Part 3

1578 Kata
Jarum pendek pada jam dinding sudah menunjuk angka dua sementara yang panjang ke angka empat. Pukul 02:21, sudah lewat tiga jam lebih dari masa berakhir dia bekerja. Namun, sampai sekarang, pemuda bernama Reval masih belum ada di dalam kamarnya. Dia justru masih terdiam di depan gerbang rumah megah milik ayahnya. Duduk bersandar sambil memeluk salah satu lututnya, sementara yang satu dia biarkan lurus menyentuh aspal. Pandangannya kosong menatap jalanan yang sangat sepi di depan rumah. Sudah sangat sepi di komplek perumahan itu, tetapi Reval masih betah duduk di sana seolah tidak ingin masuk ke dalam rumahnya. Sesekali dia menoleh, menatap lampu rumah yang tak kunjung padam. Dia menunggu semua orang di dalam sana tertidur, tetapi sampai detik ini, masih menyala terang. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk bangkit dan mengambil napas serta menghelanya berkali-kali sebelum bergerak. Langkah gontainya perlahan membawa dia memasuki rumahnya. Pintu dapur dekat bagasi mobil yang berhubung langsung dengan dapur yang dia pilih karena Reval sudah sangat paham kalau tempatnya bukan lewat depan rumah, bahkan mungkin tidak masuk ke dalam rumahnya. Dibukanya pintu perlahan dan perlahan pula cahaya menyinari tubuh Reval. Sangat terang di dalam sana, Reval dapat melihat seseorang yang sedang berdiri di dekat tangga rumahnya. Dia berdiri sambil melipat kedua tangan di dadanya. Ayahnya menatap tajam ke arah Reval, menusuk langsung ke iris mata pemuda yang jauh dari hadapannya. Reval langsung menegang di hadapannya, terlalu kelu bibir itu untuk mengucap kata selamat malam. Sampai akhirnya Reval hanya bisa menunduk dan tersenyum getir. Selamat malam, Ayah, ucapnya dalam hati. Dia tidak berani melihat ayahnya. Hanya melihat lantai di bawahnya sambil menutup pintu perlahan. Langkah keras pria itu mulai terdengar di telinga Reval. Pemuda itu tahu ayahnya sedang menuju ke arahnya. Reval juga sudah siap apa yang akan ia dapatkan malam ini. PLAK ! ! ! Guratan merah di pipi kanan Reval mulai muncul. Elusan tangan sang Ayah yang begitu indah menurut Reval. Pemuda itu tersenyum getir mendapatkan perlakuan Kasar. Wajahnya masih saja dia tundukkan. Tak mampu menatap wajah Rangga yang berada tepat di depannya. “Selamat Malam, Ayah,” ucapnya dengan berbisik. Dia masih sempat untuk mengucapkan selamat malam. Sebagai tanda hormat, pikirnya. Padahal rasa sesak sudah menumpuk di dadanya. Matanya mulai memanas seiring napasnya yang semakin tidak beraturan. “Sudah malam. Ayah masih belum tidur?” Bukannya menjawab, kembali Rangga hadirkan elusan tangan di pipi kiri anaknya. Satu elusan yang kembali membuat Reval terdiam. Pemuda itu sudah paham apa alasan ayahnya marah. Dia bahkan sudah menebaknya, makanya dia tidak mau masuk ke rumah dari tadi. "Pergi ke ruangan saya!" Sentakan itu membuat Reval terlonjak. Ragu-ragu Reval berjalan dengan perlahan meninggalkan sosok Rangga yang masih diam menatap kepergian Reval dari hadapannya. Reval hanya berharap malam ini akan segera berlalu. Reval juga berharap bahwa sakitnya tidak muncul saat di hadapan sang Ayah. Reval tidak mau terlihat lemah, Reval tidak ingin ayahnya khawatir dengan dirinya. Langkahnya membuat Reval memasuki ruangan yang diperintahkan ayahnya. Ruangan yang selalu Reval ingat sepanjang malam, ruangan yang menjadi saksi tentang hidupnya, ruangan dengan banyak bingkai foto kembaran dan ayahnya serta ibunya yang terlihat sangat bahagia di foto itu. Once again, foto kembarannya, bukan foto Reval. Tidak ada foto Reval di sana. Pintu ruangan ditutup sangat keras, membuat Reval kembali menghela napasnya dengan sangat berat. Setiap kali debuman pintu itu berbunyi, Reval selalu merasakan hal aneh. Rasa yang ingin sekali dia lupakan, tetapi tetap saja dia dapatkan setiap kali dia berbuat salah. Rasa takut, gelisah, panik, dan kecewa menjadi satu.Padahal, ini bukan pertama kalinya bagi Reval, tetapi Reval tetap saja selalu merasakan hal yang sama. "Saya tidak perlu mengingatkan tentang perjanjian kita, kan?" tanya Rangga yang menghampiri Reval di tengah ruangan. Rangga mengambil posisi tepat di hadapan Reval yang sedang menunduk dalam. “Apa kamu lupa dengan janjimu?” Tidak akan pernah Reval lupakan tentang janji itu. Dia bahkan selalu diingatkan oleh ayahnya sendiri. Bagaimana dia lupa? Setiap kali Reval buat salah, pasti diingatkan dengan cara yang sama, dipukul, ditampar, ditendang, dipecut, bahkan dikunci di gudang. Reval tidak berani melihat mata ayahnya. Tetap dalam posisi yang sama, dia memandagn ujung jari kakinya dan berusaha untuk tetap berdiri. Sakit di kepalanya mulai menyerang setelah lama dia tahan. "Lihat saya!" kata Rangga dengan nada rendah. “Lihat saya, Anak Berengseek!” Sekali lagi, tidak ada nada bicara santai antara anak dan ayah. Rangga selalu bersikap kasar pada Reval. Sangat berbeda jika berbicara dengan Revan, tidak akan pernah nada kasar yang ayahnya berikan. Perlahan Reval mengangkat wajahnya dengan keraguan yang begitu menyelimuti dirinya. Reval sangat tidak suka keadaan seperti ini, Reval lebih memilih berhadapan dengan penyakitnya yang begitu menyiksa diri dibandingkan dengan ayahnya. "Ti-tidak perlu, Ayah," jawab Reval terbata-bata. Suaranya pun sangat tertahan sehingga membuat Rangga hampir saja tidak mendengarnya jika ruangan ini tidak hening. “Reval ingat perjanjian kita.” "Lalu, apa yang kamu ingat?" tanya Rangga sekali lagi. Reval tahu dirinya salah. Reval ingin sekali meminta maaf. Reval ingin mengungkapkan semua yang ia tahan selama ini. Perlahan keadaan itu membuat Reval merasakan sakitnya kembali. Sakit itu mulai membuat Reval semakin lemas, membuat dirinya semakin gemetar. Tolong, jangan sekarang, Tuhan. Saya tidak akan menolaknya nanti, tetapi mohon jangan sekarang. Sakit di kepalanya kembali menyiksa Reval. "APA?!" BUGH ! ! ! Reval berusaha menyembunyikan sakitnya. Pukulan yang dihadiahkan sang Ayah memang sangat menyakitkan. Reval memegangi perutnya yang benar-benar sakit saat ini. Ditambah sakit di kepalanya belum juga menghilang, lengkap sudah apa yang Reval dapat malam ini. "Bangun!" Rangga menarik tangan Reval agar anak itu segera berdiri. “Bagaimana? Masih kurang?" tanya Rangga. Reval sangat tahu ke mana tujuan pertanyaan itu. Sangat ingin menjawabnya saat ini, guna mengurangi obrolan singkatnya dengan sang Ayah. Namun, sakit yang dirasakan begitu menggerogoti pikirannya. Reval sampai tidak bisa merasakan sakit di perutnya lagi. "Reval—" jawab Reval tersendat, mencoba menahan sakit di kepalanya. "Reval harus menjaga Revan sampai kapan pun, bahkan nyawa Reval taruhannya." Reval berusaha menahan sakit di kepalanya, hanya untuk menjawab pertanyaan ayahnya. PLAK ! ! ! Sekali lagi tamparan diterima Reval. Kemudian ayahnya tersenyum miring. "Revan masuk rumah sakit hari ini. Apa yang telah kamu lakukan? Apa itu cara kamu menepati janji?" tanya Rangga. Reval sungguh tidak bisa menjawabnya lagi kali ini, Reval sanggup menerima apa pun malam ini. Reval menyerah, Reval diam menunggu apapun yang akan ayahnya lakukan. Ternyata hanya tatapan sinis yang ayahnya berikan.  Di satu sisi, Reval ingin kembarannya bahagia. Revan sedang bermain basket dan itu sudah cukup membuatnya bahagia. Lalu, mengapa Reval harus menahan kebahagiaan kembarannya? Dia tahu rasanya tidak bahagia sehingga Reval mengizinkannya tadi. "Revan ...." Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk memberi alasan.  "Reval salah," jawabnya dengan nada sendu.  "Sebentar lagi Revan ulang tahun. Saya tidak perlu mengingatkan kamu tentang perjanjian itu," kata Rangga sambil berjalan keluar dari ruangan.  "Maaf, Yah. Terima kasih," ucap Reval pelan. Tentu saat ayahnya sudah keluar dari ruangan. Reval langsung meluruhkan badannya, menumpahkan semua rasa sakitnya bersamaan dengan aliran air mata. Reval tidak bisa seperti ini. Penyakitnya saja sudah sangat membuat dia kesakitan, apalagi harus merasakan sakit dari ayahnya yang berkali-kali lipat sakitnya. Pemuda itu segera bangkit dari lantai yang dingin. Dia tidak ingin merasakan sakitnya di ruangan ini lagi. Reval harus kembali ke kamarnya. Setelah dia berdiri, kakinya sungguh lemas, tidak bisa digerakkan sama sekali. Pemuda itu mencoba merangkak untuk berjalan ke arah pintu. Reval harus buru-buru ke kamarnya, berusaha berjalan sambil memegang tembok yang tak bisa ia genggam. Menaiki tangga rumahnya yang sangat tinggi rasanya malam ini. Langkah demi langkah Reval lakukan, berusaha mencapai tangga terakhir. Hingga akhirnya Reval sampai di kamarnya. Kemudian mengunci pintu kamar itu dari dalam dan langsung merangkak menuju nakas. Reval berusaha mencari pilnya lagi. Dengan gemetar tangannya mengambil hingga membuat pil itu berserakan di lantai. Reval masukan sekaligus tiga butir tanpa air putih lagi untuk mendorongnya. Setelah itu bibirnya tersenyum, padahal di dalam hatinya dia berteriak dan membantah semuanya. Dia lelah dengan dunia ini. Reval sungguh lelah dengan hidupnya. Katanya, pelangi itu akan datang setelah hujan. Katanya, sabar itu dapat menghasilkan buah terbaik. Katanya, dunia ini sudah adil. Banyak sekali kata orang yang membuat pemuda itu meneteskan air matanya kembali, menelan pahitnya dunia yang saat ini ia rasakan. Padahal pada kenyataannya, kebahagiaan belum hadir juga setelah hampir tujuh belas tahun dia berjuang. Sakit di kepalanya memang sedikit menghilang, tetapi sakit yang lain belum juga menghilang. Sakit yang tidak bisa disembuhkan dengan pil pahit yang biasa ia konsumsi atau dengan bantuan dokter sekali pun. Obatnya ada pada orang yang saat ini Reval rindukan. Obatnya ada pada orang yang baru saja membuat dirinya hampir mati berdiri, ayahnya sendiri. Namun, tidak mungkin dia akan mendapatkan haknya, mendapatkan hak untuk tinggal di rumah ini saja dia harus merelakan sesuatu yang sangat berharga, kebahagiaannya. Reval harus merelakan kebahagiaannya untuk kembarannya sendiri.  Dia sudah tidak bisa menghilangkan rasa sakit ini. Semakin ia mencoba, rasa sakit itu semakin menguasai dirinya. Pemuda itu mencari benda yang mungkin bisa membuat dirinya senang, benda yang selama ini menemaninya menghadapi rasa sakit ini. Dia pikir satu atau dua goresan sudah cukup untuk membuat dirinya membaik. “Forgive me,” ucapnya sebelum itu. Perlahan cairan merah keluar dari kulit Reval, mengalir hingga menetes ke lantai kamarnya. Kemudian membuat sang empunya meringis kesakitan. Namun, satu detik kemudian, Reval tersenyum dan kembali membenturkan kepalanya di kayu ujung kasurnya. Hal itu seolah tidak membuat dirinya puas. Reval butuh yang lain, goresan yang panjang dan lebih dalam kembali Reval buat di lengan kirinya. Membuat Reval semakin meringis kesakitan dan perlahan menutup matanya. Reval berharap ini yang terakhir kali ia melihat dunia yang kejam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN