Ethan mendekat, wajahnya berubah serius, matanya penuh amarah. "Jangan pernah coba-coba ancam aku seperti itu," katanya dengan suara rendah yang berat. "Kamu pikir kamu bisa tidur sama pria lain setelah semua yang udah aku lakuin buat kamu?"
Danisa menatapnya tajam, seolah tak takut. "Kenapa nggak?" jawabnya dengan dingin. "Kamu nggak punya hak buat ngatur hidup aku, Ethan. Kalau kamu bisa perlakukan aku kayak begini, kenapa aku nggak boleh pilih siapa yang mau aku ajak tidur?"
Ethan terpaku sejenak, wajahnya memerah, matanya melotot penuh cemburu. Dia bisa merasakan darahnya mendidih. "Jangan main-main sama aku, Danisa," desisnya, suara lebih berat, penuh ancaman. "Kamu nggak tahu apa yang bisa terjadi kalau kamu beneran melangkah ke situ."
Danisa nggak bergeming, tetap menatapnya tajam. Melihat ketegaran Danisa, Ethan akhirnya menghela napas panjang, meredakan amarahnya yang hampir meledak. "Oke, kalau itu yang kamu mau ... aku bakal ikutin apa mau kamu." Di dalam hatinya, Ethan merasa cemburu dan sakit hati yang meluap.
Ethan lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan tanpa ragu menghubungi asistennya. Tatapannya tak pernah lepas dari Danisa, penuh dengan maksud yang sulit diartikan. Ketika panggilan tersambung, suaranya terdengar tenang namun berwibawa, membuat siapapun yang mendengarnya tahu ia serius.
"Batalin gugatan ke Tim Pena," perintahnya dengan nada tajam, tanpa memberi ruang untuk sang asisten bertanya atau berkomentar.
Suaranya begitu dingin dan pasti, hingga membuat Danisa tercekat. Ia bisa merasakan ada tekanan kuat di balik kata-kata itu. Setelah menutup telepon, Ethan memasukkan ponselnya kembali ke saku dan menatap Danisa dengan sorot mata yang membuatnya bergidik.
"Jadi, Danisa ...," katanya, suaranya rendah tapi penuh dengan penekanan, "kita akan lakukan di mana? Hotel atau ... apartemenmu?" Ia berhenti sejenak, menatap dalam ke arahnya. "Kapan? Nanti malam, atau ... sekarang juga?"
Danisa merasakan hatinya mencelos. Kata-kata Ethan begitu terang-terangan, dingin, dan tak peduli. Seolah baginya semua ini hanyalah sebuah permainan yang ia menangkan. Danisa menghela napas, menahan segala gejolak di dalam dirinya. Amarah, rasa sakit, dan kekecewaan, semua berkecamuk menjadi satu. Tapi ia tak punya pilihan lain, bukan? Akhirnya, ia menjawab dengan suara nyaris berbisik, "Terserah kamu."
Yang paling penting, kini Tim Pena aman dan Mei juga tidak perlu khawatir lagi.
Senyum sinis muncul di bibir Ethan, seolah puas melihat keputusasaan yang tercermin di mata Danisa. Ia kemudian berdiri, mengisyaratkan agar Danisa mengikutinya. "Kalau begitu, kita pergi sekarang," ucapnya dengan nada penuh kendali.
Mereka keluar dari ruang kantor Ethan, dan beberapa karyawan yang mereka lewati tampak terkejut melihat keduanya berjalan bersama. Wajah Ethan yang dingin dan Danisa yang tak bisa menyembunyikan raut penuh kekecewaan membuat suasana menjadi canggung. Tak ada yang berani menatap terlalu lama, tapi bisik-bisik lirih di belakang mereka terasa nyata. Ethan, tanpa peduli pada tatapan orang-orang, melangkah mantap keluar dari gedung, dan Danisa hanya bisa pasrah mengikutinya.
Ethan menggiring Danisa menuju parkiran basement tanpa sepatah kata pun, dan di sana, ia berhenti di depan sebuah mobil mewah yang mengilap. Mobil itu bukan motor sport sederhana yang biasa dibawa Ethan. Kali ini, ia membawa sebuah sedan hitam dengan logo eksklusif di bagian depannya, sebuah kendaraan mahal yang biasanya hanya dimiliki para sultan. Danisa terpaku sejenak. Ada sesuatu yang terasa sangat janggal, dan bayangan tentang siapa Ethan sesungguhnya mulai kabur di benaknya.
Tanpa berkata apa-apa, Ethan membuka pintu di sisi penumpang untuknya, memberi isyarat agar ia masuk. Danisa, yang masih terkejut, hanya bisa duduk dengan diam. Saat Ethan mulai menyetir, suasana di dalam mobil begitu sunyi hingga suara deru mesin terdengar amat jelas. Hanya ada mereka berdua, dalam ruang yang terasa begitu sempit dan menegangkan.
Sepanjang perjalanan, Danisa mulai memperhatikan hal-hal yang biasanya ia abaikan. Setiap helai kain yang melekat di tubuh Ethan—kemeja yang ia kenakan, dasi, hingga sepatu kulit berkilau—semuanya tampak mahal dan berkelas. Jam tangan di pergelangan tangannya pun berbeda dari yang pernah ia lihat, dengan desain elegan yang terlihat mewah dan eksklusif.
Ethan yang ia kenal selama ini selalu tampil sederhana, dengan setelan kasual dan motor sport yang memberikan kesan biasa saja. Tapi kini, seluruh penampilannya membongkar fakta yang seolah-olah ingin disembunyikannya. Pria yang duduk di sebelahnya bukan lagi Ethan yang sederhana, melainkan seseorang yang berada jauh di atas bayangan Danisa. Seorang pria dengan kekuasaan, uang, dan cara untuk mendapatkan apapun yang ia inginkan.
Perjalanan itu terasa panjang, dan tiap detik yang berlalu hanya menambah ketegangan di antara mereka. Sampai akhirnya mobil berhenti di sebuah gedung apartemen.
Ya, bukan hotel atau apartemen Danisa yang menjadi tujuan mereka. Ethan membawa Danisa ke sebuah apartemen mewah di pusat kota, tempat yang tak pernah Danisa bayangkan akan dia masuki. Ethan turun dengan tenang, kemudian membuka pintu untuk Danisa. Tanpa sepatah kata, ia menuntun Danisa masuk ke dalam bangunan megah itu, melangkah menuju pintu apartemen.
Setelah tiba di depan pintu, Ethan mengeluarkan kartu aksesnya dan menempelkan sidik jarinya pada smart lock pintu apartemen. Pintu terbuka otomatis dengan suara klik yang nyaris tak terdengar.
Ketika pintu terbuka, Danisa melangkah masuk dengan ragu lalu terpaku melihat kemewahan yang tersaji di depannya. Apartemen itu terlihat seperti sesuatu yang hanya ada di dalam majalah-majalah properti kelas atas, dengan furnitur elegan, pemandangan kota yang luas dari jendela besar, dan pencahayaan yang menambah kesan dramatis.
Apartemen itu sangat mewah, dengan perabotan yang tampak mahal dan berkelas. Setiap sudut ruangan mencerminkan kekayaan dan keanggunan. Lampu-lampu ruangan menyala otomatis begitu mereka melangkah masuk, memperlihatkan desain interior yang modern dan elegan. Danisa terdiam, terpaku pada kemewahan yang ia lihat. Tapi bukan hanya itu yang membuatnya merasa tak nyaman—kesadaran bahwa apartemen ini hanya bisa dibuka dengan akses Ethan membuat hatinya kembali berdegup kencang.
Perlahan, ketakutan mulai merayapi dirinya. Tidak akan mudah baginya untuk pergi dari tempat ini tanpa izin Ethan. Ia terjebak di sini, di ruang mewah yang terasa seperti penjara.
Ethan memperhatikan Danisa dari belakang dengan senyum tipis. "Selamat datang di apartemenku," ucapnya, suaranya terdengar penuh arti. "Tempat ini biasanya kosong, tapi hari ini ... aku rasa tempat ini akan punya kenangan baru."
Danisa merasa perutnya melilit, hatinya terluka lebih dalam. Ini bukan hanya sekadar ruangan mewah baginya, ini adalah bukti nyata bagaimana Ethan mengendalikan hidupnya sekarang. Namun, ia tak mampu mengutarakan apa yang ia rasakan. Ia hanya diam, memandang ruangan dengan tatapan hampa.
Ethan, tanpa menyembunyikan rasa puasnya, melangkah lebih dekat, menatap Danisa dengan intens. Kini, ia tahu bahwa Danisa telah terjebak sepenuhnya di dalam rencananya.
Danisa sudah selesai menatap sekitar apartemen mewah itu, lalu berbalik menghadap Ethan, yang berdiri santai. "Kenapa kita ke sini, Ethan? Kenapa bukan ke hotel atau apartemenku aja?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
Ethan menyeringai tipis, ekspresinya tenang tapi penuh arti. "Bukannya kamu sendiri bilang, terserah aku?" jawabnya, nada bicaranya seperti menantang.
Danisa terdiam, rasa gelisahnya makin kuat. Tatapannya tak lepas dari wajah Ethan, berusaha mencari sedikit belas kasihan di sana. "Ethan, kamu janji ... kamu janji bakal ngelepasin aku setelah ini. Aku datang karena itu," katanya dengan suara rendah, berusaha menahan getarannya.
Ethan mengangkat bahu seolah tak peduli. "Ngelepasin kamu? Aku nggak pernah janji apa-apa soal itu."
Danisa menatapnya, tertegun dan tidak percaya. "Tapi ... kamu bilang bakal ngelepasin Tim Pena, nggak nyentuh Mei ...," gumamnya, mencoba mengingat semua kata-kata yang Ethan lontarkan sebelumnya.
Ethan mengangguk santai. "Iya, aku janji nggak bakal ganggu Tim Pena, atau bikin Mei susah. Tapi soal kamu? Nggak ada tuh di perjanjiannya."
Rasanya seperti baru saja dihantam keras. Danisa menatap Ethan, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. "Jadi … kamu udah rencanain semua ini, Ethan? Ini semua jebakan buat aku?" bisiknya, nyaris tak bersuara.
Ethan melangkah maju, membuat Danisa mundur secara refleks, jantungnya berpacu. "Kamu sendiri yang memutuskan buat datang ke sini, Danisa. Kamu yang pilih buat nyerahin dirimu ke aku, dan aku cuma memastikan kamu nggak akan pergi seenaknya."
Danisa merasa dadanya sesak, amarah, sakit hati, dan ketakutan bergemuruh jadi satu. "Aku nggak nyangka kamu tega kayak gini," gumamnya lemah, suaranya nyaris bergetar, sepenuhnya sadar bahwa ia benar-benar terjebak tanpa jalan keluar.
Tapi apa yang bisa Danisa lakukan sekarang? Menjerit pun, tak yakin akan ada yang mendengar dan menolongnya. Sekali lagi, itu adalah apartemen mewah, sudah dipastikan di sana kedap suara.