Hari pertama kerja

1537 Kata
“Qeela sayang," panggil Zia lembut. Tangannya terus mengetuk pintu kayu berwarna putih. Namun tidak ada jawaban. “Boleh kakak masuk?” Tetap tidak ada jawaban. Zia memutar knop pintu, memberanikan diri untuk masuk. Terlihat Qeela yang sedang duduk di pojokan kamar dengan kepala yang ia sembunyikan di kedua kaki. Tangan Zia bergerak spontan mengusap kepala Zia membuat gadis kecil itu langsung mendongkak. “Apa itu?” tanya Qella pada sesuatu yang Zia tenteng. Zia mengikuti arah pandang bocah itu. “Oh ini Buku belajar baca," jawab Zia ramah, gadis ini sepertinya menyukai hal sama sepertinya. Yaitu membaca. Zia memang sengaja membawa buku, karena Zia sering mengisi waktu luangnya dengan membaca. Bukan buku pengetahuan, melainkan buku n****+ dengan genre romantis lebih tepatnya. Apalagi kisah yang menceritakan pria mapan, tampan dan kaya. “Buku?” tutur Qeela mengulangi ucapan Zia. “Hmm. Apa kau mau?” “Mau. Mau!” jawab Qeela antusias. “Ets! Kakak akan memberimu buku ini tapi dengan satu syarat.” “Apa, Kak?” tanya Qeela semangat “Qeela ikut ayah Qeela kesekolah ya.” “Ayo, tapi…” “Tapi apa sayang?” “Qeela takut kak, ayah jahat, ayah suka bentak-bentak Qeela,” lirih Qeela dengan kepala tertunduk. Keluhan Qeela membuat hati Zia terenyuh. Memang bukan hal mudah hidup tanpa seorang ibu, Zia tahu hal itu. Karena dia pernah merasakannya. Disaat anak lain seusianya hidup bahagia bersama keluarga mereka, Zia harus bertahan hidup bersama sang bibik dalam kondisi kurang kasih sayang orang tua tentunya. Meski Bibik memberinya kasih sayang yang berlimpah, tapi bukan kasih sayang seperti itu yang Zia harapkan. “Hmm Qeela sayang.” Mengusap rambut Qeela sepenuh hati. Ternyata bukan hanya dia saja yang kurang beruntung sepertinya. “Kamu jangan takut lagi ya, kan ada kakak yang akan nemenin kamu mulai sekarang.” lanjut Zia lembut lembut. Ucapan itu sungguh tulus dari dalam hatinya. Zia akan menyempatkan kesini untuk menemui gadis ini meski Bibik sudah kembali nanti. “Kakak janji?” “Janji.” Suasana pagi ini sangat sejuk dan tenang di iringin dengan ocehan Qeela yang bertanya hal ini itu kepada Zia membuat hati Dirga sedikit damai. Meski awalnya Dirga tidak terlalu menyukai gadis itu, tapi lumayan juga, gadis itu bisa membujuk Qeela yang notabene tidak gampang akrab dengan orang baru. “Belajar yang benar.” Mengusap kepala putrinya halus. “Iya ayah.” “Ayah pergi, ayah akan jemput Qeela lagi nanti.” tutur Dirga, berjongkok dan memeluk buah hatinyam lembut. “Iya ayah.” Setelah gadis kecil itu berlari masuk ke kelas, Dirga berbalik. Meninggalkan Zia yang tidak tahu harus melakukan apa, Zia kemudian berlari mengejar Dirga yang sudah hampir sampai di depan mobilnya. “Tuan! tuan tunggu.” “Hmm.” Menjawab datar dengan kaki yang terus melangkah. Zia mengimbangi langkah Dirga yang lebar, berucap sambil berjalan. “Apa yang harus saya lakukan setelah ini?” Dirga memicingkan mata. Gadis ini masih bertanya harus melakukan apa? Tidakkah Bik May menjelaskannya? “Terserah padamu," jawab Dirga acuh kemudian melenggang pergi. “Tapi tuan, anda mau kemana?” Karena panik Zia meraih lengan Dirga tanpa sadar, membuat pria itu menatapnya tajam. “Maaf," ujar Zia langsung melepas genggaman. Dirga menyapu bekas sentuhan Zia membuat gadis itu melotot kesal. Cih! Arrogant sekali dia! “Tentu saja bekerja," jawab Dirga ketus. Menutup pintu mobil dan menancap gas meninggalkan Zia yang saat ini sudah bertanduk. Ish dasar duren killer! Zia yang bingung akan melakukan apa, berinisiatif menghampiri pos penjaga sekolah. “Permisi! Maaf pak, anak-anak disini biasanya pulang jam berapa?” “Nona orang baru?” tanya pria gembul berkumis tebal tersebut. "Iya, Pak," “Oh, pantas! Saya baru melihat nona cantik ini,” tuturnya dengan senyum lebar. Matanya menatap Zia tanpa berkedip. “Maaf pak, biasanya anak-anak pulang jam berapa ya?” ulang Zia. “Oh iya hampir lupa hehe. Biasanya jam 12 non.” “Oh jam 12 ya, baiklah terima kasih, Pak,” jawab Zia langsung pergi meninggalkan Security itu cepat. Kumisnya membuat Zia bergidik. Zia berencana untuk pergi lebih dulu, dan kembali lagi pukul 12 nanti. Zia sudah berada di depan gerbang sekolah, matanya celingak celinguk. Tidak ada ojek ataupun angkot. "Huft!" Zia kembali teringat pada Pak Dirga yang Arrogant dan galak itu. Pria itu membawa mobil, tapi meninggalkannya dia sekolahan ini. Dia memang ingin kerja, tapi kan setidaknya mengantarku pulang dulu. Kita berangkatnya sama-sama kan. Huh dasar, Duda pelit! Bibir ibu-ibu! Si tembok! Makian demi makian Zia lontarkan mengingat semua sifat Dirga yang berbanting terbaliik dengan apa yang Bibik ceritakan. "Pantas saja menduda, lagi pula, wanita mana yang mau dengan duda begitu." Monolog Zia dengan kesal. Sesaaat matanya langsung berbinar saat mobil taxy hendak melintas di depannya. Tidak apa membayar lebih mahal, yang penting dia pergi dari sini. Namun baru saja Zia ingin mengangkat tangan, sebuah mobil sport hitam mendarat tepat di hadapannya. Si pengendara menurunkan kaca mobilnya hingga membuat Zia dapat melihat jelas pemiliknya. “Pak Daffa?” Tarikan bibir menghiasi wajahnya yang cantik, melihat pria itu selalu saja membuat hati Zia berbunga-bunga. “Ayo masuk.” Kan, kan. Suara lembutnya membuat tulang sumsumku lemas seketika. Padahal pria itu hanya mengajaknya naik mobil, apalagi jika mengajak menikah? Eh. “Hm aku? Tapi aku mau ke Perpustakaan, Pak.” Hah! Penolakan apa itu? Tentu saja aku ingin ikut dengan pria tampan itu. Ah bibir! Kau ini munafik sekali! Hardik Zia dalam hati. “Ayo, saya antar. Kebetulan saya juga mau kesana.” Turun dan membukakan pintu. Melambung tingi sudah hati Zia. Perlakuan Pak Daffa memang selalu membuat Zia seperti wanita paling bahagia sedunia. “Baik. Terima kasih, Pak.” Menjawab semanis mungkin. “Ada perlu ap-.” “Apa kamu suda-.” Tutur Zia dan Daffa barengan. Mereka tertawa simpul setelah saling tatap. “Bapak saja dulu," ujar Zia salah tingkah. Daffa menatapnya lucu, kemudian kembali fokus menyetir. “Apa kamu sudah sarapan?” tanya Daffa membuat hati Zia semakin ketar-ketir. Dengan cepat Zia menggeleng, dia memnag belum sarapan karena takut terlambat ke rumah Pak Dirga tadi. Tapi kehadiran Daffa membuat Zia semakin semangat sarapan kali ini. Arghh cinta! Kau memang selalu saja membuat orang lupa diri. “Baiklah, bagaimana jika kita sarapan dulu? Kebetulan saya juga belum sarapan.” Tutur Daffa ramah. Aaa puncuk di cinta ulan pun tiba. buru-buru Zia mengangguk membuat Daffa kembali tersenyum simpul. Aih Zia! Feminim dikit kek jadi cewek! Hardik Zia tak kuasa. Mobil yang mereka tumpangi terus bergerak menyusuri jalanan kota, sesekali Zia menatap pemilik toko buku tempatnya bekerja itu dengan senyum. Begitu juga dengan Daffa, pria muda berdarah Jerman itu juga sesekali melirik Zia yang duduk nyaman di sampingnya. Lama mereka diam karena canggung, mobil yang mereka tumpangi kini telah sampai di café besar yang terdapat di tengah-tengah kota. Zia lebih salah tingkah ketika Daffa meraih tangannya dan menariknya masuk. “Ayo," tutur Daffa halus. “Ah iya pak," jawab Zia sedikit tak enak. Pakaian yang ia gunakan sangat terbanting dengan yang Daffa gunakan. Pak Daffa menggunakan fashion kerjanya yang formal, dengan jas dan kemeja yang mahal tentunya. Sedangkan Zia, gadis itu hanya memakai celana bahan berwarna hitam dan kemeja berwarna pink yang sudah sedikit pudar warnanya. Sayup-sayup Zia mendengar para perempuan menatap Daffa tanpa kedip. Pria muda kaya itu memang menawan dan berwibawa, maka dari itu Zia juga sangat menyukai Pak Daffa. Masih muda, tampan, ramah sukses pula. Aku yakin, kupu-kupu yang hinggap saja akan pingsan jika melihat ketampanannya. Lihat, lihat! Dia menarik kursi untukku. Aaa sosweet! Pak kumohon, hentikan. Hatiku bisa beku karena perlakuan manismu. “Terima kasih.” Bersikap seolah kekasih, Zia tersenyum hangat. “Saya kebelakang sebentar, kamu pesan saja makanannya, Zia.” “Baik, Pak," tutur Zia, menatap kepergian Daffa dengan senyum manis. Namun tak lama kemudian senyum Zia memudar, berubah kesal ketika wajah Dirga yang malah mencul di depan wajahnya. “Bukannya bekerja, malah kencan!” hardik Dirga ketika melewati Zia. Zia melotot, siapa yang kencan? Aku hanya menemani bosku sarapan. “Sayang!” sahut seorang wanita. Zia menoleh, itu perempuan sama yang ia temui di toko buku waktu itu. “Bukannya bekerja, malah berduaan!” balas Zia tak kalah ketus, Dirga menatap tajam. Sial! Beraninya bocah ingusan itu, “Kamu!” Dirga menunjuk wajah Zia, mengepal kuat. Namun tak lama kemudian seorang wanita itu datang, menghampiri Dirga dan menarik tangannya. “Wlee!” Zia menjulur, membuat Dirga yang masih menoleh ke belakang semakin naik pitam. Lagi-lagi Zia bertindak berani dengan bersikap demikian. Untung saja di tempat umum, jika bukan mungkin dia sudah di lahap hidup-hidup oleh Duda galak itu. Sedang Dirga semakin kesal, tangannya mengepal kemudian benar-benar melenggang pergi setelah seorang pria lain memanggilnya. “Ada apa?” tanya Daffa tiba-tiba. “Eh aku? Tidak apa-apa," jawab Zia terkejut. Dia tidak melihat aku menjulur seperti anjing kan tadi? “Oh ya? Lalu kenapa menjulurkan lidahmu tadi?” tanya Daffa sambil menoleh kebelakang, takut ada seseorang yang iseng pada Zia. Mampus! Dia melihatku berubah jadi aneh tadi? Zia menutup wajahnya malu membuat Daffa semakin gemas dan mencubit pipinya. “Aw! Sakit tau Pak!” “Haha, habis tingkahmu membuat saya gemas," tutur Daffa membuat Zia semakin malu, pipinya bahkan semakin merah seperti tomat. Jauh dari tempat itu, seorang pria berdecih menatap mereka. “Ck! Bocah ingusan, sok pacaran!” dengusnya Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN