Devina menolak untuk percaya pada semua ucapan Dean, tapi jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, Devina tahu jika dirinya mulai berpikir jika semua itu mungkin saja benar.
Selama ini, Benedick memang membohonginya, dan juga menipunya, begitu juga dengan kedua temannya yang sebenarnya adalah teman Benedick.
Setelah Dean pergi meninggalkan kamarnya, Devina mencoba untuk tidur, namun sayangnya, Devina tidak bisa tidur.
Devina baru bisa tidur ketika pagi sudah tiba, alhasil Devina hanya tidur tak lebih dari 2 jam. Devina harus bangun lagi, karena pagi ini, Devina harus pergi kuliah.
Devina bangun dalam keadaan yang bisa dikatakan sangat berantakan, benar-benar berantakan.
Kedua bola mata Devina memerah, lalu di tambah kantung matanya yang juga membengkak. Devina juga merasa kepalanya sangat pusing, tenggorokannya sakit, dan hidungnya terasa mampet. Seluruh tubuhnya juga terasa lemas tak bertenaga.
Itulah efek yang akan Devina rasakan jika Devina menangis selama berjam-jam lamanya.
Devina memutuskan untuk berendam. Devina berharap jika pikirannya kembali fresh, dan rasa sakit di sekujur tubuhnya juga mereda setelah nanti berendam menggunakan air hangat.
Sama seperti Devina, semalam Dean juga tidak bisa tidur dengan pulas. Bedanya, Dean tidak sekacau Devina.
Seharusnya Dean merasa lega karena sudah tahu apa hasil tes dari Devina, dan juga merasa lega karena pada akhirnya bisa memisahkan Devina dengan Benedick, tapi entah kenapa, Dean malah merasa cemas, sekaligus juga khawatir.
Dean sudah sampai di lantai 1, lalu menghampiri Arion dan Han yang saat ini sudah duduk di ruangan khusus yang Brian buat untuk tempat berkumpul para pengawal juga penjaga yang lainnya.
Kedatangan Dean berbarengan dengan kedatangan para pelayan yang membawa kopi serta sarapan untuknya, Han dan Arion. Para pelayan tersebut lantas menata makanan juga kopi di meja, setelah itu pamit undur diri.
Dean duduk di hadapan Arion dan Han yang duduk dalam 1 sofa yang sama.
"Dean."
"Iya, Han, ada apa?" Dean bertanya dengan fokus yang terus tertuju pada ponselnya. Saat ini, Dean sedang membalas pesan yang beberapa menit lalu Brian kirim.
"Apa lo sudah memberi tahu Devina tentang Benedick, dan kedua temannya yang positif menggunakan obat-obatan terlarang?"
"Tentu saja sudah, dan gue juga sudah memberi tahu Devina tentang betapa brengseknya Benedick." Dean meletakkan ponselnya di meja, lalu mengambil gelas yang berisi kopi, menyeruput kopi tersebut secara perlahan-lahan.
"Apa Devina percaya?"
"Seperti yang sudah Arion duga sebelumnya, Devina sama sekali tidak percaya. Devina menganggap kalau gue merekayasa semua foto-foto itu."
"Ternyata dugaan gue benar," gumam Arion. "Lalu apa yang selanjutnya akan lo lakukan?" Arion ingin tahu, apa rencana Dean selanjutnya. Apa Dean akan tetap pada rencana yang tadi malam sudah mereka bahas? Atau mungkin Dean sudah memiliki rencana lain?
"Seperti yang sudah kita bahas tadi malam, kita tidak punya pilihan lain selain membuat Devina melihat semua kegiatan Benedick menggunakan kedua mata kepalanya sendiri." Menurut Dean, itu adalah pilihan terbaik.
"Selama ini Devina berpikir jika Benedick adalah pria baik-baik, jadi begitu nanti tahu bagaimana sikap Benedick yang sebenarnya, Devina pasti akan sangat terpukul." Han sudah bisa membayangkan bagaimana kecewa dan marahnya Devina nanti.
"Sebentar lagi, Devina akan melihat sisi lain dari diri Benedick, dan itu semua pasti akan sangat menyakitkan baginya. Devina sudah pasti akan marah juga kecewa." Arion menimpali ucapan Han.
"Kalian berdua benar, Devina pasti akan sangat marah setelah tahu semuanya tentang Benedick dan kedua temannya yang juga sama brengseknya seperti Benedick."
"Guys, Devina datang jadi sebaiknya kita diam dulu." Arion mendengar suara lift terbuka. Arion yakin jika orang yang baru saja keluar dari dalam lift adalah Devina.
Dean, Arion, dan Han lantas menoleh. Tebakan Arion benar, Devinalah yang datang. Arion yakin jika Devina yang datang, karena beberapa menit sebelumnya, Devian sudah terlebih dahulu datang.
"Lihatlah, Devina terlihat sangat kacau," gumam Han sesaat setelah melihat betapa kacaunya penampilan Devina pagi ini.
Ini adalah kali pertama bagi Han, juga bagi Dean dan Arion melihat penampilan Devina yang berantakan, karena biasanya mereka akan melihat penampilan Devina yang rapi.
"Devina memang menolak untuk percaya pada semua foto-foto yang semalam gue berikan, tapi gue tahu kalau dia memikirkan itu semua."
"Saat ini, Devina pasti sedang memikirkan, bagaimana jika ternyata semua foto-foto itu bukan hasil rekayasa? Bagaimana jika ternyata selama ini dirinya memang dibohongi oleh pria yang berstatus sebagai kekasihnya?" gumam Arion, mencoba menebak isi pikiran Devina saat ini.
"Iya, kurang lebih itulah yang saat ini ada dalam pikiran Devina." Han mengangguk, menyetujui ucapan Arion.
"Hari ini adalah hari terakhir Devina dan Benedick menjadi sepasang kekasih, karena mulai besok, mereka tidak akan lagi memiliki hubungan." Dean yakin 100% kalau Devina pasti akan mengakhiri hubungannya dengan Benedick, bukan hanya dengan Benedick tapi juga dengan Carlos dan Krystal.
Sebenarnya, Carlos dan Krystal adalah teman Benedick, bukan teman Devina. Jadi, ketika nanti Devina mengakhiri hubungannya dengan Benedick, pertemanan mereka pun pasti akan berakhir.
"Iya, nanti Devina bukan hanya akan marah pada Benedick, tapi Devina juga akan marah pada Carlos dan Krystal yang sama-sama sudah membohonginya, menipunya habis-habisan."
Dean dan Han mengangguk, setuju dengan ucapan Arion.
Devina akan sangat membenci ketiganya, terutama Benedick.
Devina pergi menuju ruang makan. Di dalam ruang makan sudah ada Devian yang juga baru saja memasuki ruang makan 5 menit yang lalu.
Begitu mendengar suara langkah kaki mendekat, Devian menoleh ke samping, alangkah terkejutnya Devian ketika melihat penampilan sang adik yang terlihat sekali sangat berantakan.
Devian lantas berdiri, menghampiri Devina. "Devina, kamu kenapa?" tanyanya sambil menuntun Devina untuk duduk di kursi.
Devian tampak sangat mengkhawatirkan Devina setelah melihat penampilan sang adik yang pagi ini terlihat berbeda dari biasanya.
"Devina sedang memiliki masalah, Kak. Tapi Devina tidak mau menceritakannya pada Kakak, maaf," balas lirih Devina sambil menundukkan wajahnya, dan kini menatap kedua jemari tangannya yang saling bertaut.
"Itu sama sekali tidak masalah, Devina." Devian tidak akan memaksa Devina bercerita padanya, jika memang Devina tidak mau. Devian tahu, jika Devina sudah siap, maka Devina akan menceritakannya sendiri. Devian hanya tinggal menunggunya, dan yang Devian tidak tahu adalah, kapan Devina akan siap bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya.
"Terima kasih atas pengertiannya, Kak." Devina senang karena Devian tidak memaksanya untuk bercerita. Devina sebenarnya ingin menceritakan semua masalahnya pada Devian, tapi Devina takut, takut kalau Devian malah akan marah padanya saat tahu kalau dirinya selama ini menjalin hubungan asmara dengan Benedick.
Devian tahu tentang Benedick, tapi saat itu, Devina memperkenalkan Benedick pada Devian bukan sebagai kekasihnya, tapi sebagai teman.
Saat tahu kalau dirinya berbohong tentang Benedick, Devian pasti akan sangat kecewa, dan karena Devina tidak mau melihat Devian kecewa padanya, maka Devina tidak akan menceritakan permasalahannya pada Kakak kembarnya tersebut.
"Sama-sama, Devina."
Tak berselang lama kemudian, para pelayan datang, membawakan menu sarapan untuk Devian dan Devina.
Menu sarapan hari ini adalah menu kesukaan Devina, tapi Devina sama sekali tidak bernafsu.
Sejak tadi, Devina hanya memainkan pisau juga garpu di kedua tangannya, tanpa berniat untuk menyentuh makanannya.
Devina terus memikirkan tentang foto-foto yang semalam Dean berikan, juga memikirkan tentang Dean yang hari ini akan mengajaknya pergi, pergi entah ke mana.
"Devina!" Devian menegur Devina yang terlihat melamun.
"Eh iya, kenapa, Kak?" Teguran Devian mengejutkan Devina, sekaligus membuat Devina tersadar dari lamunannya.
"Kamu melamun, Devina," balas Devian sambil tersenyum kecut.
"Maaf, Kak," balas Devina tak enak hati.
"Tidak apa-apa. Kakak cuma mau bilang kalau makanan Kakak sudah habis, jadi Kakak mau berangkat duluan."
"Oh, ok," balas Devina sambil mengangguk.
Devian menghampiri Devina, lalu memeluk adiknya tersebut dari samping. "Kakak tidak tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi, tapi kamu harus tahu, kalau Kakak akan selalu ada buat kamu."
Ucapan Devian membuat perasaan Devina menjadi lebih baik dari sebelumnya. "Devina tahu, Kak," balasnya pelan.
Devian mengecup kepala Devina. "Kakak berangkat ya."
Devina mengangguk. "Hati-hati ya, Kak."
"Pastinya," balas Devian sambil mengusap lembut kepala Devina.
Setelah pamit, Devian pergi meninggalkan Devina sendiri di ruang makan.
Setelah memastikan jika Devian keluar dari ruang makan, Devina berdiri sambil mengangkat piring yang berisi makanannya.
"Habiskan makanannya, Devina!"
Suara bariton Dean mengejutkan Devina. Saking terkejutnya, Devina bahkan hampir saja menjatuhkan piring yang di pegang oleh tangan kanannya.
"Untung aja enggak jatuh," gumam Devina sambil meletakkan kembali piring tersebut di meja.
Devina menoleh ke belakang, kembali duduk begitu melihat Dean melangkah mendekatinya.
Dean duduk di samping Devina.
"Habiskan makanannya, Devina." Untuk kedua kalinya, Dean meminta supaya Devina menghabiskan sarapannya.
"Tapi aku masih kenyang, Om," jawab lirih Devina.
"Kalau begitu, kamu habiskan saja susunya." Dean tahu, saat ini pikiran Devina sedag kacau, jadi itu membuat Devina jadi tidak nafsu makan, karena itulah Dean tidak akan memaksa Devina untuk menghabiskan makanannya.
Devina hanya mengangguk, lalu mulai menenggak s**u tersebut sampai habis tak bersisa.
"Sudah habis," ucap Devina setelah berhasil meminum s**u tersebut sampai habis.
"Ayo kita pergi." Mulai hari ini, Dean akan kembali mengantar Devina pergi kuliah.
Dengan perasaan malas, Devina pergi mengikuti langkah Dean.
Sebelum pergi meninggalkan ruang makan, Devina tak lupa untuk meminta maaf pada para pelayan, karena pagi ini dirinya tidak memakan sarapan yang sudah mereka buat.
Devina juga tak lupa memberi tahu mereka kalau dirinya tidak sarapan bukan karena makanannya tidak enak, tapi karena dirinya memang tidak sedang bernafsu makan.
Devina harus melakukan hal tersebut supaya para pelayan tidak merasa takut, takut akan di marahi oleh kepala pelayan saat kepala pelayan melihat makanannya tidak habis.
"Apa nanti kita jadi pergi?" Devina memberanikan diri untuk bertanya pada Dean yang baru saja menyalakan mobil.
"Tentu saja, kita akan pergi." Rencananya, nanti sepulang kuliah, Dean akan mengajak Devina pergi, pergi untuk melihat apa saja yang akan Benedick lakukan hari ini.
Dean sudah tahu apa saja kegiatan Benedick untuk 1 minggu ke depan, begitu juga dengan kegiatan kedua temannya, Carlos dan Krystal.
Malam ini, Benedick, Carlos, dan Krystal akan pergi ke sebuah klub, dan mereka tidak hanya akan pergi bertiga, tapi juga akan pergi bersama dengan teman mereka yang lainnya.
***
Dean menoleh begitu mendengar suara pintu mobil terbuka, dan ternyata yang membukanya adalah Devina.
"Sudah selesai kuliahnya?" Sebenarnya Dean tidak perlu bertanya, apa kuliah Devina sudah selesai atau belum? Karena jika Devina datang menemuinya, itu artinya kegiatan belajar Devina sudah selesai, tapi Dean hanya ingin berbasa-basi dengan Devina yang kali ini terlihat jauh lebih lesu dari tadi pagi, bahkan wajah Devina terlihat sekali sangat pucat.
Dean jadi takut kalau Devina akan pingsan.
"Sudah, Om." Devina menjawab pelan pertanyaan Dean.
"Jadi bagaimana? Apa kamu sudah siap?
Devina menggeleng. "Tidak," jawabnya jujur.
"Om tahu kalau kamu sama sekali tidak siap, Devina, tapi Om juga tidak bisa menunggu sampai kamu siap, karena kita tidak akan pernah tahu kapan kamu siap untuk melihat kenyataan menyakitkan ini."
Semua perkataan yang Dean ucapakan benar. Devina tidak akan pernah siap.
Dean mendekati Devina.
Devina menatap bingung Dean. "Ada apa?" tanyanya penasaran.
"Kamu belum memakai sabuk pengaman kamu, Devina." Dean mulai memakaikan sabuk pengaman milik Devina.
Devina tidak sempat menolak, karena semuanya terjadi dengan begitu cepat.
"Terima kasih," ucap lirih Devina sesaat setelah Dean berhasil memasangkan sabuk pengamannya.
"Sama-sama, Devina."
Dean kembali ke posisinya, lalu menghubungi Arion dan Han, meminta keduanya untuk pulang duluan ke mansion.
Han dan Arion tidak menolak. Kedua pria tersebut menuruti semua perintah yang Dean berikan.
"Jadi kita hanya akan pergi berdua?"
"Iya, apa kamu keberatan, Devina?"
"Sama sekali tidak, justru itu jauh lebih baik," jawab Devina sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil.
Dean memperhatikan Devina. Dean bisa melihat betapa eratnya pegangan tangan Devina pada buku yang ada dalam pangkuannya.
Kedua mata Devina terpejam, lalu Dean bisa mendengar Devina yang menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan-lahan.
"Semuanya pasti akan baik-baik saja, Devina," gumam Devina, menyemangati dirinya sendiri.
Gumaman Devina di dengar oleh Dean.
Dean tersenyum masam. "Sayangnya, semuanya tidak akan baik-baik saja, Devina," ucapnya dalam hati.
Dean yakin kalau Devina akan jauh lebih shock dari tadi malam setelah melihat kelakukan Benedick dengan mata kepalanya sendiri, bahkan mungkin Devina akan jatuh pingsan.
Dean tahu kalau ini semua akan sangat menyakiti perasaan Devina, tapi menurut Dean, akan jauh lebih baik jika Devina tahu sekarang, dari pada nanti. Nanti dan sekarang tidak akan ada bedanya. Rasanya sama-sama sakit, bahkan jika Devina tahunya nanti, mungkin rasa sakitnya akan jauh lebih besar dari saat ini.
Sebelum membawa Devina pergi ke tempat-tempat yang biasanya Benedick kujungi, Dean akan terlebih dahulu membawa Devina ke restoran untuk makan siang. Tadi pagi Devina tidak sarapan, dan hanya meminum segelas s**u, jadi siang ini Devina harus makan, agar Devina tidak sakit.