Agnia

1699 Kata
POV Aji Saputra Setelah percakapan malam itu, aku membiarkan Aya tidur di kamarku. Aku telah mengganti sprei dan selimutnya agar gadis kuntilanak itu dapat tidur dengan nyenyak. Aya masih membutuhkan istirahat yang cukup, agar Air Kembang Tujuh rupa itu bisa bekerja dengan baik dalam tubuhnya. Sementara Aya tidur dikamarku, aku memilih tidur meringkuk di atas sofa merah tempat kami berbincang semalam. Sehelai selimut biru hangat sudah cukup bagiku untuk mengusir dingin yang dihembuskan oleh sang malam. Semua itu bagiku cukup, karena aku tak perlu tidur terlalu lama. Matahari sebentar lagi akan terbit beberapa jam lagi, dan itu artinya aku harus tidur dalam sekejap lalu bersiap ke sekolah. Kupejamkan mataku... Serasa bagaikan berkedip, tiba-tiba sebuah suara ketukan pintu mengagetkanku. Aku segera terbangun, tapi sialnya mataku hampir buta karena berkas cahaya matahari yang masuk tanpa kuundang. Aku berjalan tertatih setengah sadar mendekati pintu, melewati wadah tempat payung yang hanya kosong ketika musim hujan. Dalam hati aku mengira-ngira siapa tamu tak diundang yang datang pagi ini, akan tetapi tak ada seorangpun yang terbersit dalam benakku. Kubuka pintu, mataku terbuka makin lebar, kesadaranku kembali seutuhnya, dan kakiku menjauh mundur beberapa langkah dari makhluk sialan itu. Pagi ini aku benar-benar sial! Sesosok gadis kecil kini sedang berdiri di hadapanku, dengan seringai mengerikannya dan sepasang matanya menyala semerah saga. Rambutnya berwarna hitam kemerahan, dan ia mengenakan kebaya merah berpadu dengan kain jarik cokelat tua. Gadis sialan itu adalah Agnia Efreet! Cucu Kakek Tua Itu! "Selamat pagi... Mas Aji..." Dia mengubah seringainya menjadi senyuman manis, senyuman yang sama seperti saat ia melayani pelanggan kakek tua itu. Akan tetapi senyumannya tak mengurangi kewaspadaanku, kudekatkan tanganku agar bisa menjangkau payung besi yang berada di dekatku. "Ada urusan apa denganku?" Agnia memicingkan matanya, jari telunjuknya bergerak, membuat wadah payung di dekat tanganku bergerak menjauhiku. Jadi gadis itu bisa melakukan telekenesis ya? "Urusan apa? Tentu saja menengok gadis kuntilanak itu." Agnia berjalan melewatiku tanpa rasa takut, ia tak peduli apapun tentang ramah tamah ataupun tata krama. Ia hanya akan melakukan semua hal yang ia inginkan, dan tak akan segan untuk membunuhku bila aku menghalanginya. Setidaknya itulah yang kulihat pada tatapan matanya. Namun entah kenapa, saat ia sampai di ruang tengah. Ia hanya duduk manis di salah satu sofa, sambil menatapku dengan sebal seolah berkata "Cepat panggil gadis itu!" "Ehm... Aya sedang tertidur di kamarku, mungkin ia akan bangun sedikit lama. Aku mencoba membuat alasan, aku tak tahu apa yang Aya sedang lakukan sekarang. Tapi aku benar-benar berharap agar ia kini benar-benar sedang tertidur dengan begitu Agnia bisa segera pergi dari sini. "Hmm... Begitukah? Ah... Tunggu... Aji, dari tadi aku merasa ada yang aneh dengan aura rumahmu... Sampai kemudian kusadari, rumah ini benar-benar sepi... Hmm... Aji... Dimana Orang tuamu?" Aku terdiam salah tingkah untuk beberapa saat. Entah bagaimana, aku merasa gugup. Tak kusangka, pertanyaan itu akan datang dari Agnia, dan bukannya Aya. "Mereka biasanya pergi berminggu-minggu untuk bekerja, dan pulang sebulan sekali pada akhir pekan minggu terakhir." Begitulah orang tuaku, mereka terlalu mempercayakan segalanya padaku. Mereka adalah orang tua idealis yang berpikir bahwa anak SMA sudah seharusnya tidak memerlukan orang tua mereka. "Anggota keluarga yang lain" Aku mulai mencurigai alasan Agnia bertanya tentang latar belakang keluargaku, dalam beberapa kasus keluargaku mungkin dapat menjadi sandra jika aku tak berhati-hati dengan gadis misterius itu. "Adik perempuanku ada di asrama dan dia..." "Heeh... Begitu ya? Pantas saja kau senang sekali menerima tugas seperti ini..." Heeh? Ahh tidak, seharusnya aku tidak terkejut. Meskipun secara fisik tubuhnya seperti anak kecil, akan tetapi usianya mungkin jauh diatasku. "Apa maksudmu Agnia? Meskipun dia tidur dikamarku, akan tetapi aku tidur di sofa." "Tidak... Aku tak mempermasalahkannya, lagipula gadis itu tak akan bisa hamil." Aku benci mengakuinya, tapi Agnia benar. Seorang laki-laki yang tinggal sendirian tak seharusnya membawa teman perempuannya ke rumah, apalagi sampai menginap. Namun, apa peraturan itu berlaku bagi Aya? Tapi bukankah dia sekarang manusia? Tunggu... Kalau tetangga tahu soal hal ini apa aku akan dilaporkan pada Pak RT? Ahhh gawat aku tak memikirkan semuanya sampai sejauh itu... "Wajahmu pucat sekali... Kau pasti akan sangat kesulitan mengurus gadis itu... Akan tetapi jangan khawatir, aku kesini akan membantumu..." Kucoba menengkan diriku dengan duduk di salah satu sofa tak jauh dari Agnia. Gadis kecil itu hanya diam menatap meja berkaca hitam dihadapannya, bayangan wajah kami terpantul disana, dalam beberapa menit kami terdiam, hanya helaan nafas yang terdengar. "Mulai hari ini, gadis itu akan menjadi gadis remaja biasa. Karena itulah, besok ia harus pergi ke sekolah bersamamu!" ############# POV Aya Sunyi... Tenang sekali... Seakan-akan aku tidak merasakan apapun... Hanya kedamaian dan kenyamanan... Untuk pertama kalinya... Aku tak mengkhawatirkan apapun... Kubuka mataku, pandanganku terasa kabur. Kulihat langit-langit kamar berwarna biru laut, apakah warna dinding kamar ini yang membuatku tenang? Entahlah... Aku tak tahu, selama ini aku hidup dalam bayang-bayang kematian sebagai kuntilanak. Akan tetapi kini aku telah menjadi manusia, mungkin hal itulah yang membuat diriku tenang setelah selama ini bertarung dengan rasa takutku Kusandarkan tubuhku pada dinding, cahaya matahari masuk melalui jendela kamar Aji. Cahaya itu menghangatkan tubuhku, tidak membakarku seperti tubuh lamaku. Kubuka korden jendela kamar itu, membiarkan semburat cahaya mentari itu masuk lebih banyak lagi. Membiarkan mereka menghangatkan tubuhku dan mencairkan hatiku. Pantulan bayangan tubuhku, samar terlihat di kaca jendela. Mata hitam sekelam malam, dan juga Rambut hitam panjang menjuntai. Jika aku memotongnya, apa aku akan terlihat tidak terlalu menakutkan? Ah tidak, itu bukanlah ide yang bagus. Meskipun aku memanjangkan rambutku untuk menutupi mata kiriku, akan tetapi memanjangkannya memerlukan waktu yang lama. Terkadang aku berpikir, apa dengan tubuh ini, artinya diriku yang sekarang itu berbeda dengan diriku sebelumnya? Aya si gadis kuntilanak pembunuh manusia dan hantu yang mengejarnya, kini berubah menjadi Aya si gadis setengah kuntilanak yang hidup sebagai manusia biasa? Apakah hal itu adalah sesuatu yang buruk? Tiba-tiba aku merasakan hawa panas yang aneh, seakan-akan api neraka berhembus sekejap dari balik ruangan yang lainnya. Meskipun dalam tubuh manusia, apa yang kulihat dan kurasakan sebagai hantu tak berubah. Aku masih bisa melihat ruh orang mati dan juga makhluk sejenisku, akan tetapi hawa panas berbahaya ini adalah sesuatu yang berbeda! Dengan cepat kulangkahkan kakiku menuju pintu kayu jati. Membukanya dan melangkahkan kaki cepat menuju tangga, sesosok gadis kecil sedang duduk di sofa bersama Aji. Akan tetapi mata batinku melihatnya dengan cara yang berbeda, gadis itu berasal dari golongan jin. Dengan tanduk merah kecil di rambutnya dan kulit bersisik kemerah-merahan. Ia memancarkan aura panas yang terlihat berbahaya, seakan memintaku untuk tidak mendekatinya. Aji mungkin tidak menyadari bahaya yang ada di dekatnya, akan tetapi aku juga tak akan bisa melawannya. Paku itu menyegel semua kekuatan dalam diriku, kecuali keberanian. Aku berpikir keras, bagaimana ini? Apakah gadis itu adalah lawan? Atau kawan bagi kami? "Lihat Aji, dia sudah bangun bukan?" Kudengar samar-samar perbincangan mereka. Sama sepertiku, gadis kecil itu pasti bisa merasakan keberadaanku. Dengan hati-hati aku berjalan menuruni tangga, melewati anak tangga dengan perlahan, sambil mengawasi gadis itu "Ahh... Selamat pagi Aya!" "Se... Selamat pagi..." Aji menyapaku sambil tersenyum, senyumannya memiliki banyak makna yang lebih dalam, dibandingkan dengan kata-katanya sendiri. Ketika ia tersenyum, ia menunjukkan banyak sekali perasaannya kepadaku. Senyuman tipis tapi lebar seperti hari ini memiliki makna kalau ia senang sekaligus lega. Ia senang melihatku telah bangun, dan mungkin ia lega karena kondisiku mulai membaik. Itulah yang kutangkap dari senyumannya. Aku tak peduli apakah itu benar-benar arti dari senyumannya. Namun itulah hal yang ingin kupercayai dari dia. Aku berhasil menuruni anak tangga terakhir. Aji memberiku isyarat untuk duduk, kuanggukkan kepalaku dan duduk di atas sofa merah bersama mereka. Aji memperkenalkanku pada Agnia, gadis itu adalah cucu Kakek Slamet. Orang yang memberi Aji Paku Puntianak, dan juga air kembang tujuh rupa. Kesimpulannya, ia adalah yang telah memberikan Aji racun dan penawarnya... Racun yang kini Aji gunakan untuk mengurungku dalam tubuh manusia ini... Semalam Aji telah menceritakan sedikit tentang gadis merah itu, akan tetapi tak kusangka dia lebih berbahaya daripada yang kubayangkan sebelumnya. "Kau benar-benar cantik Aya... Tak kusangka inilah wujud sebenarnya dari gadis kuntilanak yang dikejar oleh Chandra..." Sebuah suara lonceng terasa berbunyi dalam kepalaku, di dalam ingatanku yang nyaris kosong... Nama itu bergema... Memanggil ingatan-ingatan lain yang terkurung dalam alam bawah sadarku. "Chandra yang kau maksudkan itu... Raja Malam Hari bukan?" Kutatap Agnia dengan tatapan tajam, tapi gadis itu hanya menyeringai kurang ajar. Sementara itu Aji hanya terdiam, ia tak tahu apa-apa tentang hal ini, dan aku tak ingin dia tahu... "Apa urusanmu dengannya Ifrit?" "Bukan urusanmu bukan? Puntianak!" Aura kehitam-hitaman muncul dari tubuhku, sementara itu dengan angkuhnya gadis kecil itu mengeluarkan aura api miliknya. Titik-titik air di udara terbentuk dan perlahan muncul bersama asap ectoplasma putih. Aji berusaha menenangkan kami, aneh rasanya menyadari bahwa kekuatanku tersegel tetapi aku masih bisa mengeluarkan kekuatanku sebanyak ini. Namun saat itu aku tak memiliki waktu untuk memikirkannya. Setelah beberapa menit, kami mencoba menenangkan diri. Aku takkan menang dari gadis iblis itu, begitulah yang kupikirkan. Sementara itu, Gadis merah itu mungkin berpikir kalau melawanku takkan menguntungkannya sama sekali. Kuamati lekat-lekat makhluk itu. Wujud manusianya memiliki bentuk gadis kecil berumur 12 tahun, dengan rambut hitam kemerahan, dan mata berkilau merah mengerikan. Ia mengenakan pakaian merah dengan kain batik kecoklatan, benar-benar wujud yang mampu menipu siapapun. "Ehm Aya... Maaf sebelumnya. Aku tidak tahu ada masalah apa dengan kalian, akan tetapi untuk kali ini kita terpaksa menerima bantuannya." Kata-kata Aji bagaikan angin lalu bagiku, gadis itu memiliki hubungan dengan monster mengerikan yang selalu menerorku. Ia takkan kulepaskan begitu saja. "Sepertinya akan kusudahi pembicaraan kita sampai disini saja Aji. kau harus menjinakkan gadis itu agar ia mau mendengarkanmu. Dia mudah sekali terpancing emosinya... Selain itu tak kusangka ia bisa mengeluarkan sebagian kecil kekuatannya dengan Paku Puntianak di kepalanya. Kenapa kau tak mencoba menjinakkannya di atas tempat tidur?" Kuhempaskan punggung tanganku sekeras-kerasnya pada wajah gadis kurang ajar itu. Namun sayangnya ia dapat menahannya dengan satu jari telunjuknya. Dengan satu pukulan jari telunjuk, ia mengempaskan tubuhku seketika. Membuatku menghancurkan pigura yang tergantung di dinding belakang tubuhku. Aji tak bisa berbuat apa-apa, tapi aku tak menyalahkannya. Gadis itu adalah monster, bahkan meskipun kekuatanku bisa kulepaskan secara penuh, aku takkan berkutik dihadapannya. Samar-samar kulihat gadis merah itu berjalan menuju ruang tamu. Aji membantuku berdiri, tak peduli pada sofa yang terguling dan pecahan kaca diselitar tubuhku. Amarahku memenuhi ubun-ubunku, Chandra Sang Raja Malam Hari, dan Agnia Efreet Sang Iblis Merah. Aku bersumpah aku akan membunuh kalian...  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN