Hari ini kelas Ayunda sudah selesai. Ingin rasanya segera pulang ke kosan dan rebahan. Tetapi, tidak bisa untuk saat ini karena ia harus mengerjakan tugas kelompok bersama dua orang temannya. Sayangnya bukan Winda dan Arina.
Masih ada waktu dua puluh menit sebelum jam janjian mengerjakan tugas kelompok itu. Ayunda memutuskan untuk pergi ke mini market yang ada di sekitar kampus. Ada keperluan wanita yang harus ia beli. Harus.
Berjalan dengan santainya, mengabaikan sinar terik matahari. Gadis itu tidak mengenakan masker, karena sudah ia buang saat akan masuk kelas terakhir tadi. Baru saja Ayunda hendak membuka pintu, dirinya dikejutkan oleh seorang gadis kecil yang juga membuka pintu mini market itu dari dalam.
Mengapa sepertinya takdir memaksanya berdekatan dengan Fela? Iya, Fela. Si kecil ajaib itu.
"Mama!" Fela langsung memeluk kaki Ayunda. Menyisakan wanita paruh baya yang menatap interaksi keduanya dengan mematung di tempat. Ayunda menyapa wanita paruh baya itu. Penampilannya sederhana tetapi tidak menghilangkan elegan dan kewibawaannya.
Tidak salah lagi, beliau Nyonya Rajasa. Ayunda berjongkok mensejajarkan dirinya dengan Fela. "Sebentar ya, Cantik. Mbak ke dalam dulu," pamit Ayunda pada Fela.
"Ela ikut Mama." Gadis kecil itu meraih tangan Ayunda dan menariknya kembali masuk ke dalam mini market. Ayunda sempat tersenyum, sebagai permintaan izin kepada Nyonya Rajasa. Beliau pun hanya mengangguk dan tersenyum.
Hanya dua menit, Ayunda keluar dari mini market dengan Fela yang digandengnya. Gadis itu cukup waras untuk tidak membuat Nyonya Rajasa menunggu.
"Fela? Fela, tidak mengenalkan Mama Fela dengan Nenek?" Tanya Nyonya Rajasa ketika Ayunda dan Fela menghampiri wanita itu yang duduk di tempat duduk yang tersedia di depan mini market.
"Oh iya! Nenek, ini Mama...." Fela menatap Ayunda. Sepertinya, Fela lupa tidak bertanya nama. Karena biasanya ia hanya memanggil Ayunda dengan sebutan 'Mama' saja.
Ayunda tersenyum, "Ayunda."
"Mama Unda, Nek." Lucu sekali! Entah, mengapa ada perasaan hangat yang menyelimuti Ayunda ketika seorang gadis kecil itu memanggilnya demikian.
"Saya Nenek Fela." Nyonya Rajasa mengulurkan tangannya. Ayunda tentu menyambut uluran itu, diciumnya tangan Nyonya Rajasa. Diam-diam Nyonya Rajasa tersenyum, bahagia sekali dengan kesopanan Ayunda. Sekarang ini, banyak sekali anak muda yang sikapnya kurang sopan pada orang tua. Syukurlah, Ayunda tidak termasuk di dalamnya.
Ayunda teringat akan janjinya yang hendak mengerjakan tugas kelompok. Ia pun berpamitan dengan Nyonya Rajasa dan Fela tentunya. Tampak raut wajah sedih Fela tergambar jelas. Tangannya bahkan enggan melepaskan tangan Ayunda. "Fela.." panggil sang nenek.
Fela menggeleng. Ayunda pun menghela napas pasrah. Sepertinya tidak akan menghasilkan apa-apa jika membujuk Fela. Gadis itu pasti tidak akan mau menurut. "Ya sudah. Fela mau ikut Mama?" Dengan cepat dan antusias Fela mengangguk.
"Bu-"
"Nyonya, apa boleh Fela ikut dengan saya? Nanti pulangnya bisa dijemput oleh ayahnya, beliau tahu kos-kosan saya." Ayunda rupanya memberanikan diri mengutarakan maksudnya.
Nyonya Rajasa tersenyum, "boleh."
"Fela, tidak boleh nakal! Nurut sama Mama ya?" Fela mengangkat jempol tangannya. Ayunda hanya tersenyum melihatnya. Kebahagiaan Fela, membuatnya lega.
"..dan, kamu Ayunda. Jangan panggil 'Nyonya'. Saya bukan majikan kamu." Ayunda meringis.
"Panggil Mama atau Ibu juga boleh," pinta Nyonya Rajasa sebelum pergi menuju mobil yang pintunya telah dibukakan oleh sang supir. Meninggalkan Ayunda yang melongo dan tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Nyonya Rajasa!? Memerintah dirinya untuk memanggil beliau demikian?
Sepersekian detik, Ayunda sadar dan ia segera menggandeng Fela. Mengajak gadis kecil itu berlari kecil. Mengingat waktu janjian dengan dua orang temannya yang pasti sudah menunggunya di gazebo mahasiswa.
"Assalamu'alaikum.." sapaan salam itu kompak terucap. Pelakunya adalah Ayunda dan Fela. Memangnya siapa lagi!?
Kedua teman Ayunda, Dirga dan Ocha mengangkat kepalanya saat mendengar suara cempreng anak kecil. "Ya Allah, Yun. Aku kira kamu nggak datang," ucap Ocah sambil menerima uluran tangan Ayunda yang mengajaknya berjabat tangan. Tidak lupa Ayunda juga mengajak Dirga bersalaman.
Ocha dan Dirga menatap Ayunda yang duduk dengan gadis kecil yang bergelayut di tubuhnya. "Yun, siapa?"
"Anak orang, Ga." Ayunda mulai membantu kedua temannya untuk membereskan tugas-tugas kampus mereka.
Setengah jam berlalu, Fela masih anteng-anteng saja berada di pangkuan Ayunda. Gadis kecil itu diam dengan ponsel Ayunda di tangannya. Entah, apa yang ia mainkan.
"Akhirnya selesai juga.." ucap Ocha. Ocha melirik Fela yang wajahnya sangat serius memainkan ponsel Ayunda.
"Hai, Cantik. Main apa sih? Serius gitu wajahnya." Ocha mencoba mengajak Fela berkomunikasi, diusapnya rambut Fela.
"Main game, Tante." Fela menoleh sekilas, lalu kembali fokus.
"Mama kapan pulang?"
Seketika Dirga dan Ocha menatap Ayunda. Terkejut bukan main dengan panggilan yang keluar dari bibir mungil gadis kecil itu. "Ini sudah selesai, Sayang. Ayo pulang!" Dengan santai Ayunda menanggapi pertanyaan Fela.
"Dirga, Ocha. Aku pulang duluan ya.. si kecil udah rewel," pamit Ayunda menyalimi kedua tangan temannya yang melongo itu. Ayunda terkekeh sendiri melihat ekspresi keduanya.
Entah, apa yang membuat Ayunda bersikap seperti ini? Ia merasa sudah mempunyai anak. Menganggap Fela layaknya anak yang telah dilahirkannya. Senang sekali rasanya merawat gadis kecil itu.
"Ma, lapar.." rengekan itu berhasil membuat tangan Ayunda yang sedang menari-nari di atas keyboard laptop berhenti. Gadis itu lupa menawarkan makan pada Fela. Astaga!
Dengan segera Ayunda menutup laptopnya. Ia bertanya, "Fela, mau makan apa? Di kos-an Mama cuma ada telur. Kamu mau telur ceplok?" Ajaib! Gadis kecil itu tersenyum senang dan mengangguk berkali-kali. Ini cucu Rajasa hloo, dikasih makan seadanya oleh Ayunda.
Ayunda tersenyum sendiri, ia baru sadar. Jika tadi, Ayunda menyebut dirinya dengan sebutan 'Mama'.
Tidak lama, hanya lima menit. Sepiring nasi putih dan telur ceplok lengkap dengan kecap, tersaji. "Mama suapi?" Fela lagi-lagi hanya mengangguk. Suapan demi suapan hingga sepiring nasi itu habis. Fela menenguk air putih yang telah disiapkan oleh Ayunda.
"Enak Ma. Makacih ya Ma. Cup!" Fela mendaratkan ciuman di pipi kiri Ayunda. Ayunda yang gemas pun mencubit pipi Fela.
Ayunda membersihkan piring dan perabotan lainnya. Tadi pagi ia belum sempat melakukan kegiatan ini karena bangun kesiangan. Saat Ayunda kembali ke kamar kosnya, Fela telah nyaman terlelap. "Setelah makan tidur dengan antengnya. Fela-Fela," ujar Ayunda sembari menyelimuti tubuh mungil Fela.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi sang ayah tak kunjung datang untuk menjemput. Ayunda pun melanjutkan ketikan tugasnya yang tadi sempat tertunda. Baru beberapa lembar, pintu kosnya diketuk oleh seseorang. Dengan sigap ia berjalan menuju pintu itu.
Satya, lelaki itu ternyata yang telah mengetuk pintunya. Dengan ibu kos yang berdiri disamping lelaki itu. "Yun, apa benar lelaki ini mau menjemput anaknya? Kamu sekarang jadi pengasuh anak ya Yun?" Serentetan pertanyaan itu hanya mendapat senyum cengiran oleh Ayunda. Saat Ayunda hendak menjawab. Satya lebih dahulu menyela, "Ayunda calon ibu dari anak saya."
Ibu kos melotot seketika. Matanya menatap Ayunda dan Satya bergantian. "Y-yun? Kamu mau nikah?" Sementara ditanya seperti itu, Ayunda salah tingkah sendiri. Apa-apaan maksud Satya? Kan dirinya belum menyetujui pernikahan kontrak itu!
Satya pun diizinkan masuk untuk membopong tubuh kecil Fela. Ayunda mengikuti langkah Satya dari belakang, hingga lelaki itu meletakkan sang anak di kursi belakang.
"Bisa kita bicara sebentar?" Ayunda mengangguk. Mereka pun menyenderkan badan pada bagian depan mobil.
Satya memasukkan kedua tangannya di saku celana dan membuka kancing jasnya. Melonggarkan dasi yang ia pakai. Semua yang dilakukan lelaki itu tidak luput dari pandangan Ayunda. Tampan sekali!
"Jadi, bagaimana Ay?" Kedua bola mata Ayunda membulat sempurna. Menatap Satya dengan tidak percaya.
Ay!?
"Nama kamu Ayunda kan? Saya memanggil kamu dengan nama depanmu. Apa saya salah?" Ayunda bak orang bodoh yang menggeleng polos.
"Jadi, bagaimana? Kamu mau menjadi istri saya?"
"Maksud saya, menjalani pernikahan kontrak dengan saya. Demi Fela," bujuk Satya, pandangannya lurus ke depan.
Ayunda menggigit bibir bawahnya. Tidak tahu lagi harus menjawab apa. Di sisi lain, ia kasihan terhadap Fela yang sepertinya kurang kasih sayang seorang ibu. Tetapi, Ayunda sendiri tidak ingin menjalani pernikahan kontrak. Baginya, pernikahan adalah sebuah hal yang sakral. Tentu saja tidak boleh dibuat mainan.
Tetapi, orang kaya seperti Satya mana tahu? Yang Satya butuhkan adalah sosok ibu untuk Fela. Bukan istri untuknya.
"Berapa jangka waktu kontrak pernikahan itu Pak?"
"3 tahun, jika kamu tidak keberatan. Setidaknya umur Fela 7 tahun saat kita berpisah nanti."
Belum menikah, Satya sudah membicarakan tentang perpisahan. Jujur saja, Ayunda sangat menyayangkan sikap Satya. Namun, apalah dayanya? Ia tidak akan berani menegur lelaki itu.
"Baiklah."
"Kamu mau?"
Ayunda mengangguk. Satya yang saat itu juga menatapnya, tiba-tiba tersenyum lebar. Satya!? Tersenyum.. demi apa?
"Besok kita bertemu lagi, akan aku berikan surat kontrak pernikahan kita. Kamu boleh mengajukan poin-poin perjanjian atau pun keinginan kamu.."
"..dan, ingat. Jangan sampai nenek dan kakek Fela tahu tentang hal ini." Ayunda hanya mengangguki penjelasan panjang lebar Satya itu.
Setelah dirasa cukup, keduanya mengakhiri perbincangan serius itu. Satya menyapa Ayunda sekilas sebelum melajukan mobilnya.
"Apa keputusanku sudah benar?" Tanya Ayunda pada dirinya sendiri. Matanya masih menatap mobil yang perlahan menghilang.
Ayunda menarik napasnya, "kamu pasti bisa, Yun. 3 tahun, waktu yang singkat."
***