Di sisa lain, seorang pria membuka pintu kamarnya.
Ceklek…
Kepalanya muncul dari balik pintu kamar setengah terbuka. Keningnya berkerut.
“Tidak ada suara apapun,” gumamnya di pinggir bibir.
Tapi, karena dia merasa ada yang tidak beres dengan pendengarannya, dia membuka lebar pintu kamar. Pria itu hanya memakai handuk putih sebatas pinggang.
Dia belum selesai mandi, bahkan rambutnya masih basah. Namun, karena dia lupa mengisi baterai ponsel, dia membela diri untuk keluar dari kamar mandi lalu mengisi daya ponselnya.
Niatnya hanya sebentar saja, tetapi karena ada balasan pesan dari calon istrinya, Syefa Yasmin membuat ia harus berada lama di meja kerjanya. Telinganya tidak tuli mendengar suara nyaring dari luar kamarnya.
Tadinya, dia pikir kalau suara itu pasti teriakan dari salah satu atau kedua adiknya. Atau suara sang Mommy, Chandly yang mungkin tengah memarahi Gamal.
Namun, karena dia mendengar suara bantingan keras pintu membuatnya curiga dan penasaran. Dia pikir kalau suara bantingan pintu itu tidaklah main-main.
Itu sebabnya dia langsung meletakkan ponsel dan berjalan keluar kamar. Tapi sayangnya, keadaan lantai dua baik-baik saja bahkan sangat sepi, tidak ada seorangpun disini.
“Apa aku kelelahan?” gumamnya mengerutkan kening.
Yah, sebelum masuk kembali ke dalam kamar, Gaza menyempatkan diri untuk memperhatikan lantai dua yang sangat luas dan lebar ini, tetapi tidak ada seorangpun yang mengisi. Sebab yang dia tahu kalau keluarganya yang lain tengah berkumpul di dapur.
‘Sudahlah. Aku memang sangat kelelahan,’ bathinnya sambil menghela napas panjang.
Sepertinya dia harus beristirahat penuh setelah mandi nanti. Tapi dia benar-benar heran. Kenapa telinganya bisa berubah fungsi seperti ini.
Ceklek…
Gaza kembali mengunci rapat pintu kamarnya hingga terkunci secara otomatis. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk melanjutkan acara mandinya yang tertunda.
Mungkin tidak beristirahat, setelah mandi nanti dia akan menghubungi Clave agar memanggil Dokter Ahli Telinga Hidung dan Tenggorokan. Dia harus segera memeriksakan kondisi kesehatannya secara lengkap.
Kalau memang tubuhnya sangat lelah sekali, dia harus meminta Clave untuk mengatur jadwal dan memberinya istirahat total selama 1 minggu. Karena tidak mungkin dia membiarkan tubuhnya menahan sakit walau kenyataannya dia tidak merasakan sakit apapun secara fisik.
Yah, Gaza merasa kalau dia pasti sangat lelah. Namun, tubuhnya belum merespon secara merata. Dan dia akan berjaga-jaga agar tetap bugar sebelum tubuhnya semakin lelah dan akhirnya dia jatuh sakit.
…
Kamar Gamal.,
Pintu tertutup kasar. Gamal bergidik ngeri mendekap kedua tangannya di dadda sambil berjalan mundur.
“Dad?? Kau baik-baik saja??” tanya Gamal memastikan dengan tampang tidak berdosa.
Berbeda dengan pria bernama lengkap Adyrta Abraham Althaf. Dia yang masih mengatur napas, hingga dadanya terlihat naik turun. Pandangannya menatap tajam putranya itu dengan tangan kiri mengunci rapat pintu kamar.
Glek!
Bulu kuduk Gamal semakin merinding melihat ekspresi sang Daddy seakan ingin memangsanya hidup-hidup.
“Dad? A-ada apa??” tanya Gamal tersenyum kecut.
Rahang Dyrta semakin mengeras. Dia mulai bertolak pinggang melihat Gamal dari atas sampai bawah.
Kepalanya menggeleng kecil, melihat putranya yang satu ini benar-benar mewakili karakternya saat masih muda dulu. Dyrta menyesali karakternya yang justru menurun di salah satu putranya, Gamal yang lebih sering membuatnya jengkel bukan kepalang.
“Istighfar, Dad. Aku, putramu. Ya Tuhan …” Gamal semakin mengusap lembut kedua lengan telanjangnya seraya menahan perasaan merinding.
“Diam!”
Glek!
Gamal terkejut hingga tubuhnya seperti tersengat listrik secara spontan.
“Astaga, Dad! Ada apa denganmu? Kau sehat??”
Dyrta menarik panjang napasnya. Sabar, dia harus sabar menghadapi bocah satu ini.
Kesalahan fatal adalah didikan manja kedua orang tuanya yang terlalu mengasihani dua anak laki-laki bernama Aiyaz dan Gamal. Sehingga setelah dewasa dan tubuh mereka lebih besar darinya, dua orang ini semakin berbuat sesuka hati.
Kalau sudah begini? Semua pokok permasalahan pasti akan menyeret namanya. Karena Aiyaz dan Gamal memang dua orang yang dia olah agar bisa mengurus perusahaannya, Althafa Sport Car.
Diamnya sang Daddy membuat Gamal mengendikkan bahu. Gamal pikir, sebaiknya dia mulai bersiap-siap mengambil langkah kaki seribu untuk berlari cepat menuju kamar mandi.
Glek!
Saat dia bergegas balik badan hendak berlari.
“Gamal Abimana,” gumam Dyrta pelan masih mengatur emosinya yang belum meledak.
Glek!
Gamal kembali berbalik badan menghadap sang Daddy, menarik kedua tangannya ke atas, sambil menguap.
“Kau mau kemana, hmm?” tanya Dyrta masih bertolak pinggang memperhatikan gerak-gerik putranya yang sangat pecicilan sekali.
Dia menunjuk ke arah kamar mandi.
“Aku?? A-aku mau mandi, Dad. Tubuhku sudah gatal sekali,” ujar Gamal menggaruk-garuk asal bagian tubuhnya.
“Kita akan sambung lain waktu, Dad. Okay?” sambungnya lagi, perlahan mundur beberapa langkah.
Dyrta mengangguk kecil.
“Jangan banyak tingkah, Gamal! Diam dan tenang! Aku mau bicara!” ujarnya dengan gigi masih merapat sebab menahan emosinya sendiri.
Glek!
“Ada apa, Dad? Apa tidak bisa kita bicarakan nanti?” tanyanya santai sambil mengusap lehernya yang terasa tercekat. Dia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Dyrta melihat Gamal dari atas sampai bawah. Putranya yang sudah gundul sesuai janjinya, tetapi memiliki alibi tepat untuk memasang tato seperti dirinya. Hal yang sudah menjadi larangan dalam keluarga mereka.
“Angkat kedua tanganmu,” ujar Dyrta menyuruh tanpa basa-basi.
Kalimat sang Daddy membuat Gamal mengerutkan kening.
“Untuk apa?” tanya Gamal menaruh curiga sambil berjaga-jaga diri.
Dyrta harus berulang kali menarik napas untuk menetralkan emosi demi menghadapi s****a kecil yang sekarang sudah dewasa dan lebih cerdas darinya.
“Kalau Daddy bilang angkat, ya dilakukan, Gamal!”
Glek!
Astaga! Dia tahu apa kesalahannya, tapi pria ini tidak harus menghukumnya seperti anak kecil. Apa pria ini lupa kalau dia sudah dewasa bahkan sudah bisa memberinya cucu, pikir Gamal asal.
“Angkat!”
Gamal menggeleng cepat. Dia tetap bersikeras menolak permintaan sang Daddy. Kedua tangannya menyilang, menutup bagian depan tubuhnya. Karena dia masih memakai handuk sebatas pinggang, dia terus berjalan mundur ke belakang.
“Kau tidak mau??” tanya Dyrta bersuara datar.
“Ayolah, Dad! Kenapa kau seperti ini?? Aku bukan anak kecil lagi!” Gamal berkilah.
“Hahhh!” Dyrta menghela kasar napasnya.
“Kau masih ingat kalau sertifikat resmi Althafa masih sepenuhnya menjadi hakku, hmm??”
Glek!
Sial! Daddy-nya mengancam dengan cara yang tidak dia suka, membuatnya mati kutu. Dengan wajah terpaksa, Gamal mengangkat kedua tangannya ke atas seperti hendak ditangkap oleh pihak berwajib.
Dyrta mendekati putranya yang sudah berwajah kesal.
“Jangan bergerak!” ketusnya.
“Hmm …” Gamal memutar malas bola matanya. Dia tahu kalau pria ini pasti ingin mencari tahu letak tato lain di tubuhnya. Padahal dia hanya memasang dua tato saja.
“Putar!” pinta Dyrta masih bertolak pinggang, menatap tajam Gamal.
Bak seperti anak kecil, Gamal langsung memutar cepat tubuhnya dalam hitungan detik.
“Astaga! Pelan-pelan! Kau pikir mataku secepat tornado, huh?!”
“Daddy tidak ada bilang durasinya cepat atau lambat! Kenapa jadi memarahiku?!”
Dyrta benar-benar harus bersabar ekstra menghadapi anak kecil ini. Dia tidak paham, karakter berlebihan Gamal menurun entah dari siapa.
Sebagai seorang Daddy, Dyrta mengakui kalau dia memang nakal saat mulai remaja sampai sebelum dia bertemu sang istri, Chandly Yuria Afnan. Tetapi dia tidak pernah membantah ucapan kedua orang tuanya.
Ketika dinasehati pun, dia akan tetap diam dan mengiyakan, walau dia akan melupakannya bagai angin lalu. Sangat berbeda sekali dengan Gamal.
Putranya yang satu ini berani sekali membalas ucapannya bahkan tidak sungkan membentaknya. Walau dia tahu Gamal memanglah putra yang baik.
Tapi lihatlah? Dia sangat berbeda sekali dengan kembarannya, Gaza yang lebih kalem dan pendiam.
“Oke. Putar badanmu, tapi pelan-pelan saja.” Dyrta terpaksa merendahkan nada bicaranya dan mencoba untuk melepas ekspresi geramnya.
“Nah … begitu dong, Dad. Sama anak itu harus baik. Kalau sudah tua nanti, anaknya bisa ikhlas mengurus orang tuanya,” ujar Gamal berbahasa Indonesia sambil memutar tubuhnya perlahan.
Ya Tuhan … Dyrta langsung memijit sisi kepalanya yang mulai berdenyut.
Bagaimana mungkin Gamal bersikap seperti ini saat mereka tengah berdua saja. Ketika ada orang ketiga, Gamal hanya bisa membuang badan dan tidak berani membantahnya. Dia pikir, apakah sikapnya terhadap sang Daddy, Zu dulu seperti ini?
Dyrta memperhatikan tubuh sang putra dari atas sampai bawah. Dia harus benar-benar teliti, jangan sampai anak ini mengecohkan dirinya.
Ketika Gamal mulai menghadapnya, dia kembali membuka suara.
“Apa hanya itu tatomu?” tanya Dyrta membaca ekspresi putranya.
Gamal mengangguk bagaikan anak laki-laki berusia sekolah dasar.
“Iya,” jawabnya santai.
Dyrta mengangkat tangan kanannya, menyuruh Gamal untuk merundukkan kepala.
“Maksud Daddy??” tanya Gamal mengerutkan kening. Dia tidak paham dengan bahasa isyarat pria ini.
“Ayolah, Dad … aku tidak terlalu paham dengan bahasa isyaratmu,” ujarnya memasang wajah kesal.
“Hahhh! Merunduk!” ketus Dyrta kembali meninggikan nada bicaranya.
“Oh …” balas Gamal hendak merunduk.
Tapi tunggu dulu, untuk apa pria ini menyuruhnya untuk merundukkan kepala. Sementara kepalanya tidak bertato.
“Kepalaku botak, Dad! Untuk apa kau memeriksanya!” ujar Gamal merasa tidak terima.
Dyrta mendekati putranya yang mulai menghindarinya.
“Diam, tidak?!”
“Tidak!”
“Gamal! Kemari!”
Dyrta menarik kasar lengan kiri putranya, lalu memiting leher Gamal dengan lengan kanannya. Sekuat tenaga ia menahannya, agar putranya ini tidak lolos.
“Kau ini! Pantas saja macan betina itu selalu marah-marah padaku!”
Dia menarik leher putranya sampai setinggi dirinya. Tidak peduli jika bocah ini harus merunduk hingga lelah.
“Astaga, Dad! Apa-apaan ini!” ujar Gamal tidak terima. Tetapi dia tidak membantah atau menghindar.
Dyrta memeriksa kepala putranya yang benar-benar asli tanpa rekayasa.
“Kau benar-benar membotak kepalamu,” gumamnya sambil memperhatikan urat yang terlihat disana.
Gamal sudah mendengus kesal.
“Dad! Lepaskan! Jangan konyol!”
“Diam!”
“Demi Tuhan, Dad! Apa aku sudah gila mentato kepalaku?!”
“Diam!”
Dyrta semakin mencekik leher putranya dengan perasaan geram.
“Astaga, Dad!”
“Aku belum selesai, Gamal! Kau mau aku mematahkan lehermu?!”
Gamal menghela kasar napasnya. Jika saja ini bukan orang tuanya, mungkin pria ini akan tinggal nama dalam hitungan menit.
Dia langsung memeluk tubuh sang Daddy dengan erat.
“Sebelum kau mematahkan leherku, aku akan mematahkan ini, Dad.” Gamal menyeringai dan sedikit menekan kedua lengannya pada bagian pinggang sang Daddy.
Astaga! Dyrta sudah kehabisan kata-kata. Dia melepas kasar lengannya dari sana hingga putranya terlihat bernapas lega.
“Haahhh … hampir saja cucu kesayangan Grandma lenyap,” ujar Gamal sambil mengelus dadda, mundur beberapa langkah sambil melirik sang Daddy yang masih berwajah seram.
Dyrta bertolak pinggang sambil memperhatikan tubuh putranya dari atas sampai bawah.
“Hanya dua itu saja tatomu?”
Gamal mengerutkan kening sambil bersidekap dadda.
“Apa Daddy tidak bosan bertanya hal yang sama?”
Dyrta mendatarkan wajahnya.
“Astaga, Dad! Tentu saja hanya dua. Hanya ini dan ini!” ujarnya sambil menunjukkan dua tato di kanan dan kiri tangannya.
Ekspresi pria ini memang tidak main-main. Jangan sampai sang Daddy marah kembali seperti dulu, sampai sang Grandpa, Zu turun tangan untuk menenangkannya agar tidak menurunkan jabatannya sebagai seorang Presiden Direktur Althafa Sport Car.
“Tidak mungkin aku berbohong pada Mommy, Dad! Aku juga takut seperti Malin Kundang!” ketus Gamal lagi.
Dyrta berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia memperhatikan Gamal yang ikut meliriknya lalu menatap jam dinding.
“Kenapa kau memakai tato? Apa karena aku memiliki tato lalu kalian mencobanya, begitu?” tanya Dyrta dengan nada bicara pelan.
Gamal melempar pandangannya ke arah lain.
“Yah … aku—” ucapan Gamal terhenti ketika mata elang itu kembali menatapnya.
“Maksudku, kami hanya mau saja. Karena … teman Mas Aka membuka usaha baru lalu menawarkan ini pada kami. Dan—”
“Dan apa?!”
“Dan … Daddy saja bertato, masa kami tidak boleh?” ujar Gamal santai.
Dyrta terdiam. Entahlah, dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Mungkin akan lebih baik jika dia segera pergi dari sini demi kesehatan jantungnya.
Percuma saja dia menasehati putranya yang satu ini. Dia pasti akan tetap mencari alasan lain, bak seribu alasan selalu ada di kepalanya setiap saat.
Namun, saat dia hendak berbalik badan. Dyrta menatap putranya, lalu melirik ke arah bawah.
Sementara Gamal mengerutkan kening, melihat arah yang dipandang oleh sang Daddy. Dia cepat-cepat menutup bagian intimnya.
“Daddy mau apa?!” ujar Gamal spontan semakin mundur beberapa langkah.
Dyrta memicingkan mata, menatap lekat Gamal.
“Oh Tuhan! Yang benar saja, Dad?? Tidak mungkin aku mentatonya! Terjepit resleting saja sudah membuatku menangis darah!” ketus Gamal berusaha keras meyakinkan sang Daddy kalau dia tidak mungkin mentato kejantanannya.
“Ssshhh …” Dyrta meringis sakit.
Ekspresi sang Daddy membuat Gamal yakin kalau pria itu pasti mengingat kejadian beberapa tahun silam.
“Daddy masih ingat rasa sakitnya??” tanya Gamal menyeringai, mengejek sang Daddy.
Dyrta menghela kasar napasnya. Dia memang tidak bisa menghadapi Gamal seorang diri. Itu sama saja dia mencari celah menuju Rumah Sakit.
“Katakan pada Mas Aka, dia harus ke Jakarta! Besok atau besoknya lagi, terserah! Aku tunggu selama dua hari, dia harus sudah sampai di Jakarta!”
Gamal membelalakkan matanya. Tapi dia pikir itu mustahil.
“Tidak mungkin, Dad. Grandpa Agha datang ke New York. Lagi pula Mas Aka baru saja sampai di New York, Dad …”
“Itu bukan urusanku! Kita harus bicarakan ini secara langsung sebelum macan betina itu mengamuk!”
“Siapa, Dad? Mommy?”
Dyrta menatap tajam Gamal.
“Nyonya Adyanta Abraham Althaf,” ujar Dyrta penuh penekanan.
“Oh, Grandma.” Gamal mengangguk kecil.
“Kenapa?”
“Tidak masalah, Dad. Grandma pasti membela kami.”
Rahang Dyrta mulai mengeras.
“Tapi aku yang terancam!”
Gamal mengendikkan bahu. Dia melihat sang Daddy melayangkan tatapan tajam sebelum berbalik badan dan berjalan menuju pintu kamar.
“Aka harus balik ke Jakarta! Kau harus membujuknya!” ketus Dyrta membuka kunci pintu kamar secara manual.
Namun, dia kembali berbalik badan melihat Gamal, hingga bocah itu menghentikan langkah kaki.
“Ada apa lagi, Dad?”
Dyrta kembali menatap milik Gamal, hingga Gamal menutup kembali miliknya. Ekspresi Gamal menunjukkan kalau putranya sedikit mencurigai sesuatu.
Sebenarnya Dyrta sudah memperhatikan itu sejak tadi. Hanya saja dia berusaha menahannya. Tapi ternyata, dia tidak bisa menahan pertanyaannya ini.
“Apa milikmu besar?” tanya Dyrta menaikkan salah satu alisnya.
Gamal langsung memasang wajah bingung.
“Punyaku??”
Dyrta hanya melirik Gamal sebagai isyarat bahwa dia membutuhkan jawaban, bukan pertanyaan atas pertanyaan.
“Punyaku … besar,” ujar Gamal sambil meraba-raba miliknya. Dia melihat sang Daddy memasang raut wajah tidak percaya, hingga membuat Gamal menghela panjang napasnya.
Tanpa berbicara, Gamal sedikit menarik ke bawah celana dalamnya, hingga batang kejantanannya terlihat jelas.
“Hmm,” gumam Dyrta mengangguk kecil.
Baguslah, pikir Dyrta. Awalnya dia pikir kalau Gamal mungkin memakai celana dalam buatan sehingga kejantanannya terlihat lebih besar dari ukuran normal.
Tapi ternyata milik putranya benar-benar besar. Bahkan lebih besar dari miliknya. Itu artinya dia tidak perlu meragukan Gamal bila sudah menikah nanti.
“Ya sudah,” ujar Dyrta membuka knop pintu.
Ceklek…
“Punyaku lebih besar dari pada punyamu, Dad.”
Dyrta menghentikan langkah kaki, berbalik badan menatap tajam Gamal.
“Punyamu lebih besar belum berarti kau lebih jantan!” ketusnya lalu melanjutkan langkah kaki keluar dari kamar.
Gamal menyeringai sambil menahan tubuhnya dengan kedua tangan berada diantara pintu dan pembatas dinding.
“Aku sudah pasti jantan, Dad. Aku bisa memberimu cucu jika aku mau,” ujarnya menggoda sang Daddy yang mengabaikannya.
Dyrta enggan membalas kalimat dari putranya itu. Benar-benar menyebalkan sekali, pikirnya.
“Kau belum bisa dikatakan jantan kalau kau belum menikah dan menghamili istrimu!” ketus Dyrta tanpa berniat melihat ke arah belakang. Dia terus berjalan menuju undakan tangga di sebelah sana.
“Setidaknya kejantananku masih perkasa, Dad. Dari pada usia yang sudah separuh baya. Pasti sudah kuncup,” ujarnya asal.
Deg!
Dyrta langsung menghentikan langkah kakinya. Dia berbalik badan, memperhatikan Gamal tampak menyeringai puas.
“Coba kau ulangi sekali lagi??” tanya Dyrta melangkah lebar kembali mendekati pintu kamar sang putra.
Secepat kilat Gamal langsung menutup pintu kamarnya.
Braakk!!
Doorr! Doorr! Doorr!
“Ulangi sekali lagi!”
Gamal lemas, dia memegang dadanya lalu mengusap pelan.
“Astaga … untung saja aku cepat!”
Doorr! Doorr! Doorr!
“Aku bilang ulangi sekali lagi, Gamal Abimana!”
“Aku tidak dengar, Dad! Aku mau mandi! Bye, bye!” teriak Gamal ke arah bibir pintu.
Doorr! Doorr! Doorr!
“Gamal Abimana!!”
Doorr! Doorr! Doorr!
Gamal mengorek telinga kanan dan kirinya lalu segera berjalan cepat menuju kamar mandi.
“Astaga, kau harus mandi dengan bersih Gamal. Sebaiknya kau berendam saja!”
Doorr! Doorr! Doorr!
“Gamal Abimana Althaf!”
Doorr! Doorr! Doorr!
Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, Gamal mengambil remot khusus yang ada disana, lalu mengaktifkan tombol agar kamarnya menjadi kedap suara.
“Kerja yang bagus, Gamal. Sekarang Tuan Bandit itu tidak lagi terdengar,” gumamnya sambil mengangkat kedua tangannya ke atas sambil menguap santai.
“Hahhh … lebih baik berendam. Setelah itu menghubungi Aka, lalu memberitahu kejadian hari ini. Semoga saja dia tidak marah,” ujarnya penuh harap.
…
Beberapa menit kemudian.,
Seorang pria membuka pintu, lalu keluar dari kamarnya dalam keadaan masih memegang sajadah yang belum terlipat sempurna. Dia masih memakai baju batik biru dongker bermotif parang berlengan panjang, sarung berwarna senada, termasuk peci hitam berlapis emas murni sebagai hiasan pada pinggirannya.
Dia melihat ke arah lantai ini, melihat dari ujung sampai ke ujung.
“Tidak ada suara apapun,” gumamnya mengerutkan kening.
Yah, saat beribadah tadi, Gaza mendengar suara bantingan keras pintu lalu gedoran pintu samar-samar. Dia yakin suara itu pasti terdengar keras diluar kamarnya.
Ibadahnya menjadi tidak khusyuk. Setelah dia selesai beribadah, Gaza langsung keluar kamar dan mendapati kalau lantai dimana kamarnya berada tengah baik-baik saja.
Kamar Gamal dan yang lainnya juga terlihat sunyi senyap. Seketika dia berpikir jika gendang telinganya mungkin bermasalah.
“Apa telingaku sakit?” ujar Gaza sambil menepuk-nepuk pelan kedua telinganya bergantian.
Gaza pikir, ini tidak main-main. Dia tidak bisa membiarkan kondisi sakit telinganya lebih lama lagi.
Tidak mungkin dia tuli sejak dini, sementara usianya masih muda. Apalagi dia akan segera menikah.
Gaza kembali masuk ke dalam kamarnya. Dia harus segera menghubungi Clave dan mengatakan pada sekretaris pribadinya itu bahwa dia harus memeriksakan kesehatannya sekarang juga.
Tidak, Gaza tidak mau tuli sejak dini. Dia seorang Presiden Direktur Utama Althafiance. Semua kendali dan keputusan ada di tangannya. Bagaimana mungkin Althafiance dipimpin oleh seorang pria yang tuli.
Tidak mungkin, itu tidak boleh terjadi, pikir Gaza. Dia harus melakukan tindakan cepat dan tepat. Dan dia akan merahasiakan hal ini dari keluarganya. Sebab dia tidak mau membuat mereka khawatir dengan kondisinya sebelum dia tahu kepastian penyakit yang ia derita.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)