Aku bangun sedikit telat pagi ini, tapi belum sepenuhya telat. Aku hanya perlu bersiap-siap dalam durasi yang lebih singkat daripada hari-hari biasanya kalau nggak ingin telat sampai di sekolah. Jadi, aku belum bisa diklaim benar-benar telat bangun dan pasti akan telat sampai di sekolah, ‘kan?
Setelah acara mandi dan insiden masuknya Mas Nino ke kamarku tanpa mengetuk pintu sebelumnya, aku nggak bisa memejamkan mata lagi setelah itu. Entah apa yang membuatku nggak bisa terlelap kembali kemarin malam, mungkin karena aku masih perlu beradaptasi dengan suasana kamar baru ini atau karena aku baru saja mandi sehingga pikiranku kembali segar dan mengakibatkanku sulit memejamkan mata. Dan kemungkinan terakhir adalah... aku yang masih mengingat insiden ketika Mas Nino yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku ketika aku sedang dalam kondisi yang sangat memalukan? Ah, sudahlah. Lupakan saja.
Aku sudah sekuat tenaga mencoba untuk kembali memejamkan mata kemarin malam, namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya jam 5 pagi aku baru bisa terlelap dan dibangunkan oleh alarm satu setengah jam kemudian.
Beginilah kondisiku pada jam enam lewat empat puluh limat menit pagi ini, aku bangun dengan kesadaran yang sulit terkumpul seluruhnya dan melangkah menuju kamar mandi dengan langkah yang sempoyongan layaknya orang yang hampir pingsan. Begitu pun dengan mataku yang kini berkunang-kunang. Kalau nggak mengingat pagi ini aku harus ke sekolah, sepertinya aku akan terus tidur sepanjang hari sampai melewatkan sarapan dan makan siang.
Tapi sayangnya, itu hanyalah angan-angan semata yang nggak akan terwujud karena kini aku sudah berdiri di bawah pancuran shower yang sedang mengguyur seluruh tubuhku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
Aku memakai seragamku dengan cepat dan mengoleskan sapuan lip balm pada bibirku sebelum meninggalkan kamar. Tentunya aku sudah mengeringkan rambutku terlebih dahulu dengan pengering rambut yang kutemukan di laci meja rias sampai rambutku hanya tersisa setengah basah sehingga ujung-ujungnya nggak meneteskan air yang akan membasahi seragam sekolahku.
Saat aku menuruni tangga dan sampai di ruang makan, tampak Mas Nino yang membawa dua piring makanan di tangannya. Pria itu meletakkan salah satu piring itu di hadapanku ketika aku baru saja menempati salah satu kursi yang menghadap pada meja makan.
Mas Nino menyodorkan piring berisi nasi goreng dengan potongan sosis dan telur mata sapi di atasnya. Sarapan ini tampak menggugah selera. Belum sampai di sana, pria itu juga meletakkan segelas air putih di sebelah piringku dan secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
"Ini nasi gorengnya keasinan, Om," protesku setelah menelan suapan pertama nasi goreng buatan pria itu. Setelah suapan nasi goreng itu tandas dari mulutku, aku segera meraih gelas berisi air minum yang berada di sebelah piringku lalu meneguknya sebanyak 2 tegukan.
Pria yang sedang duduk di ujung meja makan dengan setelan kantornya itu mendelik padaku. Tangannya berhenti menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut. "Heh, ini seharusnya tugas kamu untuk siapin sarapan. Udah numpang di sini, nggak berkontribusi sedikit pun dalam acara masak memasaka dan masih berani protes lagi sekarang?!" desis Mas Nino dengan berang setelah menelan makanan yang ada di dalam mulutnya.
"Minta banget diusir," lanjut pria itu dengan nada mencemoohnya.
"Ngapain gue masak kalau lo bisa masak, Om. Gue nggak bilang masakan lo nggak enak, cuma keasinan doang. Kritik dan sarannya diterima dong, Om. Nyolot banget, sih, jadi orang!" ujarku dengan nada sewot yang nggak mau kalah.
"Sak karepmu," balas Mas Nino acuh, bertepatan dengan piringnya yang sudah bersih kinclong tanpa ada sebutir nasi pun masih tertinggal di sana.
"Nasinya jangan ada tersisa sedikit pun. Awas aja kalau ketahuan kamu buang-buang makanan. Banyak orang yang kelaparan di luar sana, kalau kamu buang makanan itu artinya nggak bersyukur. Ngerti?!" lanjut Mas Nino setelah meletakkan piring bekas makannya ke dalam bak pencucian piring.
"Iya, Om. Bawel banget, sih. Udah kayak emak-emak beranak lima aja lo," cibirku lalu kembali melanjutkan acara makan nasi goreng keasinan yang ada di hadapanku ini.
Setelah mendengar cibiranku, Mas Nino kemudian melengos pergi meninggalkanku seorang diri di ruang makan tanpa berkata apapun. Hanya bantingan pintu rumah yang terdengar mengiringi kepergian pria itu.
*
Aku mengernyitkan dahi sampai membentuk beberapa kerutan kecil di sana ketika mataku nggak menemukan mobil dan supir yang biasa mengantarkanku ke sekolah. Indra penglihatanku mengelilingi perkarangan rumah Mas Nino, namun aku nggak bisa menemukan dua elemen yang selalu menungguku di depan rumah sebelum berangkat ke sekolah.
Niatku yang ingin menelepon ayah pun urung ketika melihat waktu yang tertera pada layar ponselku. Sudah jam setengah delapan dan aku belum berangkat ke sekolah? Mimpi buruk!
Jariku segera mengutak-atik layar ponsel untuk memesan ojek dari salah satu aplikasi layanan penyedia ojek online yang bernama Fetch. Nggak sampai 5 menit, seorang ibu dengan jaket bewarna merah muda yang bertuliskan Fetch di punggungnya sampai di depan rumah Mas Nino.
“Pagi, Neng. Atas nama Kezia Kras—Krasnitari?” tanya ibu ojek itu.
Aku segera mengangguk dan menerima sodoran helm dan shower cap dari wanita itu kemudian duduk di jok bagian penumpang sebelum ibu itu melajukan motornya.
“Bu ... tolong ngebut, ya, kalau bisa. Saya udah mau telat bentar lagi,” ujarku sambil mengaitkan tali yang berada pada ujung helm bewarna pink yang sedang kukenakan saat ini.
*
"Oi, Kez. Supir lo kemana? Tumben naik Fetch. Biasanya lo paling nggak mau naik ojek online begitu," kata Arumi yang kebetulan berpas-pasan denganku di depan gerbang sekolah.
Aku terdiam sejenak dengan otak yang memikirkan kalimata apa yang harus kugunakan untuk menjawab pertanyaan Arumi.
"Supir gue nggak masuk. Ya, udah, gue pikir sekali-sekali naik Fetch 'kan nggak masalah," jelasku sambil menyamakan langkahku agar sama dengan langkah Arumi.
"Eh, nanti malam kita ke birthday party Vanessa loh. Lo nggak lupa, 'kan?" Mataku terbelalak ketika mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut Arumi. Langkahku bahkan sampai terhenti dengan ekspresi wajah yang melongo kebingungan.
"Emangnya hari ini? Bentar-bentar, ini ‘kan hari Sabtu, ya? Mampus, gue beneran lupa. Nggak ingat sama sekali, sumpah," gumamku panik. Seharusnya memang aku nggak sepanik ini karena ini bukan acara ulang tahunku, tapi yang membuatku panik adalah aku belum membeli dress baru yang harus sesuai dengan dress code yang tertera di undangan. Parahnya, aku belum pernah memiliki gaun dengan warna seperti yang tertulis di undangan.
"Mana gue belum beli dress sesuai warna dress code-nya lagi," lanjutku mengeluh pada Arumi yang sudah duduk di kursi yang bersebelahan dengan kursi yang kududuki saat ini. Aku dan Arumi adalah teman sebangku sejak tahun pertama sekolah menengah atas. Berarti terhitung sudah 3 tahun aku berbagi kursi dengannya hampir setiap hari di sekolah. Bahkan guru-guru yang mengajar kami pun seolah sudah tahu dengan posisi duduk kami yang sama setiap tahunnya sehingga dijuluki dengan sembutan kembar sejoli.
"Dress code-nya warna apa, sih? Astaga, mana lagi itu undangannya," gerutuku yang sedang menggulir layar ponsel, berusaha mencari undangan yang dikirimkan oleh Vanessa sekitar dua minggu yang lalu.
"Warna lilac, Sayangku," kata Arumi sambil mengeluarkan bukunya dari dalam tas.
"Habislah, ah. Gue mana ada dress warna begitu," gumamku sambil mengacak rambut. "Ya, udah. Habis pulang sekolah, kita nge-mall, ya, untuk beli dress gue," sambungku pada Arumi sembari menatap gadis itu.
Setelah berpikir beberapa saat, Arumi pun membentuk tanda lingkaran dengan menempelkan ujung ibu jari dan jari telunjuknya kemudian bergumam, “Oke.”
*
Aku menghembuskan napas lelah setiap kali bel berkumandang yang menandakan bahwa para murid sudah melewatkan 40 menit durasi pembelajaran. Entahlah, di tahun terakhirku duduk di bangku sekolah menengah ini, aku semakin nggak antusias dengan semua mata pelajarannya. Entah itu karena gurunya yang nggak asyik dan membosankan atau malah memang mata pelajarannya yang nggak kusukai.
Nggak tahu alasan kuat apa yang membuatku akhirnya memilih rumpun ilmu sains dan matematika daripada sosial humaniora. Tapi, ada satu hal yang kuketahui, yaitu aku sangat membenci sesuatu yang berbau hafalan karena aku benar-benar nggak mampu menghafal dengan baik.
Di samping itu, aku lumayan bisa menguasai pelajaran yang merupakan ilmu pasti seperti kimia, fisika, dan matematika. Bisa menguasai bukan berarti aku menyukainya, ‘kan? Mungkin itulah alasan utama mengapa aku bisa sampai terdampar di jurusan saintek ini.
“Ya, ampun, Kezia. Capek gue liat lo gambar-gambar di atas meja setiap hari,” keluh Arumi yang mendapati diriku sedang menggambar wajah-wajah karakter dalam mode chibi di atas meja dengan pensil mekanik.
“Bosen banget gue. Nggak bohong, deh. Kepala gue udah mau pecah rasanya setelah dengar Pak Bob yang baru aja terangin materi senyawa karbon,” ujarku dengan nada yang nggak bersemangat.
“Lo bayangin aja gimana caranya gue bisa hafal rumus struktur, gugus fungsi, contoh senyawa, sama namanya juga, Mi. Itu sama aja kayak membunuh gue secara nggak langsung,” lanjutku lesu namun dengan emosi yang tersurat dalam kalimatku.
“Alah, lo mah sekarang ngeluh-ngeluh. Nanti pas giliran ujian aja tangannya selancar kereta api. Malas, ah, gue ngomong sama lo,” balas Arumi yang sudah hendak melengos pergi.
“Mi, s**u stroberi 2 kotak, ya,” pesanku dengan volume suara yang sedikit keras sebelum gadis itu benar-benar menghilang dari pandanganku.
*
Seperti janji kami saat berpas-pasan di gerbang sekolah tadi pagi, Aku dan Arumi pun benar-benar pergi ke mal setelah jam sekolah berakhir. Kami langsung masuk ke dalam sebuah toko pakaian wanita sesampainya kami di mal tersebut. Arumi pergi ke bagian etalase atasan, sedangkan aku ke etalase dress yang berada di belakang etalase atasan.
Semua pakaian yang ada di toko ini seperti memancing nafsuku untuk membawa mereka pulang. Tanganku mengambil sebuah dress bewarna lilac yang berbahan sifon di bagian lengannya sehingga sedikit transparan dan menjuntai sampai bagian betis karena dress itulah yang langsung menarik perhatianku saat pertama kali menatap jajaran dress yang tergantung di hadapanku.
Aku menolak tawaran pramuniaga toko saat salah satu dari mereka hendak membantuku. "Mi, gue ke fitting room dulu, ya," kataku sedikit berteriak pada Arumi yang berjarak lumayan jauh dariku. Untungnya toko nggak terlalu ramai sehingga ulahku tadi nggak menjadi pusat perhatian banyak orang.
Setelah mencoba dress yang kuambil tadi, aku keluar dari fitting room dan menemukan Arumi sedang duduk di sofa yang berada di depan ruang ganti. Gadis itu menyilangkan kedua kakinya sambil mengamati ponsel yang berada di tangannya.
"Gimana? Bagus nggak?" tanyaku sambil memutar tubuhku sehingga dress yang kukenakan pun mengembang dan berputar mengikuti gerakanku.
"Ya ampun, Mi. Itu lo mau ke party atau mau ketemu calon mertua, sih?" cibir Arumi yang sudah bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiriku.
Tangan Arumi berada di pundakku untuk menghentikan pergerakanku. Gadis itu meneliti penampilanku dari atas sampai ke bawah seperti mesin scanner ketika berdiri di depanku. "Lo tunggu di sini, jangan ke mana-mana." Arumi mengacungkan jari telunjuknya di depan wajahku sebelum berlalu dari hadapanku.
Dua menit aku berdiri sambil memainkan ponsel, Arumi akhirnya kembali dengan tangan yang membawa sepasang stiletto heels bewarna gading dan sebuah dress bewarna lilac yang tersampir di lengannya.
"Ini, cobain sana. Pasti pilihan gue lebih bagus. Your fashion taste is just too old fashioned, Sayangku," kata Arumi sambil menyodorkan benda-benda yang berada di tangannya padaku lalu mendorong kecil pundakku untuk masuk kembali ke dalam ruang ganti.
Aku mendelik pada Arumi sebelum benar-benar masuk ke dalam fitting room dan menyibak tirainya agar tertutup. Sementara gadis itu hanya terkekeh santai dengan cengiran lebar di bibirnya ketika mendapatkan delikan dariku.
Gila, ini baju apaan? batinku saat menatap pantulan diriku yang ada pada cermin di depan. Dress kedua yang dibawakan Arumi ini memang lebih elegan dan cantik, tapi... modelnya lebih terbuka dari dress yang kucoba sebelumnya.
“Miskin bahan ini namanya,” gumamku pada diri sendiri sambil menatap ke bawah untuk meneliti dress yang sedang kukenakan.
Belum sempat aku berbalik badan menghadap pada tirai yang ada dibelakang tubuhku, tirai ruang ganti itu sudah tersibak lebih dulu. Sosok Arumi tampak menyandar pada tembok pemisah antar ruang ganti sambil melipat tangannya di d**a. Gadis itu juga ikut menatap pantulan bayangan diriku yang ada di cermin.
"Perfect!" decak Arumi puas sambil mengacungkan ibu jarinya.
Aku menatap Arumi dengan kedua alis yang berkerut. "Ini yang lo bilang perfect, Mi?" gumamku sambil melirik ke bawah, memperhatikan pakaianku dari atas sampai ke ujung kaki.
"Iya, dong. Ini baru namanya party dress yang benar. Bukan kayak pilihan lo tadi yang old fashion dan terlalu tertutup."
Aku berbalik menghadap Arumi. "Kalau dress pilihan gue tadi terlalu tertutup, pilihan lo ini terlalu terbuka, Arumi. Lihat ini, bahuku sampai nampak-nampak semua," keluhku.
Arumi memutar bola matanya mendengar keluhanku. "Percaya, deh. Itu cocok banget untuk lo, Kez. Jangan ngomel mulu, deh!" balas Arumi yang juga sudah mengomel.
"Ini lagi." Kakiku menendang ke depan seperti menendang angin yang nggak kasat mata, bermaksud untuk menunjukkan stiletto heels yang terpasang di kakiku pada Arumi. "Sakit banget jari kaki gue kejepit. Lo ngapain sodorin sepatu model kepala runcing begini, sih, ke gue. Mendingan juga pakai sneakers, aman dan nyaman. Kalau heels begini, mah, mengancam nyawa," sambungku dengan ekspresi sebal.
"Banyak omong, deh, anak ini. Buruan tukar pakaian lo, udah sore banget ini. Gue yang traktir semuanya, deh, biar mingkem itu muncungnya," balas Arumi yang langsung menerbitkan senyuman lebar pada bibirku. Akhirnya ekspresi sebal dan misuh-misuh pun sirna dari wajahku setelah mengetahui fakta bahwa aku akan mendapatkan barang mahal yang gratis dari Arumi.
Arumi langsung merebut dress dan sepatu dari tanganku setelah menyibak tirai ruang ganti. Gadis itu lalu berjalan cepat menuju meja kasir dan melakukan p********n dengan kartu debitnya.
Aku berjalan di sisi Arumi sepanjang perjalanan menuju area parkiran mobil dengan senyum lebar, sedangkan Arumi mendelik padaku dengan mata yang menyorot tajam pada sesekali.
Tapi aku sudah biasa dengan delikan gadis itu sehingga aku memilih untuk mengabaikannya. Toh, kami sudah saling mengenal selama 6 tahun. Biarkan saja gadis itu mendelik, besok pagi ia juga akan menyapaku lagi di sekolah. Hal seperti ini sudah terulang ribuan kali, jadi aku nggak akan mengkhawatirnya masalah seperti ini lagi.
Kapan lagi 'kan dapat barang gratisan begini? Lagi pulaa, dress dan sepatunya sebenarnya nggak terlalu buruk kok. Apalagi, dibayarin oleh Arumi, nilai plus barang-barang itu langsung meroket naik sampai ke angkasa luar.