Akhirnya debat panjang tak terhindarkan di antara mereka, kata-kata tajam saling dilontarkan dalam suasana yang kian memanas. Ethan mulai kehilangan kesabaran, wajahnya tampak tegang saat ia menatap Danisa yang menolak bergeming.
“Aku nggak habis pikir kenapa kamu bisa berpikiran sesempit itu,” ucap Ethan dengan nada geram.
“Mengakhiri hidup? Cuma karena kamu ngerasa terkurung di sini? Seolah hidup dengan aku seperti neraka?”
Danisa tidak tinggal diam. Ia balas menatap Ethan dengan penuh perlawanan. “Coba kamu pikir lagi, wanita mana yang rela disimpan di apartemen seperti ini, seolah-olah aku ini nggak punya hati, seperti aku itu cuma barang yang disimpan di lemari?” nada suaranya penuh penekanan.
“Tidak dinikahi, tidak ada kepastian, tapi malah diminta hamil anak kamu. Kamu pikir itu masuk akal?!”
Ethan terdiam sejenak, sebelum akhirnya menatap Danisa dengan sorot mata yang berbeda, kini lebih tajam, lebih serius. “Danisa, apa nggak ada sedikit pun perasaan kamu yang tersisa untukku? Apa nggak ada artinya hubungan kita yang dulu? Apa kamu benar-benar sudah menghapus semuanya begitu aja?”
Danisa terhenti, tidak segera menjawab. Kata-kata Ethan menembus pertahanannya, membuat pikirannya terlempar kembali ke masa-masa saat mereka masih bersama, ketika sosok Ethan yang ia kenal begitu berbeda. Satu tarikan napas panjang ia hembuskan sebelum akhirnya berkata dengan nada lebih lirih.
“Ya, aku masih menyukaimu, Ethan, tapi Ethan yang aku kenal nggak akan pernah menyakitiku seperti ini,” jawabnya akhirnya. Di matanya, ada bayangan kekecewaan dan luka yang begitu dalam.
Ethan menatapnya tajam, tersenyum sinis. “Menyakitimu?” ulangnya, nada suaranya penuh tanya. “Danisa, aku bahkan belum menyentuhmu sama sekali. Lalu di mana letak sakitnya?”
Danisa menatap Ethan, sorot matanya tajam tapi penuh ketakutan yang nyata. "Kamu memang belum menyentuhku, tapi justru itu yang membuat aku takut, Ethan. Membayangkan harus berhubungan intim dengan pria yang bahkan bukan suamiku. Itu bukan hal yang mudah untukku," ucapnya, suaranya bergetar.
Ethan menatapnya, lalu dengan nada lebih tenang tapi tetap menusuk, ia bertanya, “Kalau begitu, apa kamu akan berubah pikiran? Apa kamu akan berhenti bilang soal mengakhiri hidup, kalau aku berjanji nggak akan menyentuhmu?”
Danisa terdiam, menimbang-nimbang, namun tak bisa mengingkari bahwa kata-kata Ethan sedikit melegakannya. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Ya! Kalau kamu berjanji nggak akan memaksaku tidur bareng, aku berjanji nggak akan berpikiran negatif lagi soal kamu.”
Sejenak keheningan menyelimuti mereka, namun kemudian Ethan tersenyum sinis. “Bagaimana dengan janji yang sudah kamu buat sendiri?” tanyanya tajam.
“Kamu ingat, Danisa? Kamu sendiri yang berkata dan berjanji mau tidur denganku demi menyelamatkan Tim Pena dan Mei. Apa kamu berniat ingkar janji sekarang?”
Danisa terdiam, tercengang. Wajahnya memucat mendengar Ethan mengungkit perjanjian itu. Ia berusaha menguasai dirinya, mencari dalih untuk melawan argumen Ethan. “Itu semua karena jebakanmu,” katanya akhirnya, nadanya penuh tuduhan.
“Kamu menjebakku supaya terikat dengan janji yang sebenarnya nggak pernah aku buat dengan ikhlas!”
Ethan, tak tergoyahkan, hanya mendengus sebelum mengeluarkan ponselnya. Ia memainkan rekaman percakapan, dan suara Mei terdengar jelas. Dalam rekaman itu, Mei dengan penuh keyakinan menyetujui tawaran Markus, bahkan menyatakan siap menanggung risiko apa pun jika terjadi masalah dalam pekerjaan mereka dengan Methan.
Danisa tertegun. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan kekecewaan yang mendalam. Ia selama ini mengira Ethan yang bermain licik dan mengatur segalanya, namun nyatanya, Mei sendirilah yang gegabah, terbuai oleh kesempatan bekerja sama dengan perusahaan besar seperti Methan tanpa mempertimbangkan risikonya.
Jika diingat-ingat, Danisa pernah bertanya mengenai risiko itu, tapi belum sampai dijawab oleh Mei karena waktu itu Markus datang. Jadi memang benar, Ethan hanya mengajukan gugatan karena Tim Pena yang lebih dulu mundur dari kerja sama yang seharusnya kini sudah dimulai.
Danisa terdiam, bingung harus berkata apa lagi.
Setelah mendengar rekaman itu, Ethan menatap Danisa lekat-lekat. "Setelah ngedengerin ini semua, kamu masih berpikir kalau aku yang bersalah?"
Wajah Danisa memerah karena malu. Di hatinya, ia merasa tertampar, ia bukanlah tipe wanita yang akan melakukan segalanya demi uang, begitu pula dengan Mei. Tapi situasi telah berbelok menjadi seperti ini, dan satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk dan berbisik pelan, "Maaf, aku minta maaf karena sudah menuduhmu melakukan hal licik."
Ethan mengangkat alisnya, lalu melontarkan pertanyaan yang membuat Danisa terhenyak. "Jadi, apa aku harus melanjutkan gugatanku ke Tim Pena dan melepaskan kamu?"
Danisa terkejut, menatap Ethan dengan mata melebar, lalu menggeleng keras. “Jangan! Kamu jangan lakukan itu,” desaknya dengan panik.
Ia menarik napas dalam, mengumpulkan keberaniannya sebelum berkata, “Baik, aku akan lakukan sesuai perjanjian awal. Aku akan tidur dengan kamu, tapi kita lakuin itu sekali saja. Setelah itu, lepaskan aku dari tempat ini, Ethan. Dan satu lagi, ini sangat penting, aku mau kamu pakai pengaman, aku nggak mau hamil.”
Ethan mendadak terdiam, wajahnya berubah kelam. Di dalam hatinya, ucapan Danisa menusuk lebih dalam dari yang ia perlihatkan. Ia benci mendengar kata-kata itu, bahwa semua ini seolah tak lebih dari sebuah transaksi. Namun, rasa takut dan cemas membayanginya, ia takut Danisa akan mengancam hal-hal yang lebih nekat lagi jika ia menolak.
Sunyi menyelimuti ruangan, dan keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak ada yang berbicara untuk waktu yang cukup lama, hingga akhirnya Danisa memberanikan diri. Ia menghela napas panjang, lalu bertanya dengan suara yang terdengar lembut namun penuh rasa ingin tahu.
“Ethan ... apa benar orang tuamu nggak setuju dengan hubungan kita? Apakah itu alasan kenapa kamu nggak bisa menikahi aku? Aku ingin tahu kebenarannya. Setidaknya, biarin aku tahu yang sebenarnya.”
Mendengar pertanyaan itu, Ethan menatapnya dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di balik tatapan Danisa yang penuh harapan. Suaranya rendah namun serius ketika ia menjawab, "Aku cuma bisa jawab secara garis besarnya. Iya. Tapi, aku nggak bisa jelasin lebih jauh.”
Danisa tak tahu harus senang atau sedih. Di satu sisi, dia senang karena nyatanya ada alasan yang logis kenapa Ethan tak kunjung memenuhi harapannya untuk menikah. Namun, di sisi lain, ia juga merasa sedih. Alasan kenapa orang tuanya tidak setuju tentu saja karena Danisa miskin. Alasan itu tak akan bisa diubah, Danisa akan selamanya dianggap miskin. Untuk sebanding dengan keluarga Ethan, tentu saja itu mustahil untuk janda itu.
Danisa diam dan menciptakan keheningan lagi, sementara Ethan melanjutkan ucapannya dengan nada yang berubah menjadi lebih dalam, lebih tulus. “Aku cuma mau kamu tahu, Danisa … aku suka kamu, aku sayang kamu, dan aku cinta kamu. Aku mau kamu jadi milikku. Jangan pernah berpikir untuk pergi lagi.”
Ia menatap Danisa penuh ketegasan, seolah ingin memastikan bahwa pesannya benar-benar tersampaikan. “Dengan cara apa pun, aku akan memastikan kamu jadi milik aku. Jadi, jangan paksa aku jadi laki-laki jahat di matamu. Menurutlah, aku nggak akan menyakitimu, asal kamu tetap di sisiku."
Danisa terdiam, matanya menatap Ethan dalam kebingungan yang bercampur perasaan campur aduk. "Aku juga suka kamu, Ethan! Aku berharap bisa menghabiskan sisa umurku dengan kamu," katanya lirih.
"Tapi, kalau hidupku dikurung seperti ini, bagaimana aku bisa tetap waras? Hewan saja bisa stres kalau dikurung terlalu lama, apalagi aku?"
Ethan menghela napas panjang, menunduk sejenak seolah sedang bergulat dengan perasaannya sendiri. Dengan suara yang terdengar lebih pelan dan letih dari biasanya, ia menjawab, "Bagaimana kalau kita lewati malam ini sesuai rencana awal? Dengan tenang, damai, tanpa memikirkan hal lainnya. Jujur, aku lelah, Danisa. Aku capek. Baru berapa jam kita di sini, dan kita berdebat tanpa ujung dari tadi."
Perkataan itu menusuk hati Danisa, membuatnya merasa sedikit tersentuh, juga merasa bersalah. Mungkin Ethan juga tengah menanggung beban yang tidak ia pahami sepenuhnya. Ada sebersit rasa simpati yang tak bisa ia tolak, meski sebagian hatinya masih diliputi keraguan.
Ia menarik napas dalam, dan, dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berkata, "Lupakan soal ganti baju dan makan malam, Ethan. Kalau kamu mau kita melakukan sesuai rencana awal, aku siap melakukan apa yang kamu mau. Sekarang juga."
Ethan terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan. Kalimat Danisa barusan berputar di kepalanya, sebagian dari dirinya ingin merasa senang karena keinginannya akan terwujud, tetapi ada bagian lain yang justru dipenuhi rasa cemas. Tatapan Danisa, nada suaranya, membuatnya ragu-ragu.
"Apa itu yang benar-benar kamu mau?" Ethan bertanya, suaranya pelan, hampir berbisik. Dalam hati, ia bergulat dengan ketakutan bahwa Danisa mungkin sudah terlalu lelah menghadapi segala tekanan darinya dan benar-benar tidak ingin melanjutkan hidup.
Ethan berusaha membaca ekspresi Danisa, namun tatapan wanita itu kosong, seolah telah melepaskan harapan. Ia sadar bahwa jika ia memaksa keadaan seperti ini, segalanya bisa menjadi jauh lebih buruk.
Hatinya berkecamuk. Apa yang harus ia lakukan? Membiarkan Danisa menyerah pada tekanan ini, atau mengambil langkah mundur demi menjaga kewarasan dan kebahagiaan wanita yang ia cintai?