Bab 11. Diminta Menginap

1284 Kata
Luna menatap Ika penuh harap. Ia sungguh ingin tahu apa yang terjadi pada Dimas. Namun, ia bisa merasakan bahwa atmosfer saat ini tak lagi nyaman. Ika tampak memucat di depan Luna. "Dia senyum lebar banget di foto itu. Dan sekarang, aku liat dia jarang senyum sama orang lain. Kenapa? Aku mau tahu," pancing Luna lagi. Ika mengangguk pelan. Ia lalu menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan tak ada orang lain yang ada di sekitar mereka. "Kita bicara di dapur saja, Nona. Saya buatkan teh untuk Anda." "Oke, yuk!" Luna menyusul langkah Ika dengan bersemangat. Akhirnya ia akan bisa tahu sedikit kisah Dimas. Sembari menunggu Ika membuat teh untuknya, Luna mengintip kulkas. Ia mencari kudapan atau keripik di sana, tetapi barang itu tak ada. Sepertinya Dimas dan keluarganya hanya makan makanan sehat karena di sini hanya ada buah-buahan, sayur dan bahan makanan lain. "Silakan diminum, Nona." "Ya." Luna meraih cangkir kecil itu lalu mulai meneguknya. Ia bahkan tak meminta Ika untuk membawa cangkir dan teko ke meja makan karena ia sudah sangat penasaran. "Sekarang, bisa Bibi cerita aja?" Ika mengangguk patuh. "Sebenarnya tuan tak suka jika ada yang menyinggung masalah kecelakaan itu." "Kecelakaan?" tanya Luna cepat. "Ya. Sebenarnya ... semua orang tak yakin bahwa itu adalah kecelakaan, apalagi tuan Dimas. Kejadian benar-benar tidak agak janggal," tutur Ika. Di sebelahnya Luna mengangguk agar ia terus bicara. "Jadi, 4 tahun yang lalu ketika tuan Dimas dan tuan Aldo sedang berada di kapal pesiar ...." "Tuan Aldo?" tanya Luna tak mengerti. "Pria yang Anda lihat di foto tadi." Ika menerangkan dan Luna paham. "Jadi, tuan Hendra memiliki empat orang orang anak. Anak pertama, tuan Farhan, beliau adalah anak dari istri sah tuan. Dan beliau adalah ayah dari tuan muda Fabian." Luna merasa resah mendengar nama Fabian diucapkan. Tampaknya Farhan dan Fabian adalah orang-orang licik jika mengingat apa yang terjadi semalam. "Dan tuan Aldo dan tuan Dimas lahir dari istri kedua tuan Hendra. Dan wanita yang berfoto dengan mereka tadi adalah nona Renata, beliau adalah putri angkat tuan Hendra." Luna mengangguk. Ia mencoba mencerna bagaimana silsilah keluarga Dimas yang cukup rumit. Namun, ia sendiri juga memiliki keluarga yang rumit, jadi ia tak heran lagi jika keluarga konglomerat juga seperti itu. "Jadi ... apa yang terjadi tadi di kapal?" tanya Luna lagi. "Ya. Kapal pesiar itu meledak, tanpa diketahui apa penyebabnya. Nahkoda yang disalahkan karena kelalaiannya. Tapi yang membuat tuan Dimas terluka adalah tuan Aldo menghilang sejak ledakan itu. Semua orang mengatakan bahwa beliau telah meninggal dunia, tetapi jasadnya tak pernah ditemukan. Dan tuan Dimas, entah bagaimana bisa selamat meskipun memiliki luka di wajahnya," ujar Ika mengakhiri ceritanya. "Ah, kasihan. Apa tuan Aldo benar-benar meninggal dunia?" tanya Luna dengan nada penasaran. "Menurut saya begitu, Nona. Kebakaran akibat ledakan itu sungguh mengerikan, tak banyak yang selamat dan tuan Dimas walaupun mengalami luka yang parah, beliau termasuk beruntung," kata Ika. Rasa getir menjalari hati Luna. Beruntung? Apakah memiliki luka seperti itu bisa dibilang beruntung? Luna tak yakin. Ia menebak, Dimas sudah mengalami hari-hari yang berat selama ini. Ia ingat bagaimana reaksi anak kecil yang menabraknya tempo hari. "Satu hal yang pasti," lanjut Ika ketika mereka sudah terdiam selama beberapa detik. "Tuan Dimas adalah satu-satunya orang yang tak percaya bahwa tuan Aldo telah meninggal dunia. Itu yang membuat beliau marah besar pada hari di mana tuan Aldo dinyatakan meninggal dunia. Mereka lahir dari rahim yang sama, mereka sangat dekat dan tuan Dimas pasti sangat kehilangan." Luna mengangguk sedih. Jika ia jadi Dimas, ia pasti akan merasa seperti itu. Sayangnya, ia tak memiliki saudara dekat yang ia sayangi. Ia hanya memiliki saudari tiri yang menyebalkan. "Kepergian tuan Aldo adalah pukulan telak bagi tuan Dimas. Beliau sangat tertekan dan jarang tersenyum sejak hari itu," kata Ika. Ia tersenyum pada Luna yang terlihat begitu polos di sebelahnya. "Beberapa hari terakhir ... tuan mulai tersenyum lagi. Sejak Anda hadir di rumah ini, Nona." "Apa?" Luna terkesiap dan mengerjap kaget. Ika kembali tersenyum. "Saya senang Anda bertunangan dengan tuan Dimas. Beliau orang baik dan penyayang, tenang aja. Semoga Anda dan tuan selalu berbahagia." Luna mengangguk canggung. Ia tahu Dimas baik meskipun pria itu tampak memiliki sisi kelam di hidupnya. Ia tak yakin apakah benar kehadirannya sudah membuat Dimas berubah. *** Beberapa menit berselang. Dimas baru kembali, tetapi ia tak sendirian. Hendra yang masih penasaran dengan perkembangan hubungan Dimas dan Luna juga datang ke rumah itu. Melihat Luna ada di dapur dan bercakap-cakap dengan beberapa pelayan membuat Hendra merasa senang. Apalagi ketika ia menyadari putranya tengah tersenyum menatap pada Luna. "Kalian berdua baik-baik saja?" tanya Hendra. "Tentu aja," jawab Dimas. "Dia bermalam di sini?" tanya Hendra lagi. Dimas menatap ayahnya dengan perasaan tak keruan. Ia tahu, ayahnya sangat ingin ia menikah, tapi baginya Luna masih terlalu muda. Jadi, ia hanya mengangkat bahu. "Jangan kayak gini, kamu harus ajak Luna menginap lagi," kata Hendra menyarankan. "Papa bisa bawakan gadis lain jika yang itu nggak cocok." "Apa?" Dimas menggeram. Ia sudah cukup menilai Luna. Luna jelas yang terbaik di antara semua gadis yang pernah diberikan oleh ayahnya. "Dia bakal tidur di sini, tenang aja." Hendra menepuk keras putranya. "Bagus. Papa tunggu perkembangan bagus di antara kalian. Akan bagus kalau kamu mau nikah sama dia secepatnya." Dimas membuang napas panjang lalu ia mendekati Luna dan para pelayan. Seperti biasa, Luna melempar senyuman hingga Dimas merasa hatinya bergetar. Gadis ini tampak tersenyum tulus padanya. Dan itu sangat menyenangkan. "Ada papa, kamu bisa sapa papa dulu," kata Dimas pada Luna. "Ya." Luna menelengkan kepalanya untuk melihat Hendra dan ia tersenyum lebih lebar karena calon mertuanya juga tersenyum. "Hai, Om. Kalian baru pulang kerja?" Hendra mengangguk tipis. "Om mau liat kamu sama Dimas, jadi Om nginep ke sini." *** Dimas akhirnya memiliki waktu berdua dengan Luna. Ia menatap gadis yang terlihat baik-baik saja itu, tetapi ia masih khawatir jika ingat Luna yang kesakitan semalam. "Kamu udah sembuh?" tanya Dimas. "Apa masih ada yang kerasa sakit?" "Nggak kok. Kayaknya salep dari Om tadi pagi manjur banget," jawab Luna senang. Dimas bersyukur dalam hati. "Kamu nggak usah takut di sini, Fabian udah dapat pelajaran. Dan dia nggak bakal gangguin kamu lagi. Kalau dia berani sentuh kamu lagi, aku bakal bikin dia nyesel untuk selamanya." "Ya. Makasih, Om. Tapi, aku nggak apa-apa kok. Udah sembuh," jawab Luna dengan nada meyakinkan. Dimas merangkul bahu Luna. Ia tersenyum dan mengusap pelan pundak kecil Luna. "Papa mau kamu nginep di sini. Kamu nggak keberatan?" Luna menatap Dimas dengan gugup. Ia dua kali tidur di kamar Dimas meskipun itu tanpa disengaja. Dan kali ini, ia diminta untuk menginap di sini. "Apa Om juga mau aku tidur di sini?" Dimas tersenyum dan mengangguk. "Aku mau kamu di sini malam ini. Kamu pulang kuliah langsung ke sini, 'kan? Lebih baik kamu mandi dulu, biar kamu lebih nyaman tidurnya." "Ehm, oke." Luna tak berpikir panjang. Ia juga sudah beberapa kali menggunakan kamar mandi Dimas. Jadi, sepertinya ini tak apa-apa, pikirnya dalam hati. Namun, begitu ia masuk ke kamar mandi, ia langsung gugup. Ia akan tidur di sini, ia akan tidur di ranjang Dimas. Dan mengingat tadi pagi Dimas yang bertubuh polos memeluk, mendekap dan menindihnya sembari mencium membuat Luna panas dingin. "Ah, pasti nggak apa-apa. Dia calon suami aku," kata Luna meyakinkan dirinya sendiri. Luna mulai melepaskan pakaian. Ia memasukkan saja pakaian itu ke dalam keranjang baju kotor lalu ia berdiri di bawah shower. Ketika ia asyik mengusap tubuhnya, ia baru sadar ia tak memiliki pakaian ganti. Tak mungkin ia keluar tanpa pakaian. "Duh, apa aku pakai baju aku yang tadi lagi?" Luna celingukan ke tempatnya membuka pakaian, tetapi entah bagaimana bajunya sudah tak ada. Mungkin, diambil pelayan untuk dicuci karena ia juga melihat baju kotor Dimas di sana tadi. Luna semakin gugup, ia tak mau Dimas melihatnya polos seperti ini dan ia butuh pakaian ganti!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN