Enam hari kemudian...
Acara sarapan pagi Keluarga Azkara baru saja selesai dilaksanakan. Dio yang sudah seminggu menjadi bagian dari keluarga ini terlihat sudah semakin akrab dengan kedua orang tuanya beserta ketujuh kakak-kakaknya. Kini ia sudah tidak canggung lagi dengan mereka semua.
Tapi tunggu, kenapa hanya tujuh orang kakak? Bukankah seharusnya delapan? Ya, tebakan kalian benar. Hanya dengan Langitlah hubungan Dio masih benar-benar terasa sangat canggung. Bahkan Dio menaruh rasa takut yang teramat sangat besar pada kakaknya itu.
Soal urusan sekolahnya, Raja sudah memberitahukan kepada Dio tepatnya lima hari yang lalu kalau ia akan memulai kegiatan sekolah di sekolah barunya bulan depan. Awalnya Dio bertanya pada Raja, kenapa ia memindahkan dirinya ke sekolah yang baru. Padahal, ia masih bisa menyelesaikan sekolahnya di sekolah yang lama. Dan Raja pun menjawab, kalau ia hanya ingin agar anaknya bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang bagus dengan berbagai fasilitas tersedia di sana. Ia juga ingin agar anak-anaknya diajar oleh guru-guru yang sangat ahli dan berkompeten dalam setiap bidangnya. Sehingga masa depan setiap anaknya dapat terjamin berkat berbagai ilmu yang telah mereka dapatkan.
Setelah dijelaskan, Dio pun mengerti dan merasa tidak keberatan. Apalagi Raja bilang kalau sekolah tempat ia akan mengenyam pendidikan nanti adalah sekolah milik salah satu teman baiknya. Jadi dengan begitu, ia akan lebih mudah dan leluasa dalam mengawasi dan menjaga Dio.
Ratu yang telah menjadi ibu angkat Dio selama seminggu, tampak memerintahkan kepada salah satu pelayannya untuk mengambilkan sebuah barang yang sebelumnya telah ia siapkan untuk Dio.
"Dio, Mama punya hadiah buat kamu," kata Ratu.
Dio pun terlihat penasaran dengan barang yang akan mamanya itu berikan.
"Taraaaaaa!!"
Ucap Ratu sembari menyerahkan tas yang berisi kamera beserta lensanya pada Dio.
"Untuk kamu. Mama dengar dari kakak-kakakmu kalau kamu juga suka fotografi sama seperti Bumi."
Dengan perasaan senang Dio langsung meraih tas tersebut. Ia dengan semangatnya melihat-lihat barang mahal yang mamanya itu berikan.
"Terima kasih, Ma," kata Dio.
Senyumnya yang berbentuk hati merekah dengan lebarnya. Semua orang yang melihatnya pun ikut merasa senang.
"Sama-sama, Nak," balas Ratu.
"Setelah ini aku akan langsung mencoba kamera ini."
Kini, Dio benar-benar terlihat seperti seorang anak kecil yang sangat antusias dengan mainan barunya. Kakak-kakaknya pun dibuat gemas dengan tingkah Dio.
Tapi, berbeda dengan Langit yang memang selalu berekspresi beda dari saudara-saudaranya yang lain. Ia terlihat menatap Dio dengan tatapan tajamnya seperti biasa. Ia menatap Dio sembari meneguk minumannya dengan sangat nikmat.
Pukul 10:00 pagi
Seluruh anggota Keluarga Azkara telah berangkat ke tempat kerjanya masing-masing, kecuali Langit dan Dio yang masih berada di rumah.
Langit yang memang sedikit santai hari ini, kini sedang berada di kamarnya menatap ke arah luar jendela sambil tangannya memegangi segelas anggur merah kesukaannya. Matanya terlihat sangat fokus menatap ke luar sana, tepatnya ke arah halaman belakang rumah.
Sementara itu, Dio yang memang belum memiliki aktivitas apa pun, kini sedang berada di halaman belakang rumah untuk mencoba kamera baru pemberian Ratu. Ia berjalan ke sana kemari, memotret setiap pemandangan yang ada di sana dengan riang gembira.
Tanpa ia sadari, sepasang mata dengan begitu tajamnya, sedari tadi terus mengawasinya dari atas sana. Ya, Langit sedari tadi fokus memandangi Dio.
"Hari ini benar-benar cerah. Pemandangan di sekitar sini pun juga terlihat sangat bagus."
Kini Dio sedang melihat-lihat hasil jepretan kameranya. Senyumnya beberapa kali mengembang di kedua sudut bibirnya. Anak itu benar-benar merasa bahagia sekarang.
"Aku akan mengambil lebih banyak gambar lagi dan nanti akan aku tunjukan hasil gambar-gambarku ini pada Kak Bumi. Aku ingin ia memberikan penilaian dan juga memberikanku masukan agar kemampuan fotografiku ini bisa semakin meningkat," kata Dio.
Dio lantas kembali mencari objek lain untuk ia foto. Sampai akhirnya, kedua matanya tertuju pada hutan yang ada di depan sana.
"Sepertinya di sana aku bisa mendapatkan gambar-gambar yang bagus."
Dio lantas melangkahkan kakinya ke arah hutan yang terlihat sangat sepi. Hutan yang kini sedang Dio hampiri adalah sebuah hutan yang berada di kawasan pinggiran kota. Hutan ini cukup luas dengan banyaknya pohon besar yang menjulang tinggi, dengan daun-daun lebat di atasnya. Hutan ini juga terlihat sangat sepi dan menyeramkan. Seakan-akan tidak ada kehidupan apa pun di dalamnya.
Dan fakta yang menarik dari hutan ini adalah, hutan ini termasuk ke dalam bagian dari kawasan kediaman Keluarga Azkara. Hmm ... benar-benar keluarga sultan bukan? Hutan saja masuk sebagai bagian dari tempat tinggal.
Dio kini terus melangkahkan kakinya menjauhi rumah dan terus mendekat ke arah hutan. Langit yang saat ini melihat adiknya sedang berjalan mendekati area hutan, lantas langsung membulatkan kedua matanya. Seperti ada ekspresi khawatir yang terlihat di sana.
"Bodoh! Untuk apa dia pergi ke sana?!"
Langit terlihat mengoceh sendiri melihat adiknya yang terus berjalan menjauh dari pandangannya.
"Benar-benar anak yang merepotkan!"
Langit yang tidak ingin adiknya itu pergi ke hutan, dengan segera mengucapkan kata-kata yang terdengar aneh, sama seperti apa yang pernah Raja lakukan.
"Akhzam, Nimbos Hitomia."
Langit mengucapkan kata-kata aneh itu sembari menatap ke arah awan. Hingga secara tiba-tiba, awan di luar sana yang sebelumnya terlihat cerah kini mulai berubah menjadi gelap.
Dio yang menyadari kalau langit tiba-tiba saja menjadi sedikit mendung, lantas menghentikan langkahnya.
"Kok tiba-tiba mendung sih? Aneh sekali." Dio terlihat sangat kebingungan.
"Tapi kelihatannya tidak akan turun hujan. Jadi lanjut saja deh."
Dio pun kembali melanjutkan langkah kakinya menuju hutan. Langit yang melihatnya tidak tinggal diam. Ia lalu mengucapkan kembali kata-kata dengan bahasa anehnya itu.
"Akhzam, Huzzanier Rimizi."
Ia kembali mengucapkan kata-kata anehnya itu sembari memandang ke arah awan sama seperti sebelumnya.
Dan tepat setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut, secara ajaib, rintik-rintik air mulai jatuh dari langit. Hujan gerimis pun akhirnya turun di luar sana.
Karena mulai turun hujan, Dio pun lantas membatalkan keinginannya untuk pergi ke hutan dan memutuskan untuk kembali ke dalam rumah. Ia berlari secepat mungkin menuju rumah agar pakaian dan juga kamera mahalnya tidak kebasahan.
Langit yang melihat adiknya telah memutar arah dan kembali ke rumah, hanya menatapnya dengan ekspresi wajah datar sembari meneguk anggur merahnya.
"Bagus, kamu memang harus menurut seperti itu," kata Langit sambil sedikit menyeringai.
Setelah menghabiskan anggur merah di gelasnya, Langit memutuskan untuk berangkat kerja dengan membiarkan hujan gerimis tetap turun di luar sana. Ia bahkan berniat untuk membuat hujan yang lebih deras lagi agar adiknya yang penuh dengan rasa penasaran itu tidak keluar rumah sendirian seperti tadi.
***
Langit telah pergi berangkat kerja menggunakan mobil SUV hitam miliknya sekitar setengah jam yang lalu. Kini hanya tinggal Dio sendirian yang berada di rumah bersama dengan para pelayan dan pekerja lainnya. Karena di luar sedang turun hujan (berkat ulah kakaknya yang galak itu), Dio hanya bisa mencoba kamera baru pemberian mamanya itu untuk memotret objek-objek yang ada di dalam rumah.
Mungkin kalian pikir, Dio akan merasa bosan. Tapi nyatanya tidak. Ia terlihat sangat senang, berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya untuk memotret setiap objek yang menurutnya sangat bagus untuk diabadikan. Ia bahkan cukup lama memotret di lorong yang terdapat banyak sekali lukisan hasil karya Awan. Wajahnya terlihat selalu menyunggingkan senyum bahagia setiap kali ia memotret deretan-deretan lukisan indah yang ada di tempat itu.
"Kak Awan benar-benar sangat berbakat dalam melukis. Kapan-kapan aku harus memintanya untuk mengajariku melukis," ucap Dio.
Setelah selesai memotret di tempat itu, Dio beralih ke ruangan lain. Oiya, saat ini Dio sudah cukup hafal dengan denah rumah ini sehingga kemungkinannya untuk tersesat seperti saat pertama kali ia datang sangatlah kecil.
Dio berjalan sendirian melewati lorong-lorong rumah yang sepi. Sambil berjalan, ia terus menerus memeriksa hasil jepretannya dan memilah-milah mana gambar yang menurutnya bagus dan mana yang jelek.
"Ini bagus. Yang ini ... mmm ... lumayan. Kalau yang ini terlihat cukup buruk."
Ia menyimpan gambar yang menurutnya bagus dan langsung menghapus gambar yang menurutnya jelek.
Sampai setelah ia menuruni satu tangga, Dio pun akhirnya tiba di depan pintu salah satu ruangan berharga yang ada di rumah ini. Ruangan itu adalah ruangan barang antik yang berisi berbagai macam barang-barang antik yang mana kata Surya, semua barang-barang yang ada di sini sangatlah berharga dan memiliki harga yang sangat fantastis.
Karena di ruangan ini terdapat barang-barang antik yang sangat unik, akhirnya Dio pun memutuskan menjadikan tempat ini sebagai lokasinya untuk memotret. Ia dengan sangat antusias berkeliling ruangan dan terus mengambil satu persatu gambar benda antik yang dipajang di sana. Dio terlihat sangat puas saat mendapati gambar yang ia ambil ternyata terlihat sangat bagus dan estetik.
"Keren," ucapnya ketika melihat sebuah mahkota yang tampak sangat bercahaya.
Dio terus memotret di ruangan itu sampai tak ada lagi yang bisa ia potret. Hingga setelahnya, ia kembali berpindah tempat dari ruangan benda antik ke ruangan lainnya. Mencari objek yang bisa menjadi bahan memotretnya.
Dio melakukan aktivitasnya itu sampai waktu menunjukkan pukul dua siang, yang mana untuk ke sekian kalinya ia telah melewati jam makan siang (Dio sering sekali melewati jam makan siang karena terlalu asyik dengan dunia barunya itu).
"Fyuh, lelahnya. Sudah banyak ruangan yang aku jelajahi hanya untuk mengambil gambar."
Kini wajahnya terlihat cukup kelelahan. Dan di saat yang bersamaan, perutnya pun mulai terasa lapar.
"Lebih baik aku pergi ke ruang makan sekarang."
Sudut pandang Dio...
Setelah cukup puas aku bermain dengan kamera baruku ini, aku lantas memutuskan untuk menghentikan aktivitas memotretku dan beralih untuk makan siang. Karena kini perutku sudah terasa sangat lapar.
Kumatikan kameraku dan kugantungkan benda yang tidak terlalu berat itu di leherku. Sambil bersenandung pelan, aku berjalan ke arah ruang makan yang jaraknya bisa dibilang cukup jauh dari tempatku berada sekarang.
Tapi, di tengah-tengah perjalananku menuju ke sana, secara tidak sengaja pikiranku tentang suara di ruang perpustakaan yang aku dengar seminggu yang lalu kembali terngiang-ngiang di kepalaku. Rasa penasaranku pun akhirnya kembali muncul.
"Apa sebaiknya aku memeriksanya lagi ya?"
Pikiranku berkecamuk antara harus memeriksanya atau tidak. Aku benar-benar penasaran dengan suara yang aku dengar waktu itu. Tapi di sisi lain, Papa, Mama dan kakak-kakakku sangat melarangku untuk pergi ke sana dengan alasan takut mengganggu para pekerja renovasi.
Tapi anehnya, sudah seminggu aku berada di rumah ini, tak ada satu pun aku lihat pekerja renovasi yang keluar masuk rumah ini. Bagaimana aku bisa tahu? Ya karena aku mengawasi setiap orang yang ada di rumah ini.
Pikiran dan rasa galau tentang ruangan perpustakaan terus berputar-putar di kepalaku. Hingga akhirnya aku pun mengambil sebuah keputusan.
"Mungkin hanya melihat-lihat sebentar saja boleh kali ya."
Karena rasa penasaranku yang sudah di ubun-ubun dan sudah ditumpuk sekian lama, akhirnya aku dengan bandelnya memutuskan untuk pergi ke ruang perpustakaan yang selama ini membuatku sangat penasaran.
Aku langsung melangkahkan kakiku dengan cepat menuju ruang perpustakaan. Dengan perasaan yakin dan berani, aku memantapkan hatiku untuk mencoba masuk ke dalam sana. Selama Papa, Mama atau kakak-kakak yang lain tidak ada yang tahu, itu tidak akan menjadi masalah untukku.
"Nah, sampai."
Yup! kini aku sudah berada di depan pintu ruang perpustakaan yang keadaannya masih sama seperti terakhir kali aku menginjakkan kakiku di sini. Benar-benar sangat sepi.
Dengan sedikit gugup dan jantung yang berdebar-debar, aku pun mulai menyentuh permukaan pintu besar itu dengan tangan kananku. Dan lalu, aku dorong perlahan pintu itu.
Ngeek
Ternyata pintu itu tidak dikunci sama sekali. Karena sudah terlanjur, maka kulanjutkan saja apa yang sudah aku mulai ini. Kudorong lagi pintu ruang perpustakaan itu hingga kini, pintu itu mulai terbuka seutuhnya.
Tapi tiba-tiba saja ....
"APA YANG KAU LAKUKAN, HAH?!!"
Tiba-tiba saja Kak Langit muncul dengan wajah marahnya. Ia lalu langsung menutup kembali pintu itu dengan kasar.
BRAKH!!
Suara keras hantaman pintu pun terdengar menggema di sepanjang lorong. Kini di depanku tengah berdiri sosok Kak Langit yang benar-benar terlihat sangat marah. Ekspresi wajahnya terlihat menakutkan, nafasnya terdengar naik turun dan keningnya terlihat sedikit berkeringat. Kedua tanganya pun mengepal dengan begitu kuatnya. Aku benar-benar takut sekarang.
"IKUT AKU!!"
Bentak Kak Langit sambil menyeret tubuhku kasar. Pegangannya pada pergelangan tanganku benar-benar sangat kuat sehingga membuatku merasa sangat kesakitan. Tapi, aku tidak berani protes sedikit pun.
Langkah kakinya yang sangat cepat dan panjang membuatku sangat kesulitan untuk mengimbanginya. Alhasil, aku berjalan mengikutinya dengan terseret-seret.
Kak Langit terus berjalan cepat sambil tetap menyeret tubuhku. Ia membawaku ke lantai tempat kamar beberapa kakak-kakakku berada. Salah satunya adalah kamar milik Kak Langit.
Klek
BRAKH!
Kak Langit langsung melemparkanku ke kasurnya setelah kami tiba di kamarnya. Ia pun juga mengunci pintunya agar aku tidak bisa keluar dari kamar ini.
Aku yang merasa sangat ketakutan pun hanya bisa menangis sesenggukan sambil memeluk kameraku kuat-kuat.
Kak Langit yang telah selesai mengunci pintu kamarnya kini mulai berjalan menghampiriku sambil tangan kanannya melonggarkan sedikit dasi kerja yang ia pakai. Sumpah. Aku benar-benar takut. Rasa takutku pun semakin bertambah saat ia semakin mendekat ke arahku.
Dan tepat saat Kak Langit sudah berada di pinggir kasur, ia dengan kasarnya langsung menarik lengan kananku (dan pastinya lenganku terasa sangat sakit) dan setelahnya ia membanting tubuhku ke dinding hingga berbunyi suara ‘bugh!’ yang cukup keras.
Ia lalu mengurungku dengan sebelah tangannya dan sedikit kulihat kalau kedua matanya menatapku dengan tatapan mata yang penuh dengan amarah. Aku pun hanya bisa menunduk sambil menangis ketakutan.
"Diam!" katanya.
Tapi karena aku merasa sangat ketakutan dan juga ada beberapa anggota tubuhku yang merasakan sakit, aku pun tidak dapat menghentikan tangisanku dan malah, kini tangisanku semakin menjadi-jadi.
"SUDAH KUBILANG DIAM!!"
Seketika aku langsung terdiam ketika ia membentakku seperti itu, dibarengi dengan tinjuan keras yang ia arahkan ke dinding yang ada di sebelah kiriku.
"Nah, begitu! Kamu harus menuruti apa yang aku katakan!"
Dengan susah payah, aku pun menahan tangisku. Rasanya benar-benar sakit saat kau harus menahan tangisanmu sendiri.
"Baiklah, kamu sudah tahu kan, kenapa aku semarah ini padamu?!" tanya Kak Langit dengan nada bicaranya yang terdengar sangat menginterogasi.
Aku pun lantas hanya menganggukkan kepalaku pelan sebagai jawaban atas pertanyaannya itu.
"Kamu sudah tahu kan, apa yang kau lakukan tadi itu adalah hal yang sudah kami larang?!"
Tanyanya lagi dan seperti sebelumnya, aku pun hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Lalu, kenapa kamu melakukannya, hmm?"
Karena saking takutnya, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dan malah secara spontan mengucapkan kata maaf dengan sedikit sesenggukan karena menahan tangis.
"Ma-maaf ...."
BAGH!
Kak Langit lagi-lagi meninju dinding yang ada di sebelah kiriku ini dengan sangat keras. Karena perasaan takut yang amat sangat, aku pun hanya bisa menunduk sambil menggigit bibir bawahku dengan sangat kuat. Kurasakan tubuhku juga bergetar dengan sangat hebat dan detak jantungku pun berpacu dengan sangat cepat.
Di tengah-tengah rasa takut yang mendera tubuhku ini, tiba-tiba saja Kak Langit mendekatkan wajahnya ke arah samping wajahku, tepatnya ke arah telingaku. Aku bisa merasakan embusan nafasnya dengan jelas karena saking dekatnya wajah Kak Langit dengan telingaku.
"Kamu ...."
"...."
"Untuk kali ini, aku akan memaafkanmu."
"...."
"Tapi jika lain kali kamu melakukan hal seperti ini lagi ...."
"...."
"Maka kamu akan menerima hukuman dariku. Hukuman yang sangat berat yang mana kamu sendiri tidak akan sanggup untuk membendungnya."
Setelahnya, Kak Langit menjauhkan wajahnya beserta tubuhnya dariku. Aku yang sudah merasa tidak terlalu takut mencoba untuk menatap wajahnya. Saat kudongakkan kepalaku, terlihat ia juga sedang menatap ke arahku. Ia menatap wajahku intens dengan ekspresi wajah yang kini sudah tidak terlihat semarah dan semenakutkan tadi.
Kulihat ia mengarahkan tangan kanannya ke arah bibirku dan lalu mengusap bibirku yang entah mengapa saat ia lakukan itu, permukaan bibirku terasa cukup perih.
Setelah ia menjauhkan tangannya, kulihat ada darah di ibu jarinya yang ia pakai untuk mengusap bibirku tadi. Apa bibirku berdarah? Ah benar juga. Sebelumnya kan aku memang menggigit bibirku sendiri karena merasa sangat ketakutan. Tapi aku tidak menyangka kalau bibirku akan terluka sampai berdarah seperti itu.
Aku pun memastikannya sendiri dengan memegangi bibirku dan benar, ternyata terasa sakit dan ada bekas darah di jariku. Setelah ini bibirku pasti akan sariawan.
Setelah momen-momen mencekam dan menakutkan itu telah berlalu. Kini keadaan mulai terasa sedikit lebih tenang. Kak Langit pun sudah berjalan menjauh dariku yang mana saat ini, aku masih tetap diam bersandar di dinding. Terlihat ia mulai berjalan ke arah pintu dan sepertinya ia akan pergi keluar dari ruangan ini.
"Aku akan kembali bekerja."
Tiba-tiba saja ia mengatakan hal itu .
"Kamu akan aku kunci di sini sampai aku kembali dari tempat kerjaku nanti sore."
Aku hanya bisa mengangguk mendengar perkataannya. Dan setelahnya, ia pergi meninggalkanku sendirian di kamarnya ini. Ia meninggalkanku dalam keadaan perut yang benar-benar sangat kelaparan. Ditambah kini, beberapa bagian tubuhku terasa sakit karena tindakannya yang kasar tadi.
"Aku tidak menyangka kalau hari menyenangkanku akan berakhir seperti ini."
Aku pun melangkah ke kasur king size milik Kak Langit dan lalu merebahkan tubuhku di sana. Lebih baik aku tidur saja karena sungguh, saat ini tubuhku terasa sangat lelah.
Dan tak lama kemudian, aku pun tertidur di kamar Kak Langit dengan pulasnya.
Sudut pandang Dio selesai...