11 - Datang

753 Kata
“Only in the surrender of the light could the darkness prevail.” – David Eddings, King of the Murgos  *** “Tuan, saya membawa laporan mengenai pengamatan yang saya lakukan.” Seseorang dibalik kursi besar itu melirik sekilas ke asal suara. “Berikan padaku.” Orang berbaju serba hitam muncul dari balik bayangan dan menyerahkan map tebal kepada tuannya. Kemudian, ia membalik lembar demi lembar map secara sekilas. Dalam hitungan detik, ia sudah tau isi dari keseluruhan laporan tersebut. “Jadi, subyek utama sudah mengalami perkembangan?” “Benar, Tuan.” “Terus amati.” Seseorang berpakaian serba hitam itu menunduk hormat dan mundur perlahan. Ia menjawab dengan suara selembut sutra.“Baik.” “Satu lagi,” tambah seseorang yang disebut tuan itu. “Apa, Tuan?” “Jangan sampai ketahuan.” Orang itu tersenyum miring kepada sang tuan. Ia sengaja membuat ekspresi kesal karena telah diremehkan secara tidak langsung melalui perkataan itu. “Tidak akan.” *** Pagi itu, sudah tiba saat Nicholas Kim untuk menginjakkan kaki di Indonesia. Awalnya, dia berpikir Indonesia negara yang sangat damai dan penuh senyum karena keindahan alamnya dan rakyat yang peduli satu sama lain. Tapi, nyatanya banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Kim sejak hari itu berpikir bahwa semua negara sama saja. Selalu memiliki kekurangan. Ketika ia hendak mengantri – antri apapun itu, ada saja yang masih memotong antrian. Ketika Kim menggunakan transportasi umum ia menemukan beberapa pria menyebabkan masalah pada wanita. [Aku memang tak tahu apa yang mereka bicarakan, namun sikap mereka membuatku tersadar. Di mana pun, tak ada orang yang peduli. Semuanya egois.] [Apa, keputusanku ini salah, ya?] [Semoga tidak.] *** “Sst, kalian tahu? Bakal ada murid baru!” “Bukan murid baru dodol!! Murid pertukaran pelajar!” “Wuihh. Dari mana?” Emily memperhatikan sekitar. Sesekali ia melirik ke lehernya. [Syukurlah tak ada yang memperhatikan]. Plester menutup sempurna tanda itu. Kemarin, ia sendiri sangat terkejut. Berulang kali Emily berusaha mengingat kejadian kemarin. *** “Kak, itu tanda apa sih?” “Aku tak tahu Luke. Aneh. Coba kamu cek leher kamu juga.” Luke mengecek lehernya. Tak menemukan tanda seperti Emily. “Tak ada.” “Kaki?” “Tidak.” “Tangan?” Luke melihat pergelangan tangan kirinya. “Tak ada.” Lalu ia mengecek yang kanan. Tiba-tiba matanya membelalak. “Tak mungkin...” “Sudah kuduga. Pasti bukan cuma aku.  Untuk saat ini, tutupi saja dengan plester agar tidak menimbulkan kecurigaan. Gilbert akan kuberitahu nanti.” Emily masih berkutat di depan kaca. Luke bergumam, “Kalau Mikha bagaimana?” “Aku akan bertanya lewat telepon nanti. Tapi menurutku, dia tak akan punya tanda seperti kita.” “Pasti ada sesuatu di balik ini.” Luke mengangguk pelan. “Firasatku tak enak.” *** Beruntung, tak banyak yang mempedulikan plester yang melekat di lehernya. Pasti karena isu murid pertukaran pelajar. Perhatian orang jadi terfokus pada hal-hal seputar murid itu. Emily sudah mendengar hal yang sama dari Gilbert dan Sarah sebelumnya jadi ia tak kaget. “Wah! Siapa itu?” "Iya ya. Baru lihat sekarang." “Jangan-jangan..” “Itu ya orangnya?” Koridor mulai ramai. Sosok pemuda dengan rambut hitam kecoklatan plus dua orang berbaju hitam di belakangnya sukses menarik perhatian. Emily memperhatikan sosok itu. [Ada yang aneh.] [Rasanya seperti pertama kali bertemu Gilbert.] *** “Baiklah, anak-anak, mulai hari ini kalian akan berbagi dengan murid pertukaran pelajar. Dia pelajar Korea. Dia belum fasih bahasa Indonesia, tapi bahasa Inggrisnya lancar.” “Umm, Guru. Saya bisa sedikit berbahasa Indonesia.”  Kim menjelaskan dengan logat yang terdengar lucu. Ibu guru tersenyum. “Well that's great. But if you find some difficulties when speak in Indonesian you just ask us to speak English. Now you can introduction yourself.” Ibu guru itu meminta Kim untuk memperkenalkan diri dengan santai. Jika tak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, ia tinggal meminta satu kelas untuk bicara dalam bahasa Inggris. Kim mengangguk kikuk. “Umm, S-saya Nicholas Kim. Uhh, well, you can call me Kim. S-saya d-dari Korea. Mohon kerjasamanya untuk 6 bulan ke depan. A pleasure to meet and make a friends with you all. This is a rare chance for me.” Kim berbicara dengan bahasa campur aduk. Ia bisa sedikit berbahasa Indonesia tadi, namun karena lupa, ia beralih ke Bahasa Inggris. Melihat ekspresi seluruh kelas yang tersenyum-senyum sambil menahan tawa, juga ekspresi kagum berlebihan dari mereka membuat ia takut salah. Tiba-tiba salah satu dari murid mengacungkan jarinya, seorang maniak drama Korea dan lagu Korea. “Don't worry, Kim we understand it. You look so pale. Well, we will help you, right guys?” [Jangan khawatir, Kim, kita mengerti. Kamu terlihat pucat sekali. Jadi, kita akan membantumu, benar kawan?] Seisi kelas mulai bersahut-sahutan. “Fighting!!” “We will help you!!” “You're so handsome!!!” “You cute!!” “Ganbatte!” “Bodoh! Dia dari Korea, bukan Jepang! Dasar wibu!” “Nah, ahahaha!” Kim menatap teman-teman barunya. Mereka semua tersenyum. Mereka menyambutnya hangat. Ia sangat senang. [Akhirnya...] [Ada orang yang akan peduli padaku]. Kim merasa sangat bahagia dan tak jadi menyesali keputusannya. Emily, yang ternyata salah satu dari murid kelas itu, terus menatap Kim dari kursi belakang. Pikirannya berkecamuk. Ia merasakan hawa yang berbeda ketika melihat Kim. Dipandanginya pemuda Korea itu lekat-lekat sampai akhirnya dia balas menatap Emily. Saat itu juga, mereka berdua sama-sama terkejut, entah karena apa. [Auranya. Tidak salah lagi..] [Ia salah satu dari kami, atau bukan?] [Apa aku salah?] ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN