan lain selain memohon. Sekarang Devina hanya bisa berharap, semoga saja Dean merasa iba padanya, lalu tidak memberi tahu orang tuanya.
Devina memasang raut wajah sememelas mungkin.
Menurut Dean, saat ini Devina terlihat sekali sangat lucu. Beberapa menit yang lalu, Devina memasang raut wajah datar, tapi sekarang, Devina memasang raut wajah memelas.
Dean tidak menanggapi ucapan Devina.
"Om!" Teriak Devina, kesal karena Dean
"Ok, Om tidak akan memberi tahu orang tua kamu tentang kejadian malam itu, tapi dengan 1 syarat."
Begitu mendengar kata syarat, Devina menjadi sangat takut.
"Apa syaratnya?" tanya Devina yang mencoba untuk tetap terlihat tenang, padahal sebenarnya saat ini Devina sangat takut.
"Syaratnya mudah, kamu hanya tinggal akhiri hubungan kamu dengan Benedick."
"Tidak mau!" Sama seperti sebelumnya, Devina menolak untuk mengakhiri hubungannya dengan Benedick.
Jika ada yang bertanya, kenapa Devina tidak pura-pura saja mengakhiri hubungannya dengan Benedick? Jawabannya adalah, karena itu sama sekali tidak ada gunanya. Bagaimana bisa Devina melakukan hal tersebut di saat dirinya saja selalu di awasi oleh pengawalnya?
"Ya sudah kalau tidak mau, tidak apa-apa." Dean menaruh kembali ponselnya di meja, lalu membuka pintu kamar. Melalui isyarat mata, Dean meminta supaya Devina keluar dari dalam kamarnya.
"Dasar pria menyebalkan!" Devina mengumpat, dan umpatannya di dengar oleh Dean, tapi Devina sama sekali tidak peduli.
Ini bukan kali pertama Devina mengumpatinya, jadi Dean sama seperti Devina, tidak peduli.
Setelah memastikan jika Devina menjauh dari kamarnya, Dean menghubungi Han dan Arion meminta keduanya datang menemuinya.
Tak sampai 5 menit kemudian, Arion dan Han mendatangi kamar Dean. Keduanya duduk di sofa yang sama, berhadapan langsung dengan Dean.
"Ada apa, Dean?" Han ingin segera tahu, apa yang ingin Dean bicarakan padanya juga Arion.
"Mulai besok, sampai beberapa hari ke depan, kalian berdua yang akan menjaga Devina, mengantar je mana pun Devina pergi."
"Lo mau ke mana?" Arion harap Dean mau memberi tahu dirinya juga Han, alasan kenapa Dean tidak bisa menjaga Devina selama beberapa hari ke depan.
"Gue mau menyelidiki kekasih Devina, Benedick." Dean sudah memikirkan secara matang-matang, dan Dean sudah memutuskannya. Mulai besok, Dean akan mencari tahu tentang Benedick. Jika Benedick memang bukan pria baik-baik, maka Dean menggunakan hal tersebut untuk membuat Devina menjauh dari Benedick.
"Apa mereka berdua benar-benar berpacaran?" Kemarin Dean sudah memberi tahunya juga Arion tentang Devina dan Benedick yang ternyata menjalin hubungan asmara, tapi Han masih tidak percaya.
Dean menjawab pertanyaan Han dengan anggukan kepala.
"Apa Tuan Brian tahu kalau Devina bercaparan?"
"Tuan Brian sudah tahu, karena itulah Tuan Brian meminta kita untuk mengawal Devina."
"Jadi sebelum kita bekerja menjadi pengawal Devina, Tuan Brian sudah tahu tentang masalah ini?"
"Iya." Dean menjawab singkat pertanyaan Han.
Jawaban Dean mengejutkan Han dan Arion. Keduanya tidak menyangka jika ternyata Brian sudah tahu hal tersebut.
"Pendapat lo sendiri bagaimana, Dean?"
"Pendapat tentang apa?"
"Tentang kekasih Devina."
"Gue merasa kalau Benedict bukan pria baik-baik." Dean harap perasaannya kali ini salah, meskipun sebenarnya Dean yakin kalau penilaiannya kali ini tentang Benedick pasti benar.
"Bukan pria baik-baik?" Ulang Han memperjelas.
Dean mengangguk, kemudian menghela nafas panjang. "Iya, sepertinya dia pecandu."
"Apa?" Han dan Arion dengan kompak berteriak, saat sadar jika mereka berdua baru saja berteriak, keduanya dengan kompak meminta maaf.
"Dean apa lo yakin?"
"Gue belum yakin, karena itulah mulai besok gue akan mencari tahu tentang Benedick. Makanya, mulai besok, hanya kalian berdualah yang akan menjaga Devina dari jarak dekat."
"Itu sama sekali tidak masalah, Dean."
Han mengangguk, membenarkan ucapan Arion.
"Tapi Dean, kalau seandainya Benedict memang seorang pecandu obat-obatan terlarang, apa ada kemungkinan kalau Devina juga mengkonsumsinya?"
"Tentu saja, kita tidak boleh mengabaikan kemungkinan tersebut." Sekarang Dean hanya bisa berdoa, semoga apa yang ia takutkan tidak benar-benar terjadi.