Di sebuah negeri yang dikenal akan ketentraman dan kesejahteraannya. Semua penduduk hidup saling menghormati satu sama lain. Mereka semua tampak riang gembira dengan wajah berseri-seri. Pemandangan cukup menakjubkan bagi negeri kecil dengan sihir tingkat dewa.
Terlihat sebuah bangunan mewah nan elegan berbentuk kerajaan menghiasi tengah-tengeh negeri serba biru di atas langit ketiga. Membuat awan-awan dijadikan sebagai rumah dan kendraan mereka ke sana-kemari.
Meskipun begitu, mereka mempunyai sepasang sayap berwarna putih yang begitu lebar. Bahkan bisa menyapu keadaan dengan sekali kepakkan sayapnya. Membuat seisi apa pun runtuh.
Terlihat militer dari kerajaan tersebut berlatih menembak secara sihir menggunakan busur elegan berwarna hitam. Mereka semua tampak begitu giat berlatih seakan-akan sebentar lagi musuh menyerang.
Alam Neox yang menjadi tempat hunian bagi Klan Iblis itu tampak sangat tentram dengan penduduk saling melindungi satu sama lain. Jelas kalau dibandingkan pada Klan Manusia akan berbeda cukup jauh. Karena semua penghuni bumi tidak urung menyebarkan kebencian sekaligus rasa tidak suka pada orang lain.
Lebih baik menjadi Klan Iblis yang hidup tentram, meskipun banyak sekali julukan tidak sesuatu dengan kenyataannya. Membuat beberapa dari mereka sakit hati, tetapi lebih memilih untuk membiarkannya saja.
Terlihat di singgasana berwarna biru langit yang sepadan itu berisikan seorang lelaki paruh baya dengan wajah mulai menua, tetapi tidak dengan usianya sampai ratusan tahun. Banyak sekali kehidupan yang telah dijalaninya.
“Dewa Neox,” sapa seorang lelaki berpakaian militer ala jendral. Ia menaruh tangannya di pundak kanan, lalu membungkuk hormat dengan menekuk sebelah kakinya. Jubah hitam berlogo kuda cukup besar itu tampak menghiasi punggung tegapnya yang lebar.
“Katakan, Jendral Elmios!” titah Dewa Neox dengan suara dalamnya yang begitu menggema.
Seorang pemuda tampan yang terlihat muda sekaligus menjadi jendral bagi militer elit Kerajaan Neox pun menyerahkan sebuah gulungan surat berwarna biru senada dengan keadaan Alam Neox yang sebenarnya.
Seorang bertubuh kecil bak kurcaci itu pun mengambil gulungan yang diberikan oleh Jendral Emios dan membawanya dengan alis yang bertaut bingung, lalu meletakkan kembali gulungan tersebut ke atas meja kosong di hadapannya.
“Dewa Neox, apa tidak seharusnya kita segera mengirimkan banyak untuk mengawasi keadaan di Bumi?” usul Jendral Elmios dengan besi yang menjadi tongkat persenjataan pemuda tersebut.
“Bukankah di bumi sudah memiliki mata-mata yang cukup?” tanya Dewa Neox mendadak bingung.
“Pertarungan dua puluh tahun lalu sudah hampir tenggat waktu, Dewa. Kita harus segera menyelamatkan Klan Iblis yang sempat ditahan oleh manusia kotor itu,” jawab Jendral Elmios mendadak kesal sekalingus mengepalkan tangannya kuat, lalu menatap ke arah lain dengan berapi-api.
Jelas tidak ada yang bisa bersikap tenang ketika salah satu keluarga dari mereka ditahan oleh orang lain. Apalagi sampai dijadikan tawanan dan diperbudak secara kasar untuk melakukan sesuatu.
Akan tetapi, Klan Iblis jelas belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawan para penjahat berkedok perilaku polos tanpa rasa bersalah. Padahal kalau dilihat lebih dalam, Klan Manusia jelas sangat tidak cocok menjadi penghuni bumi yang masih subur. Sampai akhirnya berubah menjadi sangat rusak.
Dewa Neox tampak mengusap jenggotnya yang memanjang dengan mengangguk-angguk beberapa kali. Menimang bahwa perkataan dari jendral kepercayaannya memang benar. Jelas mereka harus bergerak cepat, sebelum Klan Manusia melemparkan serangan kembali seperti dua puluh tahun lalu.
“Kalau begitu, kau atur tentara elit untuk menyelamatkan mereka,” titah Dewa Neox mengambil keputusan yang sangat bijak.
“Baik, Dewa!” jawab Jendral Elmios pernuh bersemangat sembari menunduk patuh.
“Aku ingin seluruh keluarga kita akan kembali lagi ke sini tanpa ada satu kekurangan apa pun. Jangan sampai melakukan serangan pertama, kalau tidak benar-benar mendesak. Karena aku tidak ingin Klan Iblis menjadi korban dari peperangan keji itu,” tutur Dewa Neox dengan segala pemikiran bijaknya.
Terkadang lelaki paruh baya berpakaian putih itu tampak sangat mementingkan rakyatnya daripada kesehatan dirinya sendiri. Namun, terkadang pula ia begitu keras pada Dewi Renisia, anak semata wayangnya.
Menjadi satu-satunya keturunan dari Kerajaan Neox membuat Dewi Renisia sering kali dijodohkan dari berbagai macam bangsawan untuk membantu mengelola pemerintahan. Namun, tidak ada satu pun pemuda yang pantas untuk dirinya, selain Gu Sheng Jun.
Sesosok lelaki jendral gagah berani yang pernah menyelamatkan dirinya dulu. Bahkan ia sudah tidak memedulikan apa pun ketika membantu Dewi Renisia yang terang-terangan adalah musuhnya sendiri.
“Dewi Renisia,” sapa Jendral Emios melihat seorang wanita masuk ke dalam berpakaian sangat cantik, lalu duduk di salah satu kursi yang ada di sana.
Sayang sekali wanita yang baru saja disapa itu terlihat acuh tak acuh, lalu menoleh ke arah Primus yang memberikan secarik surat dari pemerintahan. Membuat Dewa Neox menghela tidak bisa melakukan apa pun melihat betapa keras kepalanya Dewi Renisia yang terus menginginkan untuk bersama pemuda dari bumi.
“Baiklah, Jendral Elmios. Kau bisa pergi,” titah Dewa Neox membuat pemuda tampan gagah tadi langsung mengangguk mengiakan.
Kemudian, ia bangkit dari berlututnya, lalu melirik singkat ke arah Dewi Renisia. Namun, sayang sekali wanita itu benar-benar bersikap acuh tak acuh selama puluhan tahun. Sejak dirinya naik tingkat menjadi jendral bagi tentara Alam Neox.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa satu-satunya alasan bagi Elmios naik tingkat adalah agar Dewi Renisia mau menerima dirinya. Akan tetapi, pil pahit hanya bisa ia telan sendiri tanpa ada siapa pun yang mengerti.
Sepeninggal dari jendral kepercayaan Dewa Neox, kini Dewi Renisia terdengar mendecih pelan membuat sang ayah yang tadinya sibuk membaca banyak laporan militer langsung menoleh membuat Primus menegur Dewi Renisia dengan pukulan pelan.
“Kenapa? Apa aku salah?” tanya wanita itu menatap polos.
Sontak hal tersebut benar-benar membuat Dewa Neox diuji kesabaran oleh putrinya sendiri. Namun, ia tidak memiliki hal lain, selain membiarkan wanita itu berbuat sesuka hati. Karena yang terpenting Dewi Renisia tidak lagi kabur bersama lelaki rendahan tersebut.
Tak lama kemudian, sesosok wanita paruh baya membawa nampan makanan itu pun datang membuat Dewi Renisia tersenyum lebar. Tentu saja yang ia tunggu-tunggu, akhirnya datang juga.
“Ibu!!!” panggil Dewi Renisia bangkit dari berlari menghampiri sang ibu yang tertawa pelan.
Sedangkan Dewa Neox yang melihat interaksi antara ibu dan anak itu pun tersenyum penuh haru. Memang ia tidak pernah mempermasalahkan apa pun yang terjadi dengan dirinya dan anaknya sendiri.
“Ya ampun, Renisia. Kau selalu saja seperti anak kecil,” ucap Dewi Neox tertawa pelan melihat tingkah putrinya yang sudah mempunyai anak, tetapi terus bersikap layaknya anak kecil.