Sepuluh hari.
Hellena menatap deretan angka yang tergantung pada kalender di depannya. Dengan perasaan ngilu, menghitung waktu, sejak dia pergi dari rumah besar itu.
Hellena menghapus sudut matanya. Merasakan rindu yang sangat, pada kisah sebelum peristiwa talak itu dijatuhkan.
Bagaiman aku tidak rindu?
Kalau segala kehangatan dan kelembutan pelukan laki-laki yang telah menjadi imamnya selama ini begitu manis, penuh cinta.
Bagaimana mungkin, waktu sepuluh hari bisa menghapus jejak laki-laki yang telah menjadi ayah dari putri kecilnya yang cantik.
Aksara sempurna. Hellena, mencintai laki-laki itu sepenuh jiwanya.
Laki-laki yang bertahun silam selalu datang memberikan donasi tetap kepada panti asuhan tempatnya tinggal, menemani Sang Papa yang murah hati. menatapnya di gerbang Panti dengan senyuman yang sama. Hangat dan lembut. Senyuman yang diam-diam, meruntuhkan hati Hellena yang polos dan sepi.
Laki-laki dengan wajah tulus memohon untuk menjadikannya pendamping hidup, laki-laki yang dengan tatapan yang tegak menentang ibu dan kakak perempuannya. Menentang segala, omong kosong tentang hubungan mereka yang berjarak kasta dan keadaan.
Cinta tidak mengenal jarak. Cinta tidak mengenal perbedaan, dengan tekad dan cinta tang kuat, Aksara membawanya berdiri di megahnya pelaminan cinta.
Memperlihatkan pada dunia, ketulusan dan cinta sejati, juga siapa perempuan yang telah berhasil meluluhkan hati seorang Aksara yang tampan dan mapan.
Betapa manis laki-laki itu menjadi imam dan mencintainya sepenuh jiwa.
Betapa luruh tatapannya, saat Allah hadirkan bayi mungil diantara mereka, melengkapi kisah cinta bak cinderella.
Sayang, tak ada yang abadi di dunia ini.
Kisahnya telah selesai, menyisakan puing kenangan yang belum sepenuhnya hilang dalam ingatan.
" Sudahlah, Mbak. Lupakan mantan suamimu."
Suara Bi Yayah, salah satu Asisten di rumah ini membuyarkan lamunan.
"Bibi juga mengalaminya, dulu waktu Bapaknya anak-anak menceraikan Bibi, usiaku masih muda dengan tiga orang anak yang masih kecil."
Suara Bi Yayah terdengar getir mengenang masa lalunya yang pahit.
"Kita memang selalu tidak punya pilihan, saat laki-laki mentalak kita dengan berbagai alasan."
"Kita perempuan lemah, yang terkadang apapun yang kita lakukan, salah dan salah dimata suami dan mertua."
Bi Yayah menghela nafas.
"Tapi Allah tidak tidur, Mbak. Dalam luka dan air mata, Allah selalu hadir memberi jalan keluar."
Hellena tersenyum. Beruntung Allah telah mengirimnya ke tengah orang-orang yang baik hati.
" Terimakasih, Bi. Aku sekarang merasa lebih tenang," ucap Hellena pelan.
"Kenangan akan hilang seiring waktu. Jejak cerita itu akan musnah, seiring jarak dan masa."
Hellena menangguk.
"Mungkin banyak orang menilai, aku bodoh pergi tidak membawa apapun dari rumahku saat itu. Betul, aku memang bodoh... Tapi aku merasa lebih bahagia, pergi dari sana tanpa membawa banyak harta dan hanya cukup kubertahan hidup bersama Cellia secara sederhana."
" Iya, Mbak. Biarkan suamimu belajar mengenalmu dengan baik. Bahwa tidak semua perempuan materialistis, biarkan dia berfikir bahwa tidak semua yang di dengarnya, betul adanya."
Bi Yayah tertawa pelan.
"Bibi yakin, suamimu pasti sedang menyesali perbuatannya."
"Ah, Bibi. Bisa saja."
Hellena ikut tertawa, meski sekelumit ragu menyelinap di hatinya. Aku cuma butiran debu, di hatimu Mas. Desisnya sendu.
" sekarang daripada bersedih terus, ayo semangat bekerja. Percuma nyari kerja diluaran juga belum tentu dapat, yang penting kamu dan Cellia aman disini."
Hibur bi Yayah panjang lebar.
Setelah pagi yang sibuk mengurusi keperluan Tuan Abizar dan Nyonya besar selesai dan membereskan pekerjaan rumah lainnya, biasanya memang Hellena dan para Asisten rumah punya waktu untuk sedikit santai dan mengobrol di dapur.
Hellena hanya mengangguk, menyimpul senyum tanda setuju.
****
"Taruh di situ."
Suara berat yang sangat dikenal Hellena, memberi perintah. Seperti biasa Hellena akan dengan cepat mengikutinya.
Dua bulan sudah dia berada di rumah ini, menjadi salah satu asisten rumah tangga bersama dua yang lainnya, Hellena hafal sifat Abizar.
Abizar, laki-laki yang telah menolongnya malam itu.
Laki-laki dengan wajah dingin, yang memintanya menemani dan mengurus ibunya yang sudah sepuh. Nyonya besar, yang ditinggalkan perawatnya belum lama ini.
Nyonya besar, selama ini dirawat oleh Bi Marni, sayang semenjak anaknya melahirkan , Bi Marni memutuskan pulang kampung dan menjaga cucunya, karena ibunya bekerja di pabrik dan pulang menjelang sore.
Abizar yang beku tapi berhati lembut.
"Dalam hidup semua orang selalu punya pilihan, kamu bisa pergi terlunta di kota Bandung atau tetap disini, menemani Ibuku."
"Kamu bisa menggantikan Bi Marni, yang pulang kampung."
Tawarnya saat itu, membuat Hellena tak henti-hentinya bersyukur. Apapun label profesi yang disandangnya, Hellena tidak perduli. Baginya, keselamatan dirinya dan Cellia nomer satu.
Meski ada rasa mengganjal mengingat sikap Abizar yang dingin, Hellena tidak perduli. Tidak ada alasan untuk bermanja, dia sadar posisinya, saat ini.
"Hm, kamu pandai meracik teh ya, Elle? "
Abizar, menghirup teh buatan Hellena.
"Sedikit, Mas."
Hellena menjawab pelan. Risih.
Entah mengapa, dia selalu merasa tak nyaman kalau harus melayani Abizar.
Laki-laki itu tidak pernah kurang ajar, sikapnya terkontrol, tapi berlama-lama di dekatnya membuat Hellena kikuk.
"Hellena, Mulai saat ini belajarlah banyak hal, terutama perdalam keterampilanmu mengoprasikan komputer."
Suara Abizar membuat Hellena sedikit melongo.
"Mungkin, beberapa bulan kedepan, kamu saya tarik bekerja di kantor. Kantorku yang bekerja sama dengan sahabatku, membutuhkan salah satu tenaga administrasi."
Hellena terlonjak kaget dan tidak percata.
"Saya kan, cuma lulusan diploma dua mas," kata Hellena ragu, mengingat dia belum ada pengalaman bekerja.
"Gak usah takut, perusahaan itu tidak besar. Perusahaan kerjasama antara aku dan sahabatku, aku dan sahabatku, jarang sekali kesana, maklum itu kan perusahaan persahabatan. Kami, sehari-hari lebih fokus diperusahaan masing-masing."
Abizar menjelaskan panjang lebar, mengurangi ketegangan Hellena.
"Nanti aku bicarakan sama sahabatku, dia orang yang baik."
Mata Hellena berkaca, bagaimana dia harus bersyukur atas kemurahan yang Allah berikan.
"Mas, terimakasih... Entah kata apa yang pantas, untuk mewakili rasa terimakasih saya."
"Lupakan, Elle. Mulai sekarang, kamu tidak usah bantu di dapur. Setelah selesai melayani Ibu, fokus belajar.Nanti aku belikan laptop dan seorang guru privat, biar pas kamu masuk kamu sudah mahir mengoprasikan dan memasukan data yang dibutuhkan."
"Mas? "
Abizar menatap Hellena.
"Apa?"
"Makasih, Ya," kata Hellena tersipu malu.
Suara Hellena tersendat, dalam senyum dan rasa syukur, tak terasa ada bulir air dingin yang dirasanya luruh di sudut matanya.
"Iya. Cerewet."
Abizar mencelos. Menghindari senyuman Hellena yang begitu manis. Mempesona.