4 : My Cinderella Man

1175 Kata
    Begitu tiba di rumah, aku segera mencari Ardo.  Hari ini aku tak membawanya bersamaku karena ia harus melaksanakan tugas khusus dari ibu tiriku.  Jadi aku pergi bersama Martin, bodyquardku yang hari ini merangkap menjadi supirku.      Btw, aku memang memiliki ibu tiri dan satu saudara tiri, namanya SHEILA.  Tapi jangan berpikir mereka adalah ibu dan saudara tiri yang selalu membullyku.  Untung aku terlalu tangguh untuk mereka taklukkan.  Justru kuakui, aku kurang baik memperlakukan mereka.  Cenderung mengabaikan kehadiran mereka, padahal mereka berdua sangat baik padaku.      Aku menemukan Ardo berada didepan kandang anjing herder peliharaan kami, sepertinya ibu tiriku memberinya pekerjaan menjijikkan membersihkan kandang anjing.  Euyh..     “b******k!   Supir rendahan!  Beraninya kau mengotori pakaianku dengan tangan berkumanmu itu!! Akan kuminta Kak Bella memecatmu tanpa pesangon!  Kau tak layak bekerja disini, pergi!!”  Kudengar Sheila, adik tiriku, memaki-makinya penuh emosi.  Entah mengapa sepertinya Sheila kurang menyukai Ardo, padahal biasanya gadis ini tak pernah bersikap sekasar ini pada pegawai yang lain.  Untung Ardo sabar menghadapinya.     “Maaf, Nona.  Saya tak menyangka Anda tadi mengendap-endap dibelakang saya.  Jadi saat saya berbalik, tak sengaja tangan saya...” Ardo berhenti berbicara ketika dia menyadari kehadiranku dibalik punggung Sheila.      “Eh, kamu pikir aku mau ngapain kamu?  Melecehkanmu?  Sorry, kamu bukan levelku!!  Kamu kere, bauk, kotor, rendahan...”     Aku berdeham untuk memberi tanda kehadiranku.  Sheila terhenyak mengetahuinya.  Dia menoleh padaku dengan wajah memelas.     “Kak Bella, dia ... dia .. melecehkanku!  Tolong beri keadilan padaku!”     Tak semudah itu menghasutku.  Aku melihat noda kotor di pakaian Sheila, letaknya bukan di daerah rawan pelecehan.  Hanya ada sedikit noda tanah di bagian pinggangnya.  Kali ini  aku akan membela Ardo, selain karena dia tak bersalah juga untuk menarik simpatinya.  Aku amat membutuhkan bantuan Ardo saat ini.     “Sheila, berhentilah bersikap drama queen.  Dari yang kusaksikan, kau hanya sedikit kotor.  Dan dia tak bermaksud melecehkanmu!  Lagipula, ada urusan apa kamu di kandang ini?” sindirku to the point.     Wajah Sheila memerah mendengar ucapanku yang jelas tak membelanya.     “Aku .. aku .. mau memeriksa kerjaannya,” sahut Sheila gugup.      “Benarkah?  Apa harus kamu sendiri yang memeriksanya ke tempat sekotor ini?  Ini bukan tipikal nona manis pecinta kebersihan sepertimu, Sheila,” kataku sinis.      Pipi Sheila semakin merona malu.  Dengan kesal, dia menghentakkan kakinya, hingga membuat kotoran anjing yang berada didekat kakinya terpental mengenai wajah Ardo.      “Iiiiihhhhhh, jijikkkkkk!” pekiknya gusar.   Ia segera berlari meninggalkan kami berdua di dalam kandang anjing.       Sesaat kami hanya berpandangan satu sama lain dengan intens.  Apa dia cukup terharu karena merasa kubela harga dirinya?  Supaya dia mau menuruti keinginanku, kurasa aku harus berusaha lebih keras lagi.       “Ardo, ikuti aku,” perintahku lembut padanya.      Ia mengekor di belakangku.  Aku mengajaknya duduk di bangku, di bawah pohon yang rindang.  Kuharap angin yang bertiup sepoi-sepoi bisa mendinginkan hatinya yang panas karena ulah saudara tiriku.  Aku mengeluarkan tisu basah dari dalam tasku, matanya menatapku heran saat aku memegang dagunya yang berbelah dua.      "Non, biar saya saja.  Saya kotor.”  Ia berusaha mencegah ketika aku hendak mengelap wajahnya yang kotor memakai tisu basah yang tadi kukeluarkan.       “Tak apa, Ardo.  Anggap saja ini aku mewakili Sheila meminta maaf padamu dengan cara seperti ini,” ucapku kalem.       Dia menatapku nanar ketika aku membersihkan wajahnya dengan intens.  Tak sadar wajah kami berdekatan, nyaris tak ada jarak yang memisahkan.  Dari dekat begini, Ardo nampak semakin tampan.  Sayang, dia tak mau memanfaatkan wajahnya untuk hal yang lebih menguntungkan.  Aku yakin kalau dia mau menjadi aktor, pasti bakal laku keras.  Hehehe...       “Ardo..”     Saat aku memanggilnya, ia menoleh padaku hingga hidung kami bersentuhan.  Bibir kami hanya berjarak satu senti.  Mendadak aku tersadar akan situasi yang membuat kami jengah.   Ardo menatap bibirku lekat, membuat bulu kudukku meremang.  Astaga, apa ia akan menciumku?  Bodohnya, aku merespon pemikiran anehku dengan memejamkan mataku seakan mempersilahkan dia menciumku.      “Non, ada sesuatu disini.”     Aku tersadar ketika ia mengambil sehelai rambut yang terselip di ujung bibirku.  Malunya, ternyata ia tak berniat menciumku.  Dengan kikuk aku berkata, “terima kasih.”     “Nona mencari saya kemari, pasti ada sesuatu yang ingin saya lakukan.  Apakah tugas untuk saya?  Saya akan melaksanakannya dengan baik untuk membalas kebaikan Nona Bella.”     Nah ini!   Kurasa ini saatnya aku mengutarakan maksudku.  Ia nampak tenang ketika aku menjelaskan mengapa aku membutuhkan bantuannya untuk menjadi kekasih pura-puraku.  Hingga ke bagian dimana ia harus berperan sebagai bilionaire yang menandingi kekuasaan dan kekayaan keluarga Richardo.  Matanya membulat lebar, menatapku seakan tak percaya.     “Nona, Anda tadi mengatakan saya harus menyamar sebagai siapa?” tanyanya bingung.     “Pangeran Leonardo de Lafoya!” tandasku mantap.     Mulut Ardo melongo lebar saking takjubnya.  Mungkin ia tak menyangka aku bakal mentahbiskannya dengan jabatan se-absurd itu!   Hehehehe...     “Apa Anda mengenalnya?  Anda tahu dia seperti apa?” cicit Ardo galau.     Aku mendengus kasar.      “Mana kutahu?!  Dia begitu misterius!  Dia tak pernah dimuat di mass media, siapa yang tahu dia seperti apa?  Mungkin saja wajahnya terlalu jelek sehingga dia malu mengeksposnya!  Tapi apa peduliku?  Justru karena tak ada yang tahu pasti tentang dia, maka rencana kita akan berjalan dengan mulus,” kataku optimis.     “Rencana kita?”  Ardo tersenyum geli, “ Nona, Anda yakin kalau saya akan menyetujuinya?”     “Ayolah, Ardo.  Aku sudah sedemikian baik padamu, masa kau tak mau membantuku sedikit saja?  Apa yang kau minta, aku akan memenuhinya.  Asalkan tak memintaku bunuh diri atau menjadi monyet di hutan,” rajukku manja.  Haishhh, mengapa aku bisa bersikap kolokan seperti ini padanya?  Ck..  Tapi biar sajalah, sesekali tak apa.  Yang penting karenanya, sikap Ardo melunak padaku.  Pertanda dia mulai kompromi dengan rencanaku.     “Nona, ada beberapa hal yang perlu Anda jelaskan dibalik rencana gil.. rencana aneh Anda.  Pertama, bagaimana Anda meyakinkan keluarga Anda dan keluarga Richardo bahwa saya adalah sosok Cinderella Man?”     Aku tersenyum penuh kemenangan, ini pertanyaan mudah!     “Aku akan membuat mereka percaya dengan bukti-bukti rekayasa yang kuciptakan.  Kau tenang saja, Ardo.  Sudah kusiapkan anggaran untuk memodalimu supaya nampak seperti sultan.   Kau tinggal bertransformasi, merubah penampilanmu dengan arahan dari peri birumu, Jibril!”      Sepertinya Ardo kurang yakin dengan penjelasanku, tapi dia diam saja.  Bahkan dia melanjutkan dengan pertanyaan keduanya, “yang terakhir... Anda berniat membuat saya menyamar sebagai Pangeran Leonardo de Lafoya.  Bagaimana seandainya pihak istana sana mengetahuinya dan berniat menuntut An.. eh, kita?”     Ini pertanyaan yang lebih sulit, aku tak yakin apakah jawabanku tepat.  Tapi aku yang selalu optimis, tak merasa ini sesuatu yang mengancam.     “Ah, tak usah kau risaukan itu Ardo.  Mereka tak mungkin tahu.   Mereka itu negara tetangga nun jauh disana, tak mungkin mereka meribetkan masalah disini!  Lagipula sepertinya istana mereka kan terkucil, tak pernah ada pemberitaan.  Jadi tak mungkin mereka update berita sampai disini!”     Ardo mengangguk dengan senyum tertahan di bibirnya.  Aku jadi gemas.  Tinggal menyetujui apa susahnya sih?  Lagian dia gak rugi apapun!     “Jadi apalagi yang kau tanyakan?  Atau kau memiliki persyaratan khusus?” ujarku gusar, aku mulai kehabisan kesabaran.     “Hanya sedikit persyaratan,”  Ardo menunjukkan ujung telunjuknya, “untuk melancarkan peran kita... bolehkah aku menciummu, Bella?”     Deg.     Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar permintaannya.  Tapi aku tak bisa menyanggahnya.  Keterdiamanku diartikan oleh Ardo bahwa aku telah menyetujui permintaannya.  Bibirnya yang seksi mendekati bibirku, berhenti sesaat persis didepan bibirku untuk melihat responku.     Aku hanya menatapnya nanar, bibirku bergetar lembut seakan menanti sentuhan bibirnya yang s*****l.  Saat ia menyatukan bibir kami, hatiku berdesir hebat.  Ya Tuhan, dia mencuri ciuman pertamaku!        ==== >(*~*)< ==== Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN