Mentari bersinar cerah pagi ini. Birunya langit serta indahnya awan sangat memanjakan mata. Dari ujung jalan besar, mobil jenis Bugatti melaju dengan kecepatan rata-rata.
Dibalik kacamata hitamnya, lelaki blasteran Indonesia-Spanyol-Maroko itu tampak serius mengecek laporan dari perusahaan. Adanya telepon yang masuk tak membuatnya berpaling dari layar tablet, dia hanya menyalakan handsfree yang sudah terpasang di telinganya.
"Ya?"
"Kamu ada dimana? Bisa ke rumah sekarang? Ada hal penting yang mau Oma sampaikan."
"Oma mau ngomong apa? Di telepon aja ya? Sebentar lagi aku sampai kantor."
Terdengar decakan lidah diseberang sana. Menandakan kalau wanita tua itu kesal dengan penolakan sang cucu.
"Gak bisa. Ini penting banget. Oma mau bicara empat mata sama kamu."
"Tapi, Oma-,"
"Pokoknya Oma tunggu secepatnya!"
Sambungan telepon terputus. Wanita tua itu tidak mau dibantah. Kalau sudah begini mau tidak mau dia harus putar balik, walau jarak ke kantor sudah sangat dekat.
"Ke rumah Oma dulu, Pak Haryan."
"Siap, Mas."
Namanya Brahim Saddam Charles. Terlahir sebagai anak kedua dari hasil pernikahan Tom Charles dan Kamelia Lubis. Usianya sudah memasuki tiga puluh dua tahun, tapi masih belum ada keinginan untuk berumah tangga.
Sesampainya di tempat, langsung saja Brahim masuk ke dalam rumah besar bergaya klasik itu. Melangkah menuju ruang keluarga dan menemukan omanya yang sedang duduk anteng menonton acara televisi bersama perawat pribadinya.
Puput tersenyum sopan saat melihat kedatangan Brahim, lantas ia memberitahu Laya kalau orang yang sedang dinantinya telah tiba.
"Ada Mas Brahim, Oma."
Laya tersenyum senang. Bangun dari posisi duduknya, menyambut Brahim dengan tangan terlentang. Langsung saja lelaki berjas hitam itu menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan sang oma.
"Ah, Oma kangen banget sama kamu."
Brahim mengecup pelipis wanita tua itu seraya melepas pelukannya. "Aku juga kangen sama Oma."
"Halah! Kalo gak Oma yang minta buat datang ke sini, sampai lebaran monyet pun kamu gak akan temuin Oma."
Brahim tertawa pelan. "Aku kan sibuk ngurus kerjaan. Biasanya juga kalo senggang main ke sini."
Laya berdecak. Memang setelah Tom menyerahkan posisinya sebagai CEO kepada Brahim dua tahun yang lalu, waktunya semakin dihabiskan untuk bekerja. Dan Brahim mampu membuktikan kalau perusahaan semakin maju dibawah kepemimpinannya.
"Oh iya, tadi di telepon Oma mau ngomong apa?"
Laya memberi anggukan kecil pada perawat pribadinya. Kode itu ditangkap baik oleh Puput. Segera wanita setengah baya itu pergi untuk mengambil sesuatu yang sudah disiapkan sebelumnya.
Selang beberapa menit Puput kembali sambil membawa map berwarna hijau, lalu menyerahkannya pada Laya. Tak ingin mengganggu pembicaraan di antara mereka, Puput lantas undur diri.
"Subuh tadi Oma ke ruang kerja Opa. Hanya ingin sekedar mengenang masa lalu di sana. Dan tanpa sengaja Oma berhasil menemukan ini setelah lima tahun Oma cari," ujar Laya sambil mengangkat map tersebut, lalu memberikannya pada Brahim.
Tanpa ragu Brahim membuka map tersebut. Terdapat selembar surat bermaterai di dalamnya.
"Wasiat?" Brahim menatap Laya dengan alis terangkat satu.
"Bacalah, Nak."
Semakin bawah Brahim membaca isi surat tersebut, semakin jelas pula kernyitan di dahinya. Sementara Laya menunggunya dengan senyuman.
Brahim menutup map tersebut lalu menyimpannya ke atas meja. Terpejam sejenak sambil mengatur emosi yang menggebu dalam hati. Setelahnya dia bertanya dengan tenang, "kenapa harus aku?"
"Karena Opa tahu kamu yang paling sulit dalam hal ini."
***
Mesin pewaktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Brahim keluar dari mobilnya. Dia mengenakan kemeja putih dengan dua kancing atas terbuka dan menggulung bagian lengannya sampai siku. Jam jenis Rolex menghiasi pergelangan tangannya.
Belum ada lima langkah dia berjalan, seorang gadis tiba-tiba muncul dari tikungan dan menabraknya.
"Hey?"
Refleks Brahim berhasil menahan tubuh gadis tersebut sehingga tak membuatnya jatuh. Kepalanya menunduk dalam, membuat rambut panjang itu menutupi seluruh wajahnya. Brahim pikir dia mabuk.
"You okay?"
Gadis itu mengangkat wajahnya. Dia tersenyum lebar dengan mata sendu menatap Brahim.
"Kamu mau kemana? Ke sini sama siapa?" Brahim mengedarkan pandangan, mencoba mencari orang yang mungkin datang bersama gadis mabuk ini.
Brahim sedikit tersentak saat gadis itu menarik tengkuknya. Sontak saja tangan Brahim berpindah dari pundak ke pinggang sang gadis. Dari jarak kurang dari sejengkal, Brahim bisa mencium aroma alkohol yang begitu menyengat.
"Gue, mmm...."
"Ya?"
Gadis itu kembali terdiam. Keningnya mengernyit. Lalu secara mengejutkan dia mengeluarkan isi perutnya mengenai wajah Brahim. Oh my!
Brahim terpejam pasrah merasakan hangat serta bau dari muntahan gadis yang tak dikenalnya ini. Sementara gadis itu masih mual-mual sambil berjongkok.
"Aaaaah! Sakit!" Dia menjerit sambil memegang kuat kepalanya yang berdenyut.
Brahim mendengus pelan. Lalu berjongkok, membantu memijat kepala gadis itu. "Kamu sama siapa ke sini?"
Bibirnya melengkung ke bawah. Terdengar isakan kecil yang menandakan kalau dia menangis.
"Boleh saya pinjem handphone-nya?"
Gadis itu mendorong Brahim, membuat pijatan di kepalanya terhenti. "Dasar orang jahat! Lo mau rampok gue, ha?!"
Brahim berdecak. Harusnya tadi ia geledah saja tas gadis itu dan langsung ambil ponselnya untuk menghubungi keluarganya.
"Saya gak mau rampok kamu, justru saya mau bantu kamu."
"Bantu gue?" Gadis itu bertanya dengan kepala miring. "Serius mau bantuin gue?"
Brahim menghela napas. "Iya. Saya mau bantu kamu."
Gadis itu kembali mengejutkan Brahim dengan menarik tengkuknya, membuat jarak wajah mereka nyaris tak berjarak.
"Marry me, please!"
"Ha?"
"Marry.... Me." Tepat setelah gadis itu berucap untuk yang kedua kalinya, dia jatuh pingsan.
Brahim mengumpat kesal. Padahal ia pergi ke klub untuk menenangkan diri, tapi sekarang malah dibuat repot karena harus bertemu gadis ini. Dan sialnya, Brahim tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
***
Mata yang semula terpejam itu kini mulai terbuka. Keningnya mengernyit menatap setiap sudut ruangan yang terasa asing. Butuh beberapa detik sampai akhirnya dia menyadari kalau ini bukan apartemennya.
Dengan wajah panik dia segera menyikap selimut, melihat kaos oblong putih dan celana jogger abu-abu panjang terpasang di tubuhnya. Ini bukan pakaian yang dia kenakan saat pergi ke klub semalam.
"Walah kampret! Siapa yang gantiin baju gue woy?!"
Dia menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Membayangkan tubuh polosnya dilihat oleh orang lain. Oh noooo!
Handphone berdering di atas nakas. Segera dia mengambil benda pipih canggih itu dan melihat adanya panggilan masuk dari wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.
"Ambu!"
"Anak perawan Ambu abis darimana aja? Dari tadi di telepon gak diangkat-angkat."
Matanya melotot tajam. Perawan? Dia segera turun dari ranjang. Melebarkan kedua kakinya, bergaya split, memastikan kalau selangkangannya baik-baik saja. Untunglah dia tidak merasa sakit di bagian sana, berarti masih ada kemungkinan kalau orang yang telah membawanya ke sini dan menggantikannya baju tidak berbuat sejahat itu pada tubuhnya.
"Neng? Denger Ambu enggak? Kok diem aja?"
"Ha? Ambu ngomong apa tadi? Nadia gak denger." Dia sampai lupa kalau sambungan telepon masih terhubung dengan ambunya, Risma.
"Ya ampun, Neng, gimana sih? Dari tadi Ambu ngomong gak di dengerin."
Nadia tertawa canggung sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, Ambu. Jadi kenapa?"
"Pulang sekarang. Tadi ada tamu penting ke sini."
"Aduh, Ambu, Nadia gak bisa pulang sekarang. Mau ada pemotretan buat endors. Lagian percuma juga Nadia pulang sekarang, tamunya juga pasti udah pergi, gak bakal keburu."
"Tamunya emang baru aja pergi tadi. Tapi kamu harus tetap pulang, Neng. Ini tamu buat masa depan kamu. Harus kita diskusikan bersama."
"Hmm? Gimana?"
"Maksud Ambu, tadi calon suami kamu habis bertamu ke rumah."
Nadia melotot tajam. Calon suaminya? Siapa? Bruno? Ah, tidak mungkin. Hubungan mereka sudah berakhir dan semalam Nadia melihat Bruno semakin mesra dengan Yolan di klub. Lalu, siapa calon suaminya itu?
"Pokoknya hari ini juga kamu pulang!"
"Tapi, Ambu-,"
"Sudah! Ambu tutup teleponnya. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam," lirihnya menjawab setelah Risma memutus sambungan telepon.
Nadia berkacak pinggang. Memikirkan ucapan ambunya tadi. "Argh, gak tahu ah pusing. Ini lagi gue ada dimana?"
Nadia mengusap perutnya yang terasa kosong. Melihat mesin pewaktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Pantas saja perutnya sudah keroncongan.
Nadia berdecak kagum. Menyadari kalau kamar bernuansa hitam ini sangat mewah dan elegan. Kekagumannya tidak berhenti sampai di situ, ruangan lainnya yang terdapat di apartemen ini pun sangat indah. Nadia jadi berpikir, sekaya apa pemilik apartemen ini?
Melihat sesuatu tersaji di meja dapur, Nadia mempercepat langkahnya ke sana. Tunggu, tak hanya ada makanan tapi juga secarik kertas, kartu akses, dan juga obat.
Dalam kertas tersebut bertuliskan: Saya sudah siapkan makanan buat kamu. Tinggal kamu panaskan saja. Jangan lupa diminum obatnya. Dan tolong berikan kartu akses itu ke kantor Charles Dip setelah kamu keluar dari apartemen saya.
Maaf karena saya bawa kamu ke sini. Handphone kamu mati, tapi sudah saya charger. And I'm so sorry karena harus mengganti pakaian kamu yang kotor terkena muntahan semalam. Tapi kamu tenang saja, saya gak berbuat lebih daripada itu.
Nadia menutup mulutnya tak percaya. Bagaimana bisa ada orang sebaik ini di zaman sekarang?