Meyra menggeram tertahan saat ponselnya tidak bisa di hidupkan, bagaimana bisa dirinya lupa untuk mencharger ponselnya malam tadi.
Wajahnya mulai terlihat tegang, pasalnya ia belum mengabari Alfread sama sekali.
Dan ia pun memutuskan langsung mendatangi kantor di mana Alfread bekerja.
"Ya ampun, taksinya lama banget anjir!" kesalnya.
Beberapa saat kemudian, taksi yang Meyra pesan pun datang. Tanpa menunggu waktu lama, Meyra langsung saja masuk.
"Pak, ke Oswald Company." ucapnya.
"Baik, Mba."
Taksi pun melaju menuju tempat yang Meyra sebutkan.
Di sepanjang perjalanan, Meyra terus berdoa dan berharap jika Al dalam keadaan mood yang baik, ia tidak suka melihat Al marah hanya karena hal sepele saja.
Untung saja jalanan lumayan lenggang, tidak ada kemacetan. Itu membuat mereka sampai lumayan cepat.
Sesampainya mereka, Meyra langsung membayar argo taksi tersebut dan berlari memasuki gerbang kantor.
"Bu, Pak Alfread menanyakan Ibu sejak satu jam yang lalu." ucap salah seorang sekuriti yang berjaga tepat di depan pintu masuk utama.
"Baik, terima kasih informasinya." sahut Ara yang kemudian berjalan masuk ke dalam kantor.
Ia berjalan menuju receptionis, "Alfread ada, kan?"
"Ada, Bu. Dari tadi Bapak menanyakan apakah Ibu sudah datang atau belum. Bahkan ada beberapa karyawayan yang terkena kekesalann Pak Alfread, Bu."
Meyra menggigit bibir bawahnya cemas. Ia merasa sangat bersalah.
"Makasih yah, ya udah saya mau nemuin dia dulu." Mey pun berlalu menuju lift untuk mencapai ruangan Alfread yang berada di lantai tiga. Meyra yang memintanya untuk turun dari lantai 8 ke lantai 3, Meyra takut terjadi sesuatu.
"Ya tuhan, kenapa aku harus punya suami semenyebalkan ini. Sudahlah, semoga pernikahanku ini memang sekali seumur hidup," gumamnya dalam hati seraya masuk ke dalam lift.
Sesampainya ia, Meyra langsung saja menghampiri sebuah pintu yang terdapat di sudut ruangan.
Langkahnya terhenti dan mengernyit heran.
"Ada tamu kali yah, kok pintunya kebuk--"
"Saya gaji kamu buat kerja, bukan buat gambar-gambar gak jelas kayak gini!!"
"Ma--maaf Pak..."
"Pergi dan ulangi desainnya. Seharian ini semua orang gak ada yang bener!" Ujar Al dengan banyak sekali penekanan dan nada kesal.
Meyra terperanjat saat karyawan tersebut keluar dari dalam ruangan.
"Sore Bu!" Sapa karyawan tersebut dengan sopan.
Meyra tersenyum ramah dan dengan ragu melangkah masuk ke dalam ruangan.
"Al..." Panggilnya seraya menutup pintu kembali.
Ia berjalan menghampiri Al yang terlihat tengah menanda tangani sebuah berkas di meja kebanggaannya.
"Maaf aku baru dateng, tadi ada kegiatan yang mendadak. Aku juga harus minjem buku, yang minjem buku banyak, jadi haru ant--"
"Ada aku nanya?" Ucap Al. Meyra menggigit bibir bawahnya bingung.
"Ya, ya kan aku harus jelasin..."
Al berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah rak buku.
"Dari mana aja?" Tanya Al seraya meraih salah satu buku dan kembali ke mejanya.
Meyra meraih lengan Al yang hendak melewatinya.
Al melempar buku tersebut ke atas kursi dan menatap Meyra dengan alis terangkat sebelas.
"Dari kampus lah, emang dari mana lagi sih aku." Jawab Meyra.
"Sibuk banget yah sampe gak bisa dihubungin, bahkan kirim pesan pun gak kamu lakuin."
Meyra memeluk Al. "Handphone aku mati, maaf... Aku lupa ngecharger, gak bawa power bank juga..."
Al melepaskan pelukan Meyra.
"Aku khawatir, kamu tahu itu kan? Kamu tahu kalau aku itu mudah khawatir."
"Kan--"
"Seneng bikin aku khawatir? Kamu tau gak sih rasanya khawatir sama seseorang itu kayak gimana?"
"Maaf..."
"Kamu pernah gak sih ngerasa khawatir sama aku? Jangan aku lah, aku orang baru di hidup kamu. Sama Mamah kamu atau Papah kamu, pernah?"
Meyra menatap Al tak percaya.
"Al maaf, aku udah ada di sini kan? Dan aku gak pa-pa. Jangan berlebihan kayak gini dong,"
Al mengernyitkan dahinya. "Wait, what?"
"Apa? Ini hal sepele loh, masa iya kita berantem cuma karena ini. Hubungan kita gak sekekanak-kanakan ini, Al. Kita udah nikah, loh."
Al terdiam menatap Meyra tak percaya. "Aku, aku cuma khawatir. Harusnya kamu paham itu."
"Aku paham, tapi--"
"Enggak, kamu gak paham. Kamu tau apa arti kamu di hidup aku? Aku-- andai aku punya arti yang sama di hidup kamu, kamu pasti akan ngerasain hal yang sama. Kamu bakalan ngerti rasa khawatir aku."
Meyra benar-benar tak habis pikir. Bisa-bisanya Al mengatakan hal seperti itu. Bisa sekali Al membuat masalah kecil menjadi serumit ini.
"Secara gak langsung kamu udah, kamu udah mempertanyakan rasa sayang aku sama kamu... Aku--" Meyra menghentikan kalimatnya, ia tidak ingin menangis secepat ini.
"KARENA KAMU SELALU NGANGGAP KEKHAWATIRAN AKU--"
"HAL KECIL? AL-- Al ya ampun... Kita udah dewasa, kita bahkan udah menikah, aku cuma mau kita gak berantem dengan hal seperti ini..."
Al mendudukkan tubuhnya di sofa, kemudian di susul oleh Meyra yang duduk di sebelah kirinya.
Al menutup wajahnya. "Aku--aku gak bisa punya pikiran kayak kamu, aku--hiksss..."
Meyra tercekat mendengar sebuah isakan masuk kedalam indera pendengarannya.
"Aku minta maaf..." Ucap Meyra seraya membawa Al ke dalam pelukannya.
"Kalau aku bisa, aku udah nyusulin kamu, jemput kamu di kampus... Tapi aku ada kerjaan..." Ucap Al yang membuat Meyra mengeratkan pelukannya.
"Aku, aku minta maaf... Maafin aku, udah dong..." Ucap Meyra.
Al melepaskan diri dari pelukan Meyra. "Jangan gitu lagi... Kabarin aku, minimal sekali Mey... Aku di sini kerja, kalau aku kepikiran kamu, kerjaan aku bisa gak beres..."
Meyra mengusap wajah Al dan sisa air mata suaminya itu. "Jangan nangis, aku gak suka."
"Dan, kalau kamu kesel sama aku atau hal yang lain, please, jangan kamu lampiasin ke karyawan kamu, okay? Kasian..."
Al menyipitkan matanya. "Kata siapa aku suka kayak gitu?"
"Ada deh, karyawan di sini ada kali yang akrab sama aku."
"Yang penting cowok."
Meyra kembali memasang wajah datar. "I'm so done. Aku cuma bisa berharap kalau kamu gak cemburuan gak jelas."
"Aku gak bisa punya sikap bodo amat kalau tentang kamu, sekecil apapun itu." Ucap Al seraya membawa Meyra ke dalam pelukannya.
Meyra membalas pelukan itu. "Al, aku... Aku mau ngelakuin itu,"
"Ngelakuin apa? Jangan dulu liburan ke tempat yang jauh, kerjaan yang ini bener-bener harus aku pantau, tadi aja banyak yang gak sesuai..."
Meyra mencubit perut Al.
"Awsh, apaan sih nyubit-nyubit..."
"Bukan liburan,"
"Ya udah mau apa?" Tanya Al seraya mengecup puncak kepala Meyra.
"Kita kan udah nikah, aku rasa ya aku harus ngejalanin kewajiban aku..."
Al mengernyit heran, ia paham tapi takut salah paham. "Maksudnya?"
"Ish, masa gak ngerti."
Al mengeratkan pelukannya. "Aku gak maksa loh,"
"Ya aku cuma ngasih tahu, kalau pengen ya bilang aja..." Ucap Meyra gugup, ia merasa malu membicarakan hal itu.
"Aku seneng dengernya, makasih yah... Siap-siap aja buat nanti malam,"
Meyra terkekeh pelan. "Kok jadi takut yah,"
Al kembali mengecup puncak kepala Meyra. "Lucu banget sih," ucap Al.
"Aku pesenin makan dulu yah, kalau udah makan, aku anterin kamu pulang, okay?"
"Nganterin doang?"
"Iya, soalnya masih ada kerjaan. Kayaknya gak sabaran banget kamu buat mantap-mantap,"
"Ah apaan sih, enggak..." Sahut Meyra.
Dan mereka pun kembali berbincang dengan Al yang terlihat mengecek pekerjaan bawahannya. Sampai akhirnya makanan pesanan mereka pun datang.