6 : Run Away for A While

1321 Kata
    Aku yakin trikku telah berhasil membuat Dion ilfill padaku.  Bahkan aku sempat menceritakan tentang Sheila, adikku yang manis dan berbudi halus.  Kuharap ia memang benar cerdas.  Lebih baik memilih Sheila yang jelas good woman ketimbang diriku si w***********g.  Sementara menunggu kabar baik dari Dad tentang keinginan Dion untuk membatalkan rencana pertunanganku, aku sibuk mempersiapkan Ardo untuk menjadikannya My Cinderella Man.             Hari ini kubawa dia ke butik Jibril, untuk fitting baju-baju yang didesain sahabatku untuknya.  Seperti dugaanku, Ardo nampak amat sangat mempesona.  Luar biasa!              Plok!  Plok!  Plok!             Bahkan Jibril bertepuk tangan mengagumi hasil karyanya yang melekat di tubuh Ardo.  Saat ini Ardo mengenakan baju kebesaran layaknya seorang pangeran di negeri dongeng modern.             “Wonderful!  It’s delicious!”                Delicious?!  Sinting Jibril.  Dipikirnya Ardo makanan, apa?  Tapi ya kuakui, dia nampak yummy.  Pilihanku memang sangat tepat!!             Ardo menampilkan wajah seakan mau muntah mendengar komentar Jibril.  Aku tergoda untuk mengusilinya lebih jauh.             “Bagiku kau lebih lezat jika tanpa pakaian, Do.”             Bisikan pelanku membuat wajah Ardo merona merah.  Tapi dia tak kelihatan seperti mau muntah.  Dia hanya diam dan menunduk malu.  Ah, dia sangat menggemaskan.  Untung aku memilih pria yang tak membosankan bagiku.             “Nona, apa kita telah selesai?  Apa perlu saya mencobai baju sebanyak itu?”  dia menunjuk tumpukan pakaian yang telah selesai dicobanya, juga yang belum.             “Sabar ya Sayang, sebentar lagi selesai.  Setelah itu kita jalan ke mal.  Okey?’ bujukku.             Dipanggil sayang saja, Ardo nampak senang.  Kurasa ia sudah terpikat padaku.  Baguslah, supaya aku mudah mengendalikannya.             Satu jam kemudian kami telah berada di mal.  Seperti biasanya, bodyquard yang mengelilingku membuat kami menjadi perhatian para pengunjung mal.  Mereka berkasak-kusuk dibalik punggungku.             “Siapa dia?  Pejabat ya?”             “Atau artis?”             “Psssttt!  Lihat model pakaian mereka.  Mungkin mereka mafia!”             “Ma.. fia?!  Ih, seram!  Jangan berurusan dengan mereka, kita menghindar saja!”             Nah, dengar sendiri kan?  Apa kalian masih berpikir hidupku itu menyenangkan?  Aku sering mendengar kasak-kusuk negatif seperti itu di belakangku.   Itu sebabnya aku jenuh dengan hidupku di dunia mafia.   Aku ingin menjadi orang biasa saja.  Aku menghela napas panjang karena teringat pada impianku sejak aku masih kecil.  Ardo yang berjalan disampingku menoleh dengan tatapan empati.  Mungkin dia mengerti apa yang kurasakan.  Mendadak ia bergumam lirih di dekatku, “Apa Nona ingin lepas sejenak dari kungkungan yang menyesakkan ini?” “Maksudmu, kita kabur?” bisikku pelan. Ardo menggangguk samar.  Aku memandang sekitarku.  Kurasa seru juga jika kabur di mal sebesar ini, kemungkinan kecil mereka bisa mudah menangkap kami.  Paling Dad akan marah sebentar kalau tahu hal ini, tapi sepadanlah dengan kesenangan yang bakal kudapatkan.  Apalagi Dad amat menyayangiku, kurayu sebentar hatinya pasti akan luluh. Memikirkan hal itu sejenak, aku langsung memutuskannya.  Otakku berputar cepat mencari celah untuk kabur dari para bodyquardku.  “Martin, aku ingin dibelikan es krim rasa greentea dengan taburan almond, coklat, hazelnut dengan toping coklat strawberry.  Bisakah kau membelikan untukku di lantai UG?  Aku akan menunggu disini, capek sekali.  Dan cuaca terasa begitu panas.  Aku jadi mager.”  Aku memberi perintah sembari setengah mengeluh. Aku duduk di bangku yang disediakan untuk pengunjung mal yang ingin beristirahat.  Kini kami berada di lantai 5 Mal Victoria.   Salah satu mal milik keluargaku.  Aku mengenal seluk beluk mal ini, jadi kurasa kami bisa mencari tempat yang mudah untuk kabur. Martin memerintah salah satu anak buahnya memberikan eskrim pesananku.  Kini masih ada empat bodyquard yang mengelilingiku, termasuk Martin.  Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan mereka! “Martin, aku lapar.  Belikan burger di lantai satu.  Minta yang isian daging lembu anakan, yang dicacah agak halus, dibumbui dengan lada hitam dari Afrika.  Aku tak mau ada paprika hijau, minta mereka memberi paprika warna ungu.  Juga cabenya jangan cabe-cabean, lebih baik cabe yang ditanam di gunung Simalakama.” “Martin, astaga!  Tisuku habis.  Tolong belikan di supermarket bawah.  Lantai LG.  Cari tisu merk Princess aroma minyak Sinyongnyong.  Pokoknya harus dapat!  Kalau merk dan aroma lain aku tak mau.  Misal tak ada di display minta store manajer mencarikannya ke suplier!” “Martin, yuhuuuuu... aku lupa.  Tadi sempat janjian dengan teman di lobby mal.  Namun kami tak menentukan jamnya.  Tolong suruh salah satu anak buahmu mencarinya di lobby utama mal.  Dia tak punya ponsel.  Kalian cari saja wanita berpakaian ungu celana hijau, berkacamata besar.  Memakai kuncir dua, dengan jepit merah jambu.” Martin mengiyakan semua perintah absurdku.  Tanpa membantahnya!  Bahkan dengan sabar ia bertanya, “Masih ada lagi yang Nona perlukan?” Tak peduli ia sedang menyindirku, aku memerintahnya dengan semena-mena. “Pesankan aku label nama di toko printing lantai 7.  Desainnya bikin yang keren, ada logo perusahaan kita, logo tipe ALF-d019.  Aku tunggu disini.” Martin mengangguk, dia memandang Ardo, siap memberinya perintah.  Tapi aku segera mencegahnya. “Jangan suruh dia.  Kamu kerjakan sendiri, Martin.  Kamu lebih paham logo kita dibanding dia yang cuma supir pengganti.” “Tapi Nona, saya harus menjaga keselamatan Nona di mal ini,” bantah Martin. Aku mengangkat sebelah alisku dengan gaya mirip nyonya besar.  “Ya ampun, siapa yang berani menculikku di mal milik Dad?  Lagipula ada Ardo, dia bisa melindungiku.  Lihat kan, ototnya kokoh.  Dia cukup kekar.” Sial, Martin tak habis akal.  Dia menelepon toko printing di lantai tujuh dan meminta manajer desainnya segera menghadapnya dengan membawa laptop.  Jadi dia tetap bersama kami.  Aku dan Ardo bertatapan penuh arti, Ardo mengangkat bahunya.  Dia menyerahkan segalanya padaku, tapi.. dia menunjuk dengan dagunya.  Seorang pria pemarah sedang memarahi pengunjung wanita lainnya.  Dengan emosi dia menuding-nuding wanita itu.  Aku paham maksudnya.  Aku mendekati pria itu dan dengan sengaja menabraknya, hingga dia terjerembap jatuh tepat dibawah kaki wanita yang tadi diomelinya.  Sialnya, karena kaget wanita itu menumpahkan minuman bersoda yang dibawanya. BYURR!!  Otomatis minuman lengket itu membasahi wajah dan rambut pria menyebalkan itu.  Dia menggeram marah, apalagi ketika aku menertawakannya dengan keras.  Dia melotot padaku, aku balas memandangnya mencemooh. “Kenapa?  Tak terima aku memperlakukanmu seperti ini, Om?!  Coba kamu pikir apa tindakanmu memperlakukan wanita ini keren?  Cih, itu menjijikkan sekali Om!  Seperti tampilanmu!” ejekku. Kebetulan penampilan si Om memang tak sedap dipandang mata, pendek, botak dan buncit!  Tentu masalah penampilan merupakan hal sensi baginya.  Dia langsung emosi tingkat dewa, seperti yang kuharapkan dia gelap mata.  Pria itu bangkit, segera menerjangku.  Seperti perkiraanku, Martin menghadang pria itu.  Mereka langsung terlibat dalam perkelahian. Dan inilah kesempatan kabur yang berhasil kuciptakan dengan memancing huru-hara dengan pria emosionil ini.  Secepat mungkin aku menggandeng tangan Ardo dan mengajaknya berlari cepat meninggalkan keramaian yang terjadi karena banyak pengunjung mal yang menonton perkelahian antara Martin dan pria itu. “Nona!” teriak Martin gusar.  Namun dia tak bisa mengejarku.  Pria itu terus menyeruduknya.  Lagian tak mudah menerobos kerumunan orang-orang yang menonton perkelahian yang jarang terjadi di mal.  Alhasil aku berhasil kabur dari para bodyquardku.  Bergandengan tangan dengan Ardo kami terus berlari sambil tertawa girang.  Aku membawanya ke wahana permainan yang ada di lantai delapan.  “Finally, aku bisa menikmati permainan-permainan disini dengan bebas!” cetusku senang.  Selama ini Dad selalu melarangku bermain di wahana permainan yang dipadati pengunjung.  Dia takut jika aku dicelakai orang.  Pernah dia memboking satu wahana permainan yang begitu luas supaya aku bisa bermain sepuasnya disana.  Tapi apa asiknya menikmati semua itu sendirian?  Sensasi permainannya adalah bila kita larut dalam keramaian yang ada!  Tapi itulah Dad, dia super protektif padaku sejak kejadian itu.  Peristiwa penculikanku dan Mommy yang berakhir dengan tragedi kematian Mommy..  Aku menoleh pada Ardo, dan tersadar saat pria itu menatap lekat tautan tangan diantara kami.  Astaga!  Aku tak sadar jika masih terus menggandengnya.  Mungkin karena terasa nyaman melakukannya.  Fix, pikiranku pasti sedang korslet!  Hellow, dia itu supir penggantiku.. mengapa aku merasa begitu dekat dengannya? Buru-buru kulepas genggaman tanganku padanya, dan mengalihkan kecanggungan kami dengan berkata, “sekarang kita akan mulai dari permainan apa?” Aku mengamati sekelilingku dengan antusias.  Begitu banyak permainan yang ingin kucoba, aku bingung memutuskan mau mencoba yang mana!  Apa sebaiknya yang... Deg! Aku sontak menoleh dengan jantung berdebar ketika Ardo mendadak menggenggam tanganku.  Mestinya aku memarahi supirku yang telah lancang menggandeng tangan majikannya, tapi yang aku diam terpaku.  Aku meleleh melihatnya tersenyum manis. “Ayo kita mulai kencan pertama kita hari ini,” ucapnya dengan mata berbinar.   ==== >(*~*) Bersambung 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN