Chapt 10. Unexpected Morning

2011 Kata
*** Rumah Seto Rahdiansyah, Jakarta, Indonesia., Halaman samping., Mereka masih sibuk menata banyak barang disana. Seperti biasa, tidak hanya Seto, tetapi Sri juga ikut membantu membereskan gerobak siomay milik Kencana. “Ran, kamu uda sarapan belum?” tanya Seto melirik keponakannya. Kencana hendak memasang gas elpiji 3 kg di dalam gerobak itu, dia melirik sang Paman sambil mengangguuk kecil. “Bentar lagi, Paman. Tanggung ini,” jawabnya dengan nada lembut, khas seorang Ranupatma Sri Kencana. Tidak lama berselang waktu, terdengar suara lantang dari dalam rumah. “Ini lontong sayur siapa yang belum dimakan??” teriak seorang wanita dari arah dapur. “Punya Ranu, Bi. Sebentar lagi siap,” ujar Kencana sedikit meninggikan suaranya agar terdengar sampai ke dalam rumah. Seto sedikit melirik ke dalam rumah. “Sebentar, Ma. Itu dia lagi masang gas,” jawab Seto. Seorang wanita berjalan keluar rumah. Eskpresinya dipandang bingung oleh Sri. “Masih pagi, Nilam. Mbok ya kalo ngomong itu pelan-pelan. Kami juga bakal dengar diluar sini,” ujar Sri yang duduk di bangku panjang sambil mengelap beberapa mangkuk disana. Nilam menghela panjang napasnya. “Iya, Bu. Ini loh si Ranu! Kebiasaan kalau jam sarapan bukannya sarapan dulu, entah apa-apa yang dia kerjain! Takutnya lontong sayurnya nanti keburu medok,” ujar Nilam mendekati gerobak siomay milik Kencana. “Biar aku yang pasang ini! Cepat sarapan! Nanti kalau lontongnya medok, jadi gak enak!” ketus Nilam mengambil alih pekerjaan Kencana. Dia mendengus kesal. Padahal dia masih bisa menahan lapar sebab pagi shubuh tadi dia sudah sarapan teh manis hangat dan roti. “Bi, jangan lupa nanti di tes dulu. Takutnya kayak kemarin, gak bisa nyala,” ujar Kencana memberi pesan. “Gak usah ngajari orang tua! Uda sana sarapan!” sahut Nilam lalu berjongkok dan memasang gas elpiji itu. Kencana masuk ke dalam rumah sambil mengibas kedua telapak tangannya. Lebih baik dia sarapan dengan cepat agar bisa membereskan yang lain, supaya cepat selesai dan dia bisa segera pergi ke kampus. Sri melihat Nilam tengah memasang gas, sedangkan Seto sedang menyusun beberapa barang lain. Dia tahu kalau Nilam sayang terhadap Kencana, hanya saja caranya yang salah. Atau mungkin lebih tepatnya caranya sedikit kasar. Sri pikir, mungkin Nilam tidak mau jika Kencana tumbuh menjadi gadis manja dan pemalas seperti kedua cucu perempuannya yang lain, Puspa dan Pitaloka. Dia memang kurang menyukai sikap kasar Nilam. Tapi di sisi lain, Sri tidak mempermasalahkan itu sebab Nilam juga tidak mengabaikan Kencana dari segi lainnya seperti kesehatan dan kebutuhan sehari-hari. ..**.. Pagi itu, Kencana memang tidak ada jadwal kuliah. Dan dia sengaja pergi pagi supaya bisa berjualan di depan kampus. Sebenarnya dia tidak berniat untuk berjualan disana, tapi entah kenapa rasanya dia sedang tidak ingin berkeliling pagi ini. Mungkin setelah dia selesai dari jam belajar siang nanti, dia akan berkeliling seperti biasanya. Baginya, berkeliling kota sudah menjadi hal biasa. Tidak ada rasa malu dalam benak Kencana. Karena dia pikir, pekerjaan yang dia lakukan halal dan tidak memalukan. Kalau dia tidak membantu Paman dan Bibinya, mungkin saja mereka akan kekurangan uang setiap hari. Dan Kencana sudah ikhlas menjalani pekerjaan ini sampai dia selesai kuliah nanti. *** Universitas Yara Althafa, Jakarta, Indonesia., Mobil mewah berwarna hitam masuk melalui jalur gerbang utama kedua. Semua orang sudah tahu bahwa sang pemilik mobil adalah pemilik kampus swasta elit bertaraf Internasional di Jakarta. Semua orang memandang ke arah yang sama termasuk Kencana yang berada di depan gerbang kampus. ‘Sepertinya dia kuliah gak tiap hari ya?’ bathin Kencana bertanya-tanya. Saat ini dia tengah mencuci beberapa mangkuk di sebuah tong berukuran sedang. Sesekali dia melihat ke arah ujung sana, seorang gadis keluar dari dalam mobil setelah pintu mobil dibuka oleh seorang pria berkepala botak. ‘Pintu mobil aja harus dibuka begitu ya? Orang kaya mah bebas,’ bathinnya tersenyum tipis. Entahlah, Kencana tidak mau lagi memperhatikan orang-orang yang bukan satu level dengannya. Dia tidak mau sampai khilaf lalu membandingkan hidupnya dengan kehidupan orang-orang kelas menengah ke atas. Dia terus melakukan kegiatannya disana sambil bergumam, bernyanyi. Hingga suara beberapa orang mendekat ke arahnya. “Beli siomaynya dong. Makan disini ya, kami empat orang.” Kencana melirik ke arah mereka sambil mengangguk paham. “Sebentar ya, empat mangkuk jadinya ya?” ujar Kencana seraya menegaskan. “Iya, empat mangkuk! Masa harus kami perjelas sih?!” ketus salah seorang wanita berekspresi tidak suka. Kencana menatapnya sambil menghela napas. “Oh, iya. Maaf-maaf. Silahkan duduk dulu,” ujar Kencana terpaksa mengulas senyuman manis. Dia naik dan duduk diatas sepeda motornya, lalu mulai menyiapkan pesanan pembelinya. Telinganya tidak tuli saat beberapa orang mahasiswi itu mengejeknya, tapi Kencana berusaha untuk sabar. “Kok bisa sih dia jualan disini?” “Sssttt … nanti aja kalo ngomong. Gak enak ada orangnya.” “Iya, nanti aja. Kita kesini kan cuma mau ngerasain aja, enak gak sih. Kok kata Kakak kelas siomay ini paling laris.” “Uda dibilang jangan kuat-kuat ngomongnya!” “Biar aja, biar dia dengar sekalian! Ini kampus elit! Semua penjual cuma boleh jualan di kantin doang kan? Masa iya dia boleh jualan di depan kampus kita! Gue malu tahu gak sih padaan?!” “Sssttt …” “Suara lu kecilin dikit!” “Memang bener kan? Apalagi gerobak bututnya itu, dih! Jijik gue litany!” Glek! Kencana memejamkan erat kedua matanya. Dia berusaha untuk tidak menitihkan air mata ketika hinaan itu kembali terdengar di telinganya. Yah, Kencana tahu kalau keempat mahasiswi ini sepertinya memang mahasiswa baru tahun ini. Sebelumnya, sudah dikatakan kalau Kencana memang berjualan di depan gerbang kampus atas izin yang telah disepakati oleh pihak kampus. Dulu, sempat ada beberapa mahasiswa yang berusaha menghancurkan gerobaknya diluar area kampus. Tapi setelah beberapa tahun berlalu, sekarang mulai terjadi lagi. Kenapa orang-orang kaya selalu seenaknya menghina orang kecil seperti dia. Rasanya Kencana ingin sekali menegur mereka secara langsung. “Hey! Lama amat?! Waktu gue berharga tahu gak lo?!” Deg! Spontan, kalimat itu membuat Kencana menoleh ke arah mereka. Sepertinya dia tidak perlu lagi menunggu lama, pikirnya. Kencana menghentikan kegiatannya, lalu segera turun dari sepeda motornya. “Maaf, maksud kalian apa ya?” Dua orang dari mahasiswi itu langsung beranjak dari duduknya. “Mana pesanan kami?! Kok lu nyolot??” Kencana memicingkan mata. “Saya atau kalian yang nyolot? Sejak tadi bahasa kalian terdengar menghina saya!” Merasa tidak terima, mereka berdua menghampiri Kencana. “Siapa yang ngehina elo, hah?! Harusnya lo bersyukur bisa jualan di depan kampus kami! Dasar miskin!” Deg! Degup jantung Kencana semakin tidak karuan. Dia menggeram. “Kalau kalian membeli daganganku hanya untuk menghina, lebih baik kalian pergi saja dari sini!” ketus Kencana menatap tajam mereka satu persatu. Yah, dia tidak boleh marah karena ini masih di lingkungan kampus. Dua orang yang berwajah tidak suka, mereka langsung melotot tajam ke arah Kencana. Tanpa berpikir panjang, mereka mendorong Kencana hingga dia menabrak sepeda motornya. “Sadar diri lo miskin! Tahu diri lo lagi ngadepin anak pejabat!” “Iya, tahu nih! Dasar anak gembel! Bagus lo jualan di pasar atau depan jalan sana! Jangan disini! Bikin malu aja lo!” Dua orang mahasiswa lain mencoba untuk menghentikan aksi mereka. “Hey, udah-udah! Ntar kalau ada satpam yang liat jadi gak enak!” “Biarin aja! Biar dia sekalian diusir dari sini!” “Stop! Mending kita masuk lagi ke kampus!” “Uda lah, kita masuk saja ayo!” Tatapan tajam Kencana membuat dua orang itu kembali emosi lalu menggoyang-goyang gerobak milik Kencana. “Pergi lo! Biar tahu rasa!” “Dasar miskin!” Kencana mulai naik darah. “Pergi kalian! Kalian mahasiswi baru tapi tidak ada etika!” ketus Kencana menarik mereka sekuat tenaga, hingga mereka meringis sakit pada bagian lengan. “Awww!” “Sssshhh … sakit sekali lengan gue!” Tidak terima sebab dua orang temannya disakiti, dua orang yang lain hendak membalasnya dan mendorong Kencana. “Berani sekali kau mendorong mereka!” “Dasar tukang siomay!” Namun, tiba-tiba saja seorang pria bersetelan formal serba abu datang menghalangi tubuh Kencana, lalu bersedekap di hadapan mereka. “Hey …” Deg! Mereka berempat terkejut, spontan berhenti melangkah. Sorotan tajam dan wajah datar pria botak itu membuat mereka bergidik ngeri. “Jaga sikap kalian demi nama baik kampus ini,” ujarnya bernada dingin. Glek! Mereka berempat melirik satu sama lain. Wajahnya tampan, tapi sayangnya dia botak. Mereka hampir tidak menyangka jika pria ini ternyata sudah berusia. Yah, itu hanya feeling mereka saja. Tidak mau berlama-lama disana, mereka langsung melangkah masuk ke dalam area kampus. “Yuk, masuk!” “Iya. Yuk, masuk. Kita ada kelas tambahan.” Kencana masih menahan air mata demi menyembunyikan perasaan sedihnya. ‘Sabar, Ranu. Kau harus sabar.’ Deg! Namun, saat tahu kalau keempat mahasiswi itu sudah pergi dari sana, dia segera menjauh dari pria yang kini berbalik badan lalu menghadapnya. “Kau baik-baik saja?” Kencana diam sambil menggangguk kecil. Dia segera memeriksa keadaan gerobak siomaynya. ‘Ya Allah Ya Tuhanku, jangan sampai rusak. Semoga tidak ada yang pecah,’ bathin Kencana masih terus memeriksa gerobaknya. Pria itu ikut memeriksa gerobak Kencana. “Sepertinya tidak ada yang rusak. Tapi kalau ada yang rusak, aku akan bantu perbaiki.” Deg! Kencana langsung menoleh ke arah pria itu. keningnya berkerut. Apa maksud pria ini mengucapkan itu, pikirnya. “Maaf, maksud Anda apa ya, Pak?” Pria itu menegakkan tubuhnya membalas tatapan Kencana. ‘Apa aku terlihat seperti Bapak-Bapak?’ “Kalau ini ada yang rusak, katakan pada saya. Saya akan bantu untuk memperbaikinya,” ujarnya berbicara formal. Kencana menyadari sesuatu. Sepertinya pria ini mencoba untuk merendahkan dirinya secara tidak langsung. Dari pakaiannya, memang terlihat sepertinya dia seorang supir. Tunggu, bukankah pria ini adalah pria yang membuka pintu mobil tadi? Yah, Kencana pikir itu benar. “Sebelumnya, saya sangat berterima kasih karena Anda sudah menolong saya dari mahasiswa tadi. Tapi maaf, saya tidak butuh bantuan Anda, Pak. Dan gerobak siomay saya baik-baik saja.” Glek! Pria itu menatap lekat wanita ini. Dari nada bicaranya, sepertinya dia tipikal wanita cerdas, mandiri, dan berprinsip. Sebelum Kencana berniat untuk menyusun beberapa kursi disana, dia kembali membuka suara. “Oh iya satu lagi, Pak. Saya memang pedagang kecil. Tapi bukan berarti saya orang susah yang mau nerima bantuan dari orang sembarangan. Jadi … terima kasih sekali lagi,” ujar Kencana lalu meninggalkan pria itu dan memilih untuk mengambil kegiatan lain. Pria itu terdiam menatap gerak-gerik Kencana, hingga dia merasa gerah lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan kampus. Kencana melirik pria yang sudah menjauh dari gerobaknya. Dia menatapnya sinis. ‘Mentang-mentang pakai jas, naik mobil! Sesuka hatinya aja ngerendahi orang!’ Deg! Pria itu tertegun dan sedikit melirik ke arah Kencana saat hendak masuk ke dalam mobil. ‘Dasar uwak-uwak botak!’ Deg! Dia membelalakkan kedua matanya. ‘Uwak-uwak??’ bathinnya bingung. Pria itu sengaja membuka kaca mobilnya untuk mendengar apa saja yang wanita itu katakan. ‘Dia supir apa bukan sih? Belagu amat pakek ngerendahi secara gak langsung! Gimana pula kalau dia kaya raya beneran! Dih … amit-amit deh!’ bathin Kencana melirik ke arah mobil hitam itu dengan ekspresi sinis. Setelah itu dia kembali fokus pada kegiatannya disana. Sementara pria botak yang dimaksud oleh Kencana, dia sudah menggeram kesal di dalam mobil. Mencengkeram stiur yang tengah ia pegang. Astaga! Bagaimana mungkin tukang siomay itu mengejeknya? Apa wanita itu tidak tahu siapa seorang Gamal Abimana Althaf dibalik baju kebesaran miliknya? Yah, Gamal pikir kalau baju kebesaran yang tersimpan di dalam sebuah tas, di dekat gerobak, pasti milik wanita penjual siomay itu. Apa dia tidak takut dikeluarkan dari kampus ini, pikir Gamal. ‘Berani sekali dia mengejekku!’ “Haahhh!” Gamal menghela kasar napasnya, menatap tajam wanita yang tengah sibuk disana, tapi dia sesekali masih menatap ke arah mobilnya. Gamal merasa ada yang aneh. Kenapa pihak kampus memperbolehkan tukang siomay itu berjualan di depan gerbang utama kedua. Dia sangat penasaran sekali dengan tukang siomay itu. Jika dia menyimpan baju berlambang Yara Althafa, itu artinya dia memang benar salah satu mahasiswa di kampusnya. Tapi mahasiswa jurusan apa? Dan seistimewa apa wanita ini sampai diperbolehkan berjualan bebas di depan kampus. ‘Kau memang sangat berani sekali, Nona. Kau belum tahu siapa aku,’ bathin Gamal menyeringai bak ibliss. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN