1 : The Strongest Warrior

3150 Kata
Sebuah rumah berbentuk setengah lingkaran disertai rumput-rumput hijau yang menjalar disemua sisinya terlihat begitu tampak segar ketika mata memandangnya, orang-orang lebih mengenalnya sebagai rumah dome. Didalamnya mampu memuat empat orang manusia yang terdiri atas satu keluarga, mereka adalah keluarga Adley. Menilik lebih dalam lagi, tepat disebuah kamar terdapat seorang gadis berambut sebahu yang sedang duduk berdampingan dengan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik meskipun usianya sudah tak muda lagi. "Bagaimana ini, Bu? Jika aku memilih Machitis, maka kita akan jarang bertemu." Tanya anak itu dengan suara parau, ekspresi wajahnya nampak begitu nanar. Sang ibu berdiri dari duduknya untuk menghampiri putri sulungnya, perlahan-lahan tangannya mengusap kepala gadis itu dengan penuh kelembutan. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kau terlahir sebagai Machitis murni. Jadi kau harus melanjutkan bakat dan kemampuanmu itu. Ibu bangga padamu, jangan mengkhawatirkan kami." Wanita bernama Sivana Adley itu terus menggumamkan kalimat-kalimat penenang bagi putrinya. Tampak matanya berkaca-kaca, tapi sebisa mungkin ia menahannya agar tak jatuh berderai. Bricana Adley, keluarganya sering memanggilnya sebagai Brice. Ia adalah gadis manis yang memiliki keinginan masuk ke dalam akademi Machitis, yakni klan yang memuat sekumpulan orang dengan kemampuan bertarung, pemberani, serta pejuang tangguh yang tak mengenal rasa takut. Namun, disisi lain ia juga harus memikirkan bagaimana nasib orangtuanya jika ia masuk ke akademi Machitis. Machitis dikenal sebagai klan yang paling kuat di antara klan-klan lain yang ada di bumi, peraturan untuk masuk ke akademi itu sangat ketat dan siapapun yang sudah masuk ke dalam sana, maka ia tidak akan bisa mundur. Pelatihan Machitis sangat tegas dan kasar, bagi siapapun yang gagal dalam menjalani ujian, maka pilihannya hanya ada dua; mati atau mengasingkan diri ditempat yang jauh. Sebenarnya, kemampuan seseorang sudah ditakdirkan dari sejak lahir, kemampuan-kemampuan mereka akan menonjol seiring dengan berjalannya waktu. Menjadi seorang Machitis akan meningkatkan derajat hidup seseorang, untuk itulah banyak orang ingin bergabung menjadi seorang Machitis dan mendaftarkan diri diakademinya. Orang-orang yang bukan Machitis sejak lahir akan memaksakan diri untuk menjadi bagian dari mereka, itu sebabnya banyak orang yang non Machitis asli menjadi hancur karena tidak kuat dengan pelatihan yang diberikan. Saat ini dunia dibagi menjadi beberapa klan, para manusia juga memiliki kemampuan masing-masing yang berguna bagi hidup mereka. Timios, merupakan perkumpulan golongan orang-orang yang jujur, bahkan jika mereka terdesak, mereka akan berkata dengan jujur dan tak bisa berbohong sedikitpun. Exypnos, merupakan golongan orang-orang cerdas dengan kemampuan otak yang sangat mumpuni. Mereka membuat teknologi yang canggih demi menjaga kestabilan bumi. Oudeteros, merupakan golongan lemah lembut dan baik hati yang lebih menyukai hidup berbaur dengan alam, mereka menyukai kehidupan di hutan yang jauh dari hiruk pikuk klan lain. Eleftheros, merupakan golongan yang bebas. Mereka tidak terikat pada klan manapun. Teleios, merupakan klan dengan golongan paling sempurna. Mereka menguasai kemampuan-kemampuan dari lima klan yang lainnya, untuk itulah keberadaannya diburu agar tidak mengacaukan keseimbangan bumi. Karena bagi mereka, seharusnya setiap klan hanya boleh memiliki maksimal dua kemampuan yang condong, tidak lebih dari itu. "Meskipun aku memiliki kemampuan dan darah Machitis yang mengalir, tapi aku jarang mengasahnya. Apalagi kita sudah terbiasa hidup seperti Oudeteros yang lemah lembut." Bricana berujar dengan nada pemisis yang amat kental. Orangtua Bricana, Andreas dan Sivana merupakan manusia yang memiliki dua kemampuan sekaligus. Mereka tergolong Oudeteros dan juga Machitis, tapi karena keduanya lebih menyukai hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuk kerasnya dunia, mereka pun memutuskan untuk lebih condong pada Oudeteros. "Brice, jangan patah semangat. Kau memang terlahir dengan kemampuan Machitis, jadi meskipun jarang melatihnya, tapi kau bisa mencobanya mulai dari sekarang. Kemampuan tetaplah kemampuan, Machitis adalah jati dirimu yang lebih condong." Sivana masih terus memberikan semangat untuk putrinya. Bricana mengangguk yakin, ia harus optimis untuk menjadi Machitis sejati. Darahnya kental akan pejuang sejati, ia tidak boleh pesimis. Kata-kata dari Sivana membuat semangatnya bangkit, benar apa yang dikatakan oleh ibunya. "Baik, Bu. Brice akan membulatkan tekat untuk bersungguh-sungguh mengikuti pemilihan." Bricana tersenyum dengan lembut. "Ayo, kita pergi sekarang. Pemilihan klan akan dilaksanakan sebentar lagi." Sebelum bergabung menjadi anggota klan, mereka akan dikumpulkan disebuah aula, di sana mereka akan menentukan klan apa yang mereka inginkan. Bricana dan Sivana keluar dari kamar, di luar sana mereka bersitatap dengan Andreas dan juga Austin. "Bagamana, Brice, kau sudah menentukan klan mana?" Austin bertanya pada sang kakak. "Machitis!" Ujar Bricana dengan sungguh-sungguh. Austin hanya mengangguk pelan mendengar jawaban kakaknya yang berbeda dengan dirinya. Meskipun Bricana adalah seorang wanita, tapi ketangguhannya melebihi Austin, sang adik. Sivana berjalan mendekati Andreas sambil tersenyum menenangkan, ia tahu bahwa suaminya pasti sedang cemas memikirkan keselamatan anaknya selama berada di akademi Machitis yang terkenal akan kekejamannya dalam mengasah kemampuan para anggotanya. "Bricana adalah anak yang kuat, percayalah padanya." Sivana menepuk-nepuk pundak suaminya, alhasil Andreas hanya mengangguk lemah. Keluarga Adley pun segera menghadiri pertemuan yang diselenggarakan para petinggi klan, mereka duduk dibarisan paling bawah agar dekat dengan podium. Di sana banyak orang-orang yang juga sedang ikut serta dalam pemilihan klan. “Para hadirin sekalian, terimakasih atas kehadiran kalian di dalam pertemuan ini, di sini saya sebagai petinggi klan Exypnos akan menjelaskan sedikit pengertian dari pemilihan ini. Setiap remaja wajib memilih satu klan dan bergabung bersama akademinya, masing-masing klan sudah memiliki peraturan dan syarat masing-masing. Tentu saja kalian pasti sudah membacanya dengan penuh kehati-hatian, jangan sampai kalian salah memilih klan. Meskipun sebenarnya setiap orang pasti sudah memiliki bakat dan kemampuan yang paling condong sejak dari lahir, tetapi kalian tetap diperbolehkan untuk memilih klan yang diinginkan. Tidak ada paksaan sama sekali.” Adriana menjelaskan dengan detail. Para remaja yang juga didampingi orangtua mereka pun saling berbisik untuk lebih meyakinkan diri, di klan mana mereka akan tinggal. Bricana melirik pada Sivana, ibunya itu hanya mengangguk untuk menenangkan. Di podium sana Adriana berjalan menepi, beberapa orang menyediakan wadah untuk memilih klan. Diwadah itu, para remaja harus meneteskan darahnya sebagai sumpah setia dan keterikatan dengan klan yang dipilihnya. “Baiklah, pemilihan akan dilangsungkan beberapa saat lagi, kami akan memanggil nama kalian satu per satu untuk datang ke sini.” Lanjut Adriana sambal tersenyum memperlihatkan keramahannya itu. Bricana menggenggam erat tangannya satu sama lain, ia menggigit bibir bawahnya. Melirik ke arah Austin, adiknya itu justru terlihat tenang-tenang saja. Entahlah, tiba-tiba Bricana merasakan hal yang buruk akan menimpanya sebentar lagi, ia hanya bisa berharap bahwa keputusannya menjadi Machitis adalah benar. Adriana memegang sebuah kertas yang berisi daftar nama remaja yang akan menjadi pemilih kali ini, di wadah itu ada empat elemen yang tersedia, setiap pemilih harus meneteskan darah disalah satu wadah itu. Machitis, Exypnos, Timios dan juga Oudeteros. “Alesandra Prix.” Adriana mengumumkan nama pertama yang harus menjadi pemilih. Gadis bernama Alesandra pun bangkit dari duduknya, ia berjalan mendekat ke arah podium. “Kau sudah siap?” Tanya Adriana sambal menaikkan salah satu alisnya. “Ya!” Jawab Alesandra. Alesandra meraih jarum yang disediakan, ia mengangkat jari telunjuk sebelah kiri dan menusuknya. Saat darah itu keluar, Alesandra segera mengarahkan darahnya pada wadah bertuliskan Machitis. Seketika itu darah tersebut menghilang menjadi debu karena tercampur dengan zat yang telah dipersiapkan Adriana.Adriana tersenyum melihat pilihan Alesandra. “Machitis! Mari kita beri tepuk tangan untuk anggota pertama ini.” Ujar Adriana, sontak saja mengundang tepuk tangan yang riuh. Setelah Alesandra memilih, ia pun duduk di barisan Machitis. “Austin Adley.” Adriana memanggil nama Austin. Andreas dan Sivana memberikan seruan semangat bagi anaknya, Austin berdiri dari duduknya sambal memperbaiki kemejanya agar terlihat lebih rapi. Ia berjalan dengan tubuh tegap dan pandangan penuh kebanggaan, ini adalah momen yang paling ia tunggu-tunggu, Austin memang berambisi untuk menjadi salah satu anggota klan Exypnos untuk mengasah kemampuan otak dan kecerdasannya. Sama seperti pemilih sebelumnya, Austin mengambil jarum dan ia goreskan pada jari telunjuknya. Dengan kebanggaan yang membuncah ia langsung mengarahkannya pada wadah bertuliskan Exypnos, dengan demikian ia resmi bergabung dengan akademi klan tersebut. “Austin Adley memilih menjadi bagian Exypnos.” Adriana memberikan tepuk tangan kecil. Austin memutar tubuhnya untuk menatap para hadirin sekalian, matanya tertuju pada keluarganya yang sedang duduk sambil memberikan tepuk tangan yang meriah, disusul oleh hadirin-hadirin lain. Raut wajah Andreas dan Sivana sangat bahagia, orangtua itu hanya bisa mendukung keputusan anak-anaknya demi kebahagiaan mereka. Austin dipersilahkan untuk duduk dibarisan khusus Exypnos, ia mendudukkan diri dengan senyuman yang tak henti-hentinya luntur. Sebentar lagi ia memasuki akademi Exypnos, Austin akan bersungguh-sungguh menimba ilmu di sana. Berbeda dengan seorang gadis yang duduk tegang ditempatnya, matanya menelusuri ruangan tersebut, jantungnya semakin memompa dengan cepat. “Bricana Adley.” Seru sebuah suara. Bahu Bricana melemas, ia menggigit bibir bawahnya dengan keras. Sivana yang mengetahui kegugupan anak sulungnya pun mengelus pundak putrinya dengan sayang, ia meyakinkan Bricana untuk terus optimis. “Kau bisa, anakku.” Sivana berujar dengan penuh kelembutan. Bricana mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, ia memejamkan mata sejenak lalu berdiri dari duduknya. Sivana tersenyum senang, Bricana berjalan menaiki tangga podium, semua mata memandang ke arah dirinya.Ia hanya perlu meyakinkan diri untuk memilih Machitis sebagai tempat untuk mengasah kemampuannya, hanya itu. Kau bisa Brice, apa yang kau takutkan? Adriana tersenyum ramah pada Bricana, tapi justru membuat gadis itu merasa aneh. Ia mengabaikan senyuman yang diberikan Adriana, ia hanya fokus pada satu tujuannya, mengambil jarum itu dan meneteskan darahnya pada wadah bertuliskan Machitis. Bricana meraih jarum itu dengan tangan bergetar, ia melirik ke semua wadah dengan tulisan masing-masing. Timios, Machitis, Exypnos, Oudeteros. Kemampuan Bricana yang menonjol sejak dari kecil adalah Machitis, hal itu bisa dideteksi dengan kecepatan tumbuh kembang anak, saat usia Bricana kurang dari satu tahun, ia sudah bisa berjalan dengan lancar. Bahkan tepat saat usianya mencapai satu tahun, anak itu sudah bisa berbicara dengan jelas.Terdengar tidak masuk akal memang, tapi itulah kemampuan alamiah yang dimiliki seorang Machitis. Bricana juga tumbuh dengan sehat, ia jarang jatuh sakit seperti demam, flu, muntaber dan penyakit-penyakit lain yang sering diderita anak-anak seusianya. Anak-anak yang lahir bisa saja memiliki kemampuan yang berbeda dari orangtuanya, itu hal yang wajar. Namun, dalam kasus Bricana ini ia memiliki orangtua yang mempunyai kemampuan dari dua klan sekaligus, Machitis dan Oudeteros. Sivana yang lebih dominan lemah lembut pun memutuskan untuk condong pada Oudeteros, ia tidak suka hidup dalam pelatihan yang keras, sama halnya dengan Andreas. “Nona Adley?” Adriana memanggil nama Bricana saat melihat gadis itu malah melamun dengan pikirannya sendiri. Bricana tersentak kaget, ia pun menoleh dan mengangguk meminta maaf. Ia melanjutkan kegiatannya, jarinya yang sudah mengeluarkan cairan merah itu diarahkan pada wadah bertuliskan Machitis. Bricana memandang wadah itu dengan tatapan penuh keyakinan, ia meneteskan darahnya ke sana. Ia bisa melihat bahwa darahnya sudah hilang bercampur dengan zat didalamnya, gadis itu menghela napas. “Machitis.” Suara tepuk tangan kembali terdengar. Bricana berjalan menuju pada barisan yang telah disediakan, di sana Alesandra tersenyum ramah padanya. “Hai, aku Alesandra Prix.” Alesandra adalah tipe gadis yang ceria jika dilihat. Bricana tersenyum kaku, tapi ia tetap harus membalas sapaan itu. “Bricana Adley!” Bricana mendesah pelan, ia meletakkan punggungnya pada kepala bangku. Semoga saja pilihannya tidak salah, ia harus menekuni akademi ini. Pemilihan terus berlanjut sampai pada pemilih terakhir, Bricana memejamkan matanya selama pemilihan itu berlangsung, otaknya terasa berat memikirkan hal ini. Machitis adalah klan yang paling tinggi untuk saat ini, pelatihannya juga tidak main-main. Machitis memiliki peraturan bahwa para anggotanya tidak diperkenankan menemui keluarga apapun yang terjadi, hanya menunggu kemurahan hati petinggi-petingginya lah baru mereka akan diizinkan pergi bertemu keluarga. Ini adalah hal yang membuat Bricana tertekan sejak kemarin. Disatu sisi ia ingin mengasah kemampuan yang condong sejak dari ia lahir, tapi disisi lain ia tidak ingin jauh dari orangtuanya. Sedangkan klan-klan lain masih memiliki toleransi pada anggotanya, mereka boleh bertemu dengan keluarga kapanpun asal izin pada petinggi dari jauh-jauh hari. Setelah acara pemilihan selesai, mereka akan diberikan waktu sepuluh menit untuk mengatakan salam perpisahan pada keluarga, Bricana pun memanfaatkan kesempatan ini untuk mendekati Sivana dan Andreas, setibanya di sana ia memeluk Sivana dengan kuat. “Bu, kita akan jarang bertemu.” Bricana bergumam dipelukan sang ibu. Sivana tak kuasa menahan air mata, ia tidak ingin terlihat lemah di depan sang anak, ia harus merelakan Bricana untuk mengasah kemampuannya. “Tidak apa-apa. Brice. Ibu akan menunggumu sampai kau lulus dan kita akan kembali bersama.” Sivana menepuk-nepuk pelan pundak sang anak, ia harus kuat hati untuk berpisah jauh dari putri semata wayangnya. Bricana terdiam untuk beberapa saat, ada hal yang ia sembunyikan dari semua orang, termasuk pada orangtuanya. Selama akhir-akhir ini ia bisa merasakan ada yang berbeda pada tubuhnya, ketengkasana, kecepatan dan kegesitan dalam dirinya sangat memuncak dengan signifikan. Dari yang pernah ia baca dari buku-buku mengenai klan, itu adalah ciri-ciri seseorang yang memiliki kemampuan paling sempurna. Bricana takut jika hal ini berkaitan dengan Teleios, jika benar itu terjadi, maka ia akan diburu oleh klan-klan lain. Sivana melepas tautan pelukan keduanya, ia tersenyum hangat pada putrinya. "Jangan melamun, Brice. Kau akan kembali dari akademi, kita akan berkumpul lagi." Ujar Sivana lagi. Bricana tidak yakin apakah ia bisa kembali berkumpul dengan mereka? Jika sampai hal mengenai kemampuannya bocor, maka tamatlah riwayatnya. Disaat-saat seperti ini Bricana takut, takut tak bisa melihat keluarganya lagi. Selama ini Bricana tidak pernah takut mati, justru ia sering menantang bahaya dengan berlatih latihan yang ekstrem, seperti; memanjat tebing, melakukan aksi paralayang dan lainnya. Baru kali ini ia takut berpisah dengan keluarganya, ibu dan ayahnya. Apalagi Klan Machitis sangat ketat, jika sampai Bricana tak dapat menjaga rahasianya, maka ia benar-benar mati ditangan mereka. "Brice?" Sivana memanggil putrinya yang masih asyik melamun dengan pikirannya. Andreas menatap Sivana sambil mengerutkan kening, Sivana menggelengkan kepalanya pelan. "Ah ya, ada apa, Bu?" Tanya gadis itu setelah tersentak. Seharusnya ia tak boleh memperlihatkan raut putus asa di depan orangtuanya, bisa-bisa mereka ikut khawatir memikirkannya. "Kau sepertinya tertekan, Brice. Apa lebih baik kau pindah ke Exypnos saja, setidaknya akademinya tak semenyeramkan milik Machitis." Sahut Austin yang melihat kakaknya begitu frustasi, ia bergidik ngeri membayangkan pelatihan-pelatihan yang dilakukan akademi Machitis, begitu berat dan kasar. Austin bukan tipe orang yang suka pekerjaan otot dan tenaga, ia lebih condong pada kerja otak. Austin tidak tahu saja, kakaknya tertekan karena memiliki firasat buruk mengenai keluarganya, bukan karena pelatihan Machitis yang begitu menyeramkan. Bricana menggeleng pelan, ia berusaha mengembangkan senyumnya lebar-lebar. "Aku tidak apa-apa, Ausy. Kau lupa kalau aku terbiasa melakukan pelatihan dan pekerjaan yang berat?" Bricana menaikkan sebelah alisnya. Austin mendengus pelan, ia paling sebal dipanggil seperti itu, Ausy adalah nama panggilannya ketika kecil, dan sekarang ia sudah dewasa. Melihat Austin yang cemberut seperti itu membuat keluarga Adley terkekeh pelan, setidaknya hal ini bisa mencairkan suasana yang sempat menyedihkan tadi. "Kau asah otakmu agar semakin pintar, Exypnos memiliki laboratorium dengan teknologi super canggih." Lanjut Bricana pada adiknya. Raut wajah Austin menjadi terang, ia mengangguk bangga. "Tentu saja, aku akan memanfaatkan teknologi Exypnos untuk mengasah otakku agar semakin cerdas." "Bagus-bagus!" Bricana mengangkat jari jempolnya tinggi. Sivana dan Andreas saling merangkul, mereka senang melihat putra dan putrinya bisa semangat dan sungguh-sungguh dalam mengasah kemampuannya. Exypnos dan Machitis, dua klan yang sama-sama terkenal akan prestasinya. Namun, dalam hal ini Machitis sedikit lebih unggul karena mereka dengan sigap mampu memberantas para penjahat yang berniat mengacaukan kedamaian antar klan. Nama Machitis memang sangat harum, oleh sebab itu klan tersebut sering dielu-elukan. Bricana menggososk-gosokkan tangannya, ia memperhatikan keadaan aula, sekitaranya masih banyak remaja-remaja seperti dirinya yang berpamitan pada orangtuanya. Dari arah depan muncul sosok yang sangat elegan dan berwibawa, pakaiannya sangat rapi dan bersih. Ia berjalan dengan anggun dan sorot matanya penuh dengan keseriusan, ia menapaki tangga penghubung aula. Bricana mengenyitkan dahi, sepertinya wanita itu mengarah kearahnya. Benar saja, dengan ditemani oleh para bodyguard-nya, Adriana berjalan semakin mendekat ke arah keluarga Adley, bibirnya yang merah tersenyum merekah saat Bricana menatapnya. Bricana mengalihkan tatapannya, ia tak ingin membuat hubungan dengan petinggi klan Exypnos itu. Adriana adalah petinggi yang dikenal sangat cerdas, otaknya bekerja sangat mumpuni. Bricana memasukkan nama Adriana ke dalam daftar orang yang harus dijauhi, bisa saja Adriana mencium kemampuannya sebagai Teleios, ini tidak baik bagi hidupnya. Berbeda dengan sang kakak, Austin justru senang melihat kedatangan Adriana. Exypnos mana yang tak mau menjalin lobi dengan petinggi yang memiliki posisi sangat tinggi itu, semua anggota klan Exypnos pasti merasa terhormat saat diajak bicara olehnya. Adriana telah sampai di depan keluarga Adley, ia merendahkan bahunya dan bersikap sangat anggun. "Selamat atas pelatihan anak-anak kalian." Ujarnya dengan nada yang sangat berwibawa. Sivana dan Andreas mengangguk. "Ya, anak-anak kami sudah tumbuh besar, tidak terasa waktu berjalan dengan cepat." Sivana terkekeh pelan. Dulu ia dan Adriana pernah saling mengenal, saat itu keduanya dipertemukan dalam acara seperti ini. Adriana dan Sivana bahkan duduk beriringan saat proses pemilihan elemen, keduanya harus berpisah karena memilih akademi yang berbeda hingga lama sekali tak berjumpa. "Ahh, apakah ini adalah anakmu yang paling sulung?" Adriana mengalihkan pandangannya pada Bricana sambil menunjuknya. "Ya, Bricana adalah anak sulung kami." Jawab Sivana dan Andreas. Adriana mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Kalian beruntung karena bisa membangun keluarga dan memiliki keturunan." Adriana bergumam pelan, tapi masih dapat didengar oleh mereka. Menjadi petinggi klan harus menyetujui syarat-syarat yang telah ditentukan, salah satunya adalah untuk tak boleh menikah dan tak bisa memiliki keturunan. Bricana melirik ke arah Adriana, ia merasa ada suatu hal besar yang ada di balik sifat Adriana. Entah kenapa ia juga seperti peramal yang menduga-duga, apakah ini ada kaitannya dengan ciri-ciri Teleios dalam tubuhnya? Adriana mengusap sudut matanya, ia pun mengulas senyum terpaksa. "Ah, kenapa aku malah cerita yang tidak-tidak." Kini ia menatap ke arah Austin. "Kau yang memilih menjadi bagian dari Exypnos kan?" Austin mengangguk senang, sudah lama ia memimpikan berinteraksi dengan petinggi klan Exypnos. Ugh, bangga sekali dirinya saat ini. "Ya, aku memiliki kemampuan yang condong pada Exypnos. Oleh sebab itu, aku memilihnya agar bisa lebih mengasah kemampuanku." Jawab Austin dengan cepat, suaranya terdengar bangga sekali. "Wah, kau tidak salah memilih klan, Austin! Ku pastikan kau tidak akan menyesal telah bergabung menjadi bagian dari kami, aku akan mengajarkanmu banyak hal. Teknologi, kecanggihan, kecerdasan semuanya ada di laboratorium akademi Exypnos." Adriana berujar. "Aku tidak sabar untuk segera masuk ke akademi Exypnos, bimbing aku agar bisa memanfaat teknologi sebaik mungkin." "Tentu saja, aku akan membantumu. Kalian, para anggota Exypnos adalah tanggung jawabku, jadi jangan sungkan-sungkan jika nantinya membutuhkan bantuan." Adriana tersenyum lembut. "Terimakasih." Balas Austin. Andreas dan Sivana bisa tenang karena melihat interaksi anak bungsunya yang sudah bisa menyesuaikan diri dengan salah satu petinggi klan impiannya. "Kalau begitu, aku permisi dulu karena ada hal yang harus ku selesaikan." Ujar Adriana, ia melirik ke arah Bricana yang sejak dari tadi seperti tak suka akan kehadirannya. "Silahkan, hati-hati di jalan." Ujar Sivana. "Tentu, sampai berjumpa lagi, Sivana." Adriana memutar arah tubuhnya, ia menuruni anak tangga dengan dibantu oleh para bodyguard-nya. Bricana menghela napas, entah kenapa saat Adriana pergi, atmosfir disekelilingnya langsung terasa bebas dan lega. Ada suatu hal dalam diri Adriana yang gelap dan kelam, Bricana ingin mengatakan hal itu pada keluarganya, tapi ia tidak enak pada Austin yang terlihat gembira dan bangga, ia tak mau mengganggu kesenangan adiknya. Bricana harap semoga saja Austin baik-baik saja selama berada di klan itu, yah setidaknya itulah harapan seorang kakak pada adiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN