Waktu menunjukkan pukul tujuh malam.
Beberapa macam menu makanan tersaji di atas meja. Ada kepiting saus tiram, lobster saus lada hitam, capcay, dan ikan bakar. Semua adalah makanan favorit Diandra.
"Julian, panggil kakakmu," kata Kartika.
"Baik, Bu." Julian bergegas memanggil kakaknya. Tidak lama, Julian kembali bersama kedua kakaknya.
"Wah, hari ini Ibu memasak banyak," kata Renata. Rasanya sudah tidak sabar ingin menyicipi hidangan spesial yang dimasak ibunya malam ini.
Mereka mengambil kursi masing-masing dan duduk.
"Tapi, kenapa yang terlihat semuanya kesukaan Andra?" Renata pura-pura marah, memiringkan kepalanya ke arah Diandra.
Andra hanya terdiam.
"Meskipun Ibu memasak makanan kesukaan Andra, tapi aku sangat menyukainya. Andra, makanlah yang banyak," Renata berkata penuh senyuman.
Renata belajar di fakultas kedokteran semester 2 dengan beasiswa. Dia mempunyai banyak pekerjaan paruh waktu. Meskipun mendapat beasiswa, dia masih harus menanggung beberapa p********n yang lain. Dia juga sering kali memberikan uang saku kepada adik-adiknya. Hari ini dia tidak bekerja karena fokus mempersiapkan ujian.
Perut mereka seperti akan meledak karena terlalu banyak makan. Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.
"Tetap di sini. Aku akan membuka pintu." Renata bangkit dari kursi menuju pintu.
Setelah pintu terbuka, tubuh Renata membeku seperti patung.
"Mang Kuncoro." Renata mengenal supir keluarga Hadi Winoto, ayahnya.
"Selamat malam, Den Renata," Kuncoro menyapa Renata.
Mereka saling mengenal, karena Renata dan Diandra sering menghadiri acara Keluarga Winoto di tempat pamannya, Rangga Winoto. Dan sesekali Mang Kuncoro mengantar mereka pulang tanpa sepengetahuan ibu tirinya.
Renata tidak menjawab, dia menghampiri ibunya dengan penuh pertanyaan. "Bu, kenapa supir Ayah ada di rumah kita? Apa yang dia lakukan di sini?"
Kartika terdiam, seakan melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dia sebenarnya tidak ingin Diandra pergi.
Renata mencoba menebak apa yang terjadi. "Jangan bilang Ibu ....!!!"
"Iya, kamu benar. Dia datang untuk menjemput Andra!" Kartika berusaha menunjukkan sisi jahatnya.
"Tidak. Ibu pasti bercanda!! Ibu tidak akan mungkin mengirim Andra ke sana."
Kartika tidak bisa berkata apa-apa. Meskipun dia sangat sedih, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya di depan anak-anaknya.
Diandra keluar dari kamarnya dengan tas di tangannya, matanya berkaca-kaca. Tatapannya dingin mengisyaratkan banyak hal yang tidak bisa diungkapkan. Renata menghampiri dan mengambil tas di tangan Diandra kemudian melemparkannya.
"Andra, apa yang kamu lakukan? Kamu setuju dengan kemauan Ibu?" Renata memegang kepalanya. "Aku tidak percaya ini."
Kuncoro mengambil tas yang dilemparkan Renata ke lantai, kemudian memasukkan ke bagasi. Dia melihat kesedihan yang dialami Kartika dan anak-anaknya. Tapi, Kuncoro tidak bisa berbuat apa-apa. Dia telah bekerja di keluarga Winoto selama dua puluh lima tahun, dan baru kali ini dia melihat mantan Nyonya Winoto yang sangat dihormatinya serapuh ini.
Kartika memiliki prinsip yang sangat kuat dan sangat disukai oleh para pelayan di keluarga Winoto. Dia tidak membeda-bedakan dan selalu ramah kepada para pelayan.
"Kak, sudah diputuskan. Tolong, jangan mempersulit Ibu. Aku akan mengunjungi kalian." Diandra memohon sambil memeluk Renata.
Renata tidak berkata banyak, air matanya jatuh. Diandra melepaskan pelukannya dan menghampiri adik kecilnya.
"Hei, bocah. Jangan nakal, jaga Ibu dan Kak Re untukku, okey," katanya sambil tersenyum.
Julian mengangguk dan berkata, "Kakak janji ya, akan mengunjungiku sesering mungkin." Air mata Julian berjatuhan.
"Iya, kakak berjanji. Anak laki-laki tidak harus menangis, okey." Diandra berusaha menghibur Julian.
Kemudian, Diandra menghampiri ibunya, "Ibu jaga diri, ya. Aku tidak akan membencimu karena memperlakukanku dengan buruk. I love you, Mom."
Meskipun Diandra sangat sedih, tapi dia tidak meneteskan air mata sedikit pun. Setelah berpamitan pada Ibu dan saudara-saudaranya, ia segera masuk ke dalam mobil.
Mobil melaju dan meninggalkan rumah tua itu. Kartika terjatuh lemas, wajahnya bersimbah air mata. Hatinya perih harus merelakan salah satu anaknya pergi. Tapi, dia harus melakukan itu, demi masa depan Diandra.
*****
Renata menghampiri Kartika.
"Ibu, berhentilah pura-pura bersedih. Untuk apa Ibu menangis? Bukankah ini keinginan Ibu?" Ini pertama kalinya Renata berteriak kepada Kartika.
"Kenapa Kakak marah pada Ibu? Ibu sama seperti kita. Tolong, jangan membuat Ibu lebih sedih lagi!" Julian mencoba menenangkan Ibu dan Kakaknya. Dia masih kecil, tapi sesekali seperti anak dewasa saat ibunya marah kepadanya atau kepada kedua kakaknya.
Dia seperti angin sejuk yang mampu memadamkan api yang besar.
Kartika tidak berkata apa-apa. Ini kali pertama dia berpisah dengan salah satu anaknya. Dia membelai lembut kepala Julian dan masuk ke kamarnya. Renata dan Julian tidak pernah melihat ibu mereka seperti ini. Kepergian Diandra membuat mereka semua terpukul.
Ayah Diandra, Hadi Winoto tinggal di kota B. Jarak antara kota A ke kota B tidak terlalu jauh. Hanya butuh 3 jam perjalanan dengan berkendara. Pukul sebelas malam, Diandra tiba di rumah Hadi Winoto.
Terlihat jelas, Hadi Winoto sangat peduli padanya. Dia bahkan menunggu Diandra di pintu masuk bersama para pelayan. Setelah mobil berhenti, salah seorang pelaya membukakan pintu mobil untuk Diandra. Hadi yang sudah menunggu tersenyum bahagia. Hadi menghampiri Diandra dan memeluknya.
"Bagaimana perjalananmu, Nak?" tanya Hadi.
Diandra yang masih dipenuhi rasa sedih menjawab ketus, "Bisakan saya istirahat dulu sekarang?" Seraya berjalan masuk. Kali ini, dia menunjukkan sisi terburuknya.
"Baiklah." Hadi Winoto dan pelayan mengikuti Diandra. Dia seperti seorang putri yang memiliki beberapa sayang.
Sesekali Hadi Winoto tersenyum melihat tingkah laku Diaandra. Dia tahu bahwa Diandra sangat keras kepala dan tidak peduli pada orang lain, selain kepada Ibu dan saudaranya.
Berbeda dengan Diandra, dia tidak mengenal Hadi Winoto dengan baik. Dia masih sangat kecil ketika ibunya membawanya keluar dari keluarga Winoto. Ingatannya sudah tidak ada lagi dan saat ini sangat jelas terlihat kalau dia sedang marah.
"Bisakah saya pergi ke kamar sekarang?"
Pelayan tua melirik Hadi Winoto. Setelah melihat Hadi mengangguk, pelayan tua itu menghampiri Diandra. "Nona, silakan."
Melihat tingkah laku Diandra, Hadi tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Anak ini," gumamnya.
Hadi tahu kalau Diandra sedang dalam kondisi mood yang butuh, dia dengan tenang menurut.
Diandra mengikuti pelayan tua dari belakang. Matanya membelalak melihat kanan kiri, memperhatikan besar rumah ayahnya. Untuk pertama kalinya Diandra datang ke rumah keluarga Winoto.
Rumah keluarga Winoto sangat besar dan megah dengan desain klasik modern, serta memiliki dua lantai.
Setelah sampai di depan pintu, pelayan tua membuka pintu kamar. Sontak Diandra berdecak kagum melihat kamarnya. Hatinya dipenuhi dengan pertanyaan dan kekaguman.
"Kamar Nona, di sini ...." Kata pelayan tua itu dan berjalan masuk, sedang pelayan lainnya meletakkan tas Diandra.
"Bi, tolong tinggalkan aku sendiri." Pinta Diandra.
Pelayan tua itu meletakkan tas dan bergegas keluar.
"Nona, saya Bibi Rita yang bertanggung jawab sepenuhnya di rumah ini. Jika Nona membutuhkan sesuatu, silakan hubungi saya." Bibi Rita memperkenalkan diri sebelum meninggalkan kamar Diandra.
"Okey." Diandra menjawab tanpa ekspresi.
Setelah pintu kamar tertutup, Diandra melihat seluruh ruangan dengan seksama. Kamar yang sengaja disiapkan oleh Hadi Winoto dengan warna favoritnya, hijau --- yaa, kamar bertema hijau dan seluruh aksesoris berwarna hijau. Hadi bahkan tahu warna favoritnya, tapi dia tidak perduli akan hal itu.
Meskipun ruangan itu sangat indah dan menakjubkan, tapi hatinya masih terasa sakit. Ini bahkan seribu kali jauh lebih baik dari rumah tua ibunya. Tapi, dia lebih menyukai tinggal di sana. Perlahan, dia mulai merindukan ibu, kakak, dan adiknya. Air matanya seolah tiada habisnya. Dia sudah menangis begitu banyak malam ini.
**Bersambung**