NOMOR TAK DIKENAL

1267 Kata
Setelah mengobrol begitu banyak, Azka Nugroho meninggalkan kediaman kakek-neneknya bersama Diandra. Dia mengantar Diandra ke kantor kementerian lalu ia menuju ke perusahaan. Di Kementerian, Diandra menyerahkan beberapa berkas miliknya, setelah itu ia menuju kantor Mirza Nugroho. Dia mengetuk dan membuka pintu. "Paman, apakah kamu sibuk?" Sapa Diandra sambil berjalan masuk. "Kamu sudah datang. Duduklah!" Mirza lalu ikut duduk di sofa setelah menyuruh Diandra untuk duduk. "Ya, aku harus menyerahkan beberapa berkas. Paman, maaf aku kembali tanpa mengikuti jadwal," ujar Diandra merasa bersalah. "Aku dengar begitu. Apa yang akan kamu lakukan setelah kembali ke sini? Apakah kamu akan bekerja di rumah sakit?" tanya Mirza. "Tidak. Aku akan bergabung di perusahaan." "Apakah kamu sudah memikirkan baik-baik sebelum memutuskan? Ayah, Ibu, apa.merrka tahu tentang ini?" taya Mirza lagi. "Ya. Kak Azka datang dan kami membahasnya." "Kami mengerti. Kamu akan baik di manapun." "Paman, aku akan pergi. Silakan melanjutkan pekerjaanmu. Maaf, aku sudah menganggu waktumu." Diandra meninggalkan kantor kementerian setelah menyapa Mirza. Kemudian, dia teringat pada Aliando Delfin, bersamaan ponselnya berbunyi. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dia kenal. Dengan ragu, dia menjawab panggilan itu. "Halo, ini siapa?" Diandra bertanya. "Apakah dokter tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada pasien?" Suara Aliando terdengar dari seberang sana. Ini nomor Aliando Delfin. Bagaimana bisa? Bukankah rumah sakit menjaga informasi dengan baik? Diandra bertanya-tanya pada dirinya sendiri. "Aku dengar Rumah Sakit Mitra memiliki dokter terbaik. Apakah aku harus memindahkanmu?" "Tidak. Tapi, aku menyukai dokter yang menolongku." Aliando bilang dia menyukai dokter yang menolongnya. Bagaimana itu terjadi? Apakah dia mengatakan perasaannya? "Sepertinya kamu tidak tahu. Aku tidak bekerja untuk rumah sakit mana pun." "Bagaimana mungkin seorang dokter tidak bekerja di rumah sakit? Apakah kau menipu petugas itu?" "Apakah itu terlihat? Apa kamu punya kepentingan lain? Jika tidak, lebih baik mari kita akhiri panggilan ini." kata Diandra tegas. "Aku merindukanmu." Suara Aliando terdengar lirih di telepon. Apa? Aliando merindukannya? Mereka tidak sedekat itu di sekolah. Diandra terdiam. Apakan dia harus senang mendengarnya? Seseorang yang sangat ia kagumi semasa sekolah mengatakan dia merindukannya? Apakah dia bermimpi? "Sepertinya tidak ada hal yang mendesak. Sampai jumpa." Diandra mengakhiri panggilan dengan Aliando Delfin. Dia mematung sejenak, memikirkan apa yang dikatakan Aliando barusan. Saat tersadar Diandra melanjutkan langkahnya menuju kantor sipil untuk mengurus kepindahannya. Setelah semua urusannya selesai, dia melihat arloji di pergelangan tangan kirinya menunjukkan jam dua belas siang, lalu dia menelepon Azka Nugroho. "Aku di sini," jawab Azka dari seberang sana. "Apakah kamu sibuk? Haruskah aku makan siang sendiri?" tanya Diandra. "Katakan kamu di mana, aku akan ke sana." "Di restoran Jelang dekat kantor kementerian." "Baiklah." Panggilan ditutup. ***** Di rumah sakit Mitra, Aliando Delfin terlihat sendirian. Tuan dan Nyonya Delfin telah kembali ke hotel untuk beristirahat. Mereka sangat lelah setelah melakukan perjalanan jauh dan menjaga Aliando semalaman penuh. Evan dan Bagas datang menjenguk dan mendapati Aliando tersenyum pada ponselnya. "Kondisimu sangat buruk, apalagi kamu tersenyum pada ponselmu. Apakah itu sangar menyenangkan?" Evan telah lama berteman dengan Aliando dan baru kali ini dia mendapati temannya tersenyum pada ponsel. "Pewaris Delfin Grup sekaligus Presdir di sebuah perusahaan besar menggunakan kamar VIP? Apakah perusahaanmu gulung tikar?" Bagas menyela. Mereka orang kelas atas tidak pernah menggunakan kamar VIP, meskipun itu tidak buruk dan sedikit lebih murah dari kamar VIP yang harga per malamnya seperti membakar uang. "Apakah kalian ke sini untuk mengejek?" Ujar Aliando sedikit kasar. "Apakah kedatangan kami membuat suasana hatimu buruk?" Evan berkata sambil memicingkan lalu melanjutkan, "Apakah kamu menemukannya?" tanyanya penuh curiga. Aliando jarang tersenyum, dan dia baru saja tersenyum dengan ponsel! "Ya, dia yang menolongku sekaligus mengirimku ke rumah sakit ini. Dan mendaftarkan aku di kamar ini." Mata Aliando berbinar saat mengatakannya. "Bagaimana? Apakah dia ....?" Evan terkejut saat mendengar Diandra yang menolong dan mengambilkan kamar untuk Aliando. "Dia masih sama." Tujuh tahun yang lalu saat mendengar Diandra menghilang, Aliando diam-diam mencari dan menggunakan beberapa koneksi tanpa sepengetahuan ayahnya, Raymond Delfin. Dia menyukai Diandra sejak dia memberi ucapan 'selamat' kepadanya waktu itu. ***** Diandra memasuki restoran Jepang itu dan memilih lantai dua yang tidak terlalu ramai. Dia memesan beberapa makanan seafood dan memilih meja di dekat jendela yang menghadap ke jalan. Terlihat sebuah mobil Ferrari hitam berhenti di depan restoran. Seorang pemuda turun dari mobil, dia memakai jas hitam dalam abu-abu dan sepatu kasual putih. Pemuda itu masuk dan memilih lantai dua., kemudian mengambil tempat di pojok ruangan berhadapan dengan Diandra. Saat duduk tatapannya tertuju pada Diandra. Tatapannya begitu tajam, dengan ragu dia menghampiri. "Kamu terlihat baik-baik saja setelah sekian lama." kata pemuda itu. Diandra mendongak melihat orang yang berbicara padanya. "Awalnya aku ragu. Dan benar ini kamu!" Pemuda itu menatap Diandra dalam-dalam dan melanjutkan. "Aku bisa memaklumi jika kau tidak mengenalku. Kita memang tidak pernah bertemu sebelumnya." Pemuda itu duduk di depan Diandra. Diandra terdiam beberapa saat, ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia tidak memiliki teman di Kota B, lantas siapa pemuda di depannya ini yang telah mengenalnya? Setelah beberapa lama berpikir .... "Apakah kamu David Winoto?" Diandra bertanya dengan ragu. Dia hanya pernah mendengar nama itu sekali, saat Marcella mengancamnya. "Aku senang kamu mengingat namaku." Mereka sama sekali belum pernah bertemu. David tidak sempat mengenal Diandra, karena waktu itu Diandra tiba begitu larut, David tidak menyambut. Pagi harinya Diandra tidak sarapan bersama, dia masih tertidur saat David berangkat ke sekolah. Dan saat David kembali dari sekolah, Diandra telah menghilang. Selama ini, David membantu Hadi mencari Diandra dengan menyebarkan beberapa foto kehilangan. Dia mengenali Diandra dari foto yang ia miliki. Salah seorang teman David menghampiri mereka. "David, teman wanitaku begitu cantik. Tidakkah kamu ingin mengenalkannya kepada kami?" tanya teman David itu. "Kalian tidak bisa menyentuhnya, dia saudariku. Kami harus bicara." David memperingatkan temannya. Teman David tidak mengatakan apa-apa. Dia kembali duduk bersama teman-temannya yang lain. Mereka tahu David memiliki saudara perempuan. Diandra terkejut mendengar David mengatakan 'saudariku'. "Kapan aku menjadi saudarimu? Aku tidak mengingat memiliki hubungan denganmu. Jadi, bisakah kamu meninggalkan aku sendiri atau aku harus pindah tempat." Diandra memperingatkan David, kemudian berdiri. "Kakak, bisakah kita bicara ....?" David menunduk sewaktu mengatakan itu, kemudian mendongak menatap Diandra. Diandra tidak menjawab, ketika akan melangkah David membuka mulut. "Kakak, aku mohon. Aku harus bicara denganmu beberapa hal!" Diandra menatap David. Pemuda itu terlihat serius dan sedih. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk kembali. "Bicaralah." Diandra kembali duduk di tempatnya semula. "Kakak, aku tahu ibuku mungkin berkata yang tidak-tidak kepadamu. Aku juga tahu kamu membenci Ayah. Tapi, demi Ayah aku mohon, kembalilah. Ayah pasti akan senang melihatmu kembali." Suara David terdengar penuh kesedihan saat menyebut nama Hadi. "Itu tidak ada hubungannya denganku," Diandra masih bersikeras. "Apa salah jika Ayah menyayangimu? Aku merasa kasihan padanya. Dia begitu membanggakan anak yang sama sekali tidak mempedulikannya. Dia bahkan rela menderita karenamu." "Jangan mengatakan seakan kamu mengetahui segalanya!" "Kamu harus tahu, Ayah memberikan semua sahamnya kepadaku tanpa sepengetahuan Ibuku. Aku hanya mengelola Winoto Grup. Dan karena kamu kembali, aku akan memberikannya kepadamu." "Aku tidak tahu kalau aku memiliki adik laki-laki yang begitu baik. Ibumu pasti bangga padamu. Jadilah anak yang baik dan dengarkan Ibumu." Ekspresi Diandra berubah saat David menyebut Marcella. Diandra tidak takut pada Marcella. Dia hanya tidak ingin membuat Ibu dan saudaranya menderita karena dirinya. "Aku tahu sangat susah membujukmi. Entah kamu percaya atau tidak, aku hanya berharap kita bisa dekat seperti layaknya saudara." Meskipun niat David baik, tapi Diandra tidak mempercayainya. Bagi Diandra, itu hanya buang waktu saja. Azka Nugroho datang dan menghampiri Diandra. Ekspresinya sedikit rumit melihat Diandra sedang bersama seorang pemuda. "Apa aku terlambat?" tanya Azka sambil menatap Diandra dengan mengerutkan dahinya. "Aku mengerti, aku akan meninggalkan kartu namamu. Aku harap kamu akan menghubungiku. Aku tulus untuk itu." Kemudian David berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan Diandra kembali ke teman-temannya. **Bersambung**
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN