Chapter 04; Man With Gold Eyes

2155 Kata
"Sedang apa kau di sini?" Tanya suara itu dengan nada marah yang membentak. Belum sempat Arian melihat jelas wajah orang itu, dia sudah menarik baju Arian, menyeretnya agar bangun dan mengikuti ke mana pria itu pergi. Masih dengan rasa takut yang belum hilang, Arian mencoba melepaskan diri dari orang asing itu tapi tetap saja tenaganya tidak sekuat orang itu. Dia seorang pria paruh baya memakai jaket tebal dari bulu binatang, di tangannya ada sebuah senapan laras panjang sementara tangan lain sibuk menarik Arian untuk ikut bersamanya.  Masih dalam kabut tebal yang seolah enggan pergi, Arian terus meronta dan berharap dilepaskan oleh orang itu tapi tetap tak digubris sama sekali. Dia tetap diseret. "Tunggu! Aku akan pergi, lepaskan aku!" Arian mencoba memberi penawaran. Tapi tetap saja itu hanya jadi angin di telinga pria itu.              Duk.                 Ujung sepatu Arian tersandung akar pohon, membuatnya jatuh tersungkur, meski melihat Arian jatuh tersungkur di tanah orang itu sama sekali tidak terlihat berniat membantunya, dia malah memaksa Arian bangun dan terus menyeret pemuda itu tanpa suara. Sumpah demi ibunya, ini pertama kali Arian melihat orang itu, dia juga tidak ingat kalau di desanya ada orang dengan gestur seperti orang ini. Harus dia akui, Arian mengenal semua penduduk yang tinggal di desanya, nama mereka, wajah, bahkan hampir kebiasaan mereka bisa dengan mudah Arian hafalkan tapi orang ini ... dia sama sekali tidak mengenalnya. Bahkan ini pertamakalinya Arian melihat orang ini di sini. Mereka terus berjalan hingga ke luar dari hutan. Bahkan setelah mereka melewati pohon terakhir pun orang itu sama sekali tidak melepaskan tangannya dari Arian. Pemuda ini masih terus diseret hingga mereka berhenti di sebuah gubuk tua dengan sebuah sumur di sampingnya dan di sanalah pria itu kemudian membanting Arian, membuatnya tersungkur dan mendarat tepat di antara ranting-ranting kering yang mungkin sengaja dikumpulkan orang itu untuk musim dingin. Tidak sampai di sana, belum habis Arian meratapi rasa sakitnya, orang itu mulai menodongkan ujung senapan tepat ke kepala Arian, sontak Arian terkejut dan memohon agar tidak dibunuh untuk kesalahan yang dia tidak tahu apa. "Siapa yang memberimu izin untuk masuk ke dalam hutan itu?" "Apa? Itu hutan milik umum, bukan milikmu!" Bentak Arian membela diri. Dia berusaha menyingkirkan ujung senapan itu dari kepalanya tapi sekali lagi, pria paruh baya itu menaruhnya lagi ke posisi semula. Pria itu memiliki alis, kumis dan janggut yang cukup tebal dengan warna hitamnya yang mulai pudar. Sementara rambutnya yang mungkin tak jauh beda tertutup topi bulu hingga menutup sebagian telinganya, baju yang dia pakai juga tidak terlalu bersih, bahkan Arian bisa melihat sepatu pria dengan tubuh sedikit gemuk itu penuh lumpur dan rumput basah. Bukan hanya penampilannya saja yang terlihat tak biasa, rumah ini pun baru kali ini Arian lihat. "Aku tidak tahu siapa kau tapi aku peringatkan padamu anak muda, berhenti masuk ke dalam hutan itu atau kau akan mati!" Arian mengerutkan alisnya, dia seperti sudah muak dengan ancaman-ancaman bodoh seperti itu. Tidak hanya sekali, dan kali ini malah dia diancam mati oleh orang ini, dia muak. Meski semalam dia baru saja melihat monster mengerikan yang hampir saja menelannya hidup-hidup tapi dia  juga tidak ingin mati konyol di tangan pria ini. Beruntung tanah di bawahnya sedikit berpasir, jadi Arian menggenggam sedikit pasir di sana kemudian melemparkannya tepat ke muka orang tersebut dan beberapa butir pasir halus berhasil masuk ke dalam matanya. Orang itu mengerang saat beberapa butir debu lain ikut masuk saat dia membuka mulut. Melihat pria paruh baya itu disibukan dengan pasir, Arian segera bangkit dan menendang kaki pria itu hingga jatuh terpelanting ke tanah, setelanya Arian mengambil kesempatan untuk mencuri senapan yang dipegang pria itu kemudian membalikkan keadaan. "Mundur!" Ancam Arian dengan tangan gemetar. Sumpah demi ibunya, ini kali pertama dia memegang benda seperti itu, benda yang ternyata lebih berat dari kapak yang biasa dia gunakan untuk menebang pohon-pohon di hutan. Lagi pula, apapun yang sedang dia lakukan saat ini, Arian sama sekali tidak bisa menggunakan benda yang kata orang-orang di luar sana bisa dengan mudah membunuh hanya dengan sekali tarikan pelatuk. "Gah! Kembalikan benda itu bocah!" Geram pria paruh baya itu masih coba menyingkirkan pasir dari matanya. "Tidak sebelum kau menga—"            Dhuak.           Arian merasakan sakit yang teramat saat seseorang memukul tengkuknya sangat kuat. Membuatnya terhuyung dan nyaris jatuh, namun Arian masih bisa berdiri meski langkahnya tidak terlalu bisa dia kendalikan.  Bukan hanya itu, orang yang memukulnya juga menarik senapan yang dia pegang, kemudian membanting Arian ke tanah setelah mendapatkan senapan tersebut. Tanpa bicara apapun,  Arian mencoba melarikan diri dengan sisa tenaganya. Pukulan yang dia terima benar-benar membuat keseimbangan Arian terganggu, membuatnya beberapa kali nyaris jatuh hingga akhirnya dia benar-benar jatuh saat kakinya tanpa sengaja tersandung kerikil.                                   Bunyi besi yang beradu menimbulkan suara bising yang membuat siapapun linu karenanya, dan itu pula yang membagunkan Arian. "Ugh!" Arian masih bisa merasakan sakit di tengkuknya. Sambil mencoba bangun, Arian sedikit memijit tengkuk yang mungkin sudah memar sekarang. "Maaf sudah memukulmu." Untuk pertama kalinya, Arian melompat dari posisinya kemudian menendang pemilik suara yang berada sangat dekat dengannya. Alhasil, air yang orang itu bawa jatuh bersama gelas tembikar yang pecah menjadi beberapa bagian. Padahal, pemuda ini belum benar-benar membuka matanya hanya untuk melihat sekeliling. Tidak hanya Arian, pria itu juga sempat tidak melakukan apapun selama beberapa detik hanya untuk menyaksikan bagaimana air yang tumpah mulai menggenang dan terus bergerak mengikuti bagian datar lantai kayu di bawahnya. "Si—siapa kau?" Bentak Arian waspada meski dengan rasa sakit yang masih luar biasa. "Harusnya aku yang bertanya," kali ini suara lain didengar Arian, itu pria paruh baya yang menodongkan senapan ke kepalanya. Pria paruh baya itu duduk di sudut ruangan sambil mengasah sebuah golok besar di tangannya dengan wajah yang mengatakan kalau dia tidak menyukai Arian berada di sana. Benar, sekarang Arian berada di dalam rumah yang mungkin adalah milik pria paruh baya itu. Bersama ... seorang pria yang terlihat jauh lebih muda namun Arian merasa kalau mereka tidak seumuran. Pria itu terlihat lebih tinggi dari Arian, dengan rambut hitam lurus dikuncir asal, bahkan sebagian rambut depannya terlihat menutupi dahi seperti mengganggu penglihatan tapi rasanya tidak dengan yang pria itu rasakan. Meski wajahnya hampir tertutup helaian rambut, tapi pria itu bisa dengan cekatan melakukan apa yang harus dia lakukan. Bahkan Arian bisa melihat bagaimana jemarinya yang lentik memungut pecahan tembikar yang bertebaran di lantai. Kulit pria itu sangat putih, mulus, berbeda dengannya yang nyaris gelap karena terbakar matahari. Wajah pria itu pun terlihat sangat bersih, persis wajah para bangsawan yang sering dia lihat di kota, hidungnya mancung dengan bibir terkatup namun raut wajahnya tidak seperti pria paruh baya di sana yang sejak dia menyeret Arian, hanya rasa benci yang orang itu perlihatkan. "Kenapa kau bisa berada di dalam hutan itu sendirian?" Tanyanya. Suara itu terdengar sangat lembut di telinga Arian namun tidak mengubah apapun kalau orang itulah yang sudah memukul tengkuknya tadi sampai dia pingsan. "Bukan urusanmu!" Bentak Arian. "Kau tahu hutan itu berbahaya, anak muda! Lagipula siapa yang memberimu izin untuk menebang pohon di area itu, huh?" "Gunter, cukup." Ujar pria itu pada pria paruh baya yang dia panggil Gunter tersebut. Mendengar perintah pria itu, Gunter yang awalnya seperti ingin menebas leher Arian dengan golok yang sedang dia asah kini terlihat lebih tenang. "Namanya Gunter, dia pamanku. Aku sendiri, Neil dan pertanyaanku sama dengan yang ditanyakan Gunter padamu, sedang apa kau di dalam hutan itu?" Neil mulai berdiri setelah selesai memunguti remah tembikar di lantai tanah di bawah mereka dan mulai menatap Arian penuh tanya. s**l, kenapa pria itu terlihat sangat seksi di mata Arian? Wajah tampannya, tubuhnya yang tinggi berbalut kemeja putih dan celana berbahan kain berwarna hitam, juga rambutnya yang membuat wajah itu terlihat sempurna tapi ... warna mata pria itu sedikit berbeda. Iris Neil berwarna kuning terang dengan pupil gelap yang terlihat lebih kecil dari yang seharusnya, sementara garis matanya terlihat cukup tegas berbingkai bulu mata tebal yang cantik. "Aku ... hanya mencari kayu bakar di sana." Jawab Arian sambil membuang muka setelah cukup lama dia dan Neil bertemu mata. "Kau tidak tahu ada sesuatu mengerikan di dalam sana?" "Apa? Monster bernama Alpha itu?" Tegas Arian sedikit emosi, "dengar, aku tidak percaya makhluk itu benar-benar ada dan kalian, berhenti untuk menghentikan ladang uangku!" Itu kalimat terakhir yang ke luar dari mulut Arian sebelum pemuda itu berusaha pergi dari rumah tersebut. Gunter beranjak dari posisinya, dia berniat mengejar Arian namun sekali lagi dihalangi Neil. Setelah ke luar dari rumah itu, Arian harus mencari jalan pulang sendiri. Sungguh, dia tidak tahu berada di mana dia sekarang setelah diseret cukup jauh dari tempatnya menebang pohon tadi oleh Gunter. Hanya saja ... rasanya ada sesuatu yang mengganjal Arian untuk kejadian ini. Tangan Arian menyentuh knob pintu, membukanya cepat tapi terhenti saat dia melihat kabut yang sangat tebal di luar sana. Sepasang alis pemuda ini tertaut melihat bagaimana tebalnya kabut yang dia ingat kalau tadi sebelum dia pingsan , kabut itu terlihat sudah mulai menghilang. Tapi sekarang, bahkan dia tidak bisa melihat apa yang ada di depannya dalam jarak satu meter saja. Semuanya gelap dan ... dingin. "Dengan kabut setebal itu, kau yakin bisa menemukan  jalan pulang?" Tanya Neil sambil bergerak mendekati Arian. "I—ini...?" "Kalau kau yakin bisa kembali ke desamu, aku tidak akan melarang tapi jika tidak ... aku dan Gunter tidak keberatan kalau kau menginap semalam di sini." "Eh?" Apa itu tadi? Semalam? Sudah berapa lama dia tidur dan melupakan kalau sampai dia tidak pulang sekarang maka Rodin akan membuat kekacauan dengan meminta bantuan orang-orang desa yang tentu saja hal itu akan membuat ibunya kacau, dan jika itu sampai terjadi Arian tidak yakin ibunya masih akan baik-baik saja sampai dia kembali besok pagi. "Tidak ak—" "Biarkan saja dia pergi dan dimakan serigala s****n itu." Ujar Gunter sambil menaruh golok yang sejak tadi dia asah. Melihat Gunter berjalan menuju ke tempat di mana dia menggantung persenjataannya, Arian hanya meneguk ludah. Bagaimana tidak, di dinding kayu itu pemuda itu bisa dengan jelas melihat beberapa jenis alat untuk berburu, lengkap dengan hook berantai, jebakan babi, dan beberapa jenis s*****a api yang memang baru kali itu Arian lihat. "Abaikan dia," Neil mengalihkan perhatian Arian. Pria dengan sepasang mata keemasan itu menatap sendu ke arahnya, "tengkukmu pasti sangat sakit? Mari kuobati." Ajak Neil sambil meminta Arian mengikutinya. Pria bernama Neil itu memang jauh lebih ramah daripada Gunter si pemburu itu. Meski dia juga orang yang sudah memukulnya tapi Neil sama sekali tidak membuat Arian takut seperti dia takut pada Gunter. Perlahan, setelah Neil menutup pintu rumah itu lalu mengganjalnya dengan sebuah papan kayu tebal di tengah pintu tersebut, Arian mengikutinya menuju ke tempat di mana bangun tadi. Di bangku panjang itu, Arian bisa melihat ada sebaskom air dan kain yang terlihat basah di pinggirnya. Mungkin, saat dia pingsan tadi, Neil yang sudah mengompresnya sampai dia bangun? pikir Arian. Arian melirik ke arah Neil, melihat bagaimana sekarang pria itu terlihat sedang meramu beberapa jenis tumbuhan, menumbuknya dan setelah selesai dia membawa mangkuk berisi tumbuhan yang dia tumbuk. "Duduklah, akan kuobati memarmu." Tanpa memprotes, Arian duduk seperti yang diinginkan Neil, membuka beberapa kancing atasnya dan membiarkan Neil mengoleskan ramuan obat itu di tengkuknya. Tanpa ada percakapan, Arian bisa merasakan  tangan  Neil menyentuh kulitnya bersama rasa sejuk yang dia dapatkan dari tumbuhan-tumbuhan tadi. Sungguh, ini pertama kali dia bersama orang asing dan membiarkan  orang itu berbuat semaunya namun dia tidak memprotes apapun, bahkan Rodin pun tidak pernah melakukan hal seperti ini pada Arian sebelumnya. "Sudah selesai, silakan pakai lagi bajumu." Perintah Neil sebelum pria itu kembali berdiri dan menaruh mangkuk berisi ramuan tadi ke tempat di mana dia mengambilnya. Arian baru sadar kalau rumah itu tidak memiliki pencahayaan yang bagus. Lampu minyak yang mereka miliki terbatas, Arian hanya menemukan dua lampu minyak yang ditaruh tepat di tengah-tengah ruangan dan lainnya di dekat penyimpanan s*****a milik Gunter, sementara perapian tidak menyala seperti seharusnya. "Kalian ... hanya berdua di rumah ini?" Arian memberanikan diri bertanya. "Hm." Neil menjawab singkat. Baru saja mulut Arian terbuka untuk menanyakan hal lain, pemuda ini melihat bagaimana wajah Neil berubah kaku, kegiatan yang sejak tadi dia lakukan Kun berhenti, bahkan Arian bisa mendengar Gunter mengambil salah satu mainannya lalu bergerak menuju jendela yang sejak tadi tertutup saat di keheningan terdengar suara lolongan serigala dari dalam hutan. Suara itu..., Arian ingat suara itu, itu adalah suara monster yang dia temui kemarin malam. Monster bertubuh manusia dengan wajah seperti makhluk buas, kukunya yang tebal dan taringnya yang tajam juga sepasang mata yang siap menusuk siapapun yang dia lihat, dan itu tidak bisa Arian lupakan begitu saja! Arian yakin kalau itu memang suara monster itu. "Masuk ke ruang bawah." Bisik Gunter seolah dia tidak ingin apapun di luar sana mendengar pembicaraan mereka. Neil mendekati Arian, menarik tangan pemuda itu mengikutinya menuju ke sudut rumah di mana ada sebuah pintu bawah tanah yang tersembunyi apik di antara kayu lantai. Di balik pintu itu ada tangga menuju ke lantai bawah, ke dalam sana Neil coba membawa Arian mengikuti perintah Gunter. Sementara pria paruh baya itu, masih berdiri sambil memperhatikan ke luar jendela dari celah yang ada. _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN