Sisi Lain Nadia

1649 Kata
Nadia tersenyum ramah pada klien yang baru saja selesai meeting dengan Abimana. Setelah orang tersebut pergi, Nadia dengan cepat merapikan berkas-berkas yang dia bawa saat ini. Abimana memperhatikan bagaimana Nadia seperti terburu-buru. Tapi, seingatnya, Nadia memang seperti ini setiap kali ikut meeting dengannya di luar kantor seperti saat ini. "Tidak perlu terburu-buru, Nad. Santai saja. Saya masih ingin di sini dulu, menghabiskan kopinya." Nadia menoleh dan menyahut, "iya Pak, tidak masalah. Memang sudah jadi kebiasaan begini Pak," Abimana tak menyahut, dia kembali menyesap kopinya yang masih tersisa setengah. Sudah lumayan dingin sejak terakhir kali dia meminumnya, masih panas. "Sudah kamu catat semuanya kan hasil akhir dari pertemuan tadi? Saya tidak mau ada kesalahan lagi Nad." "Sudah Pak. Kali ini saya berani menjamin kalau tidak ada kesalahan seperti dua hari yang lalu. Maaf ya Pak, saya memang sedang tidak konsen pada hari itu." "Itu yang mau saya tanyakan juga," sahut Abimana dan Nadia cukup terkejut dengan balasan dari pria itu. Untuk apa? Abimana menaruh atensi penuh pada Nadia yang duduk di sampingnya saat ini. "kamu ada masalah apa dua hari lalu? Sampai tidak konsen dan terdapat beberapa poin penting yang kamu lewatkan. Beruntung saya masih ingat poin-poin penting itu." Nadia merutuki kebodohannya sendiri dalam hati. Dua hari lalu memang dia benar-benar sedang tidak fokus. Semua ada alasannya, karena memang cukup membuat Nadia kepikiran. "Saya hanya ingin memastikan jika kamu tidak sedang memikirkan masalah pribadi pada saat bekerja. Karena kamu harus tau, itu bisa berakibat fatal jika kamu tidak konsen dalam bekerja." lanjut Abimana. "Maaf Pak sebelumnya. Saya akui jika memang saat itu saya sedang tidak fokus. Tapi, saya pastikan pada anda jika saya tidak akan mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan." sahutnya. Abimana memperhatikan dan mengamati ekspresi wajah wanita itu begitu lamat. Sampai Nadia sendiri merasa jika Abimana terlalu berlebihan saat menatapnya. Karena itulah, Nadia berdehem pelan sambil menunduk dan Abimana mengalihkan wajahnya. "Saya ke toilet sebentar." Nadia sontak mengangkat wajahnya dan mengangguk saja sebagai respon. Ada sedikit kelegaan saat ini, sebab Abimana sedang tak ada di dekatnya. Aneh, tapi nyata. Nadia saat ini sudah mulai merasa aneh dengan tatapan yang Abimana berikan padanya. Tatapan saat pria itu menatapnya diam-diam, tatapan pria itu pada saat dia bicara, dan masih banyak lagi. Dia masih ingat betul saat awal-awal bekerja di perusahaan tersebut, Abimana Naratama sebagai CEO termasuk orang yang cukup cuek dan dingin. Namun tetap tau bagaimana caranya menghargai karyawan. Tapi entah mengapa, semakin ke sini, pria itu cepat sekali berubah. Abimana jadi lebih sering banyak bicara, tidak sedingin saat pertama kali dia bertemu. Pokoknya benar-benar perubahan yang sangat signifikan. "Duh, apaan sih Nad, ngapain mikirin bos lu sendiri?" monolognya sembari menepuk jidatnya beberapa kali. Karena Nadia sedang menunduk, dia tidak sadar jika ada seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Menarik kursi kosong yang ada di samping Nadia. Tentu saja, suara ujung kursi yang beradu dengan lantai terdengar dirungu Nadia. Wanita itu mendongak sedikit untuk mengetahui siapa yang bergabung di mejanya sekarang. Bohong jika Nadia tidak terkejut dengan siapa saat ini yang ada di hadapannya. Terlihat dari pupil matanya yang melebar sempurna. Sumpah demi apa pun, Nadia benar-benar merasa sial karena untuk pertama kalinya dia kembali bertemu dengan mantan adik iparnya setelah berbulan-bulan bercerai. "Helen?" Sang pemilik nama tersenyum miring dan menyapa, "halo, mantan mbak ipar gue. Kaget ya ngelihat gue bisa ada di sini?" "Mau apa lagi kamu?!" "Aduh, galak banget ya? Mentang-mentang udah jadi selingkuhannya bos gede jadi keluar aslinya kayak gimana. Yakin sih, udah dipake berapa kali lo Mbak sama bos lo yang cakep itu?" Tangan Nadia mengepal di bawah meja. Tatapannya yang tenang, namun begitu menusuk. Dia benar-benar muak dengan segala ocehan Helen yang semuanya sama sekali tidak benar. "Dapet berapa duit tuh dari bos lu itu? Jadi penasaran deh, siapa yang duluan ngegoda. Bos lo yang beli atau lo yang nawarin. Tapi kayaknya lo sih ya Mbak yang nawarin tubuh ke bos lo? Gue tau sih Mbak, lo emang murahan, tapi jangan sama bos sendiri juga dong." "Stop ya, Helen. Cukup!" Helen melipat kedua tangannya, mendekatkan wajahnya sambil tertawa meledek ke arah Nadia. Dia benar-benar suka sekali berpikiran negatif pada Nadia. Hidupnya memang tidak pernah tenang jika belum membully seseorang. Kebetulan dia sedang ada di kafe yang sama. Dia memperhatikan bagaimana interaksi antara Nadia dengan bosnya yang tampan. Tentu saja Helen sedikit tidak suka sebab Nadia bisa tertawa dengan pria tampan yang sama sekali tidak dia kenal. Kebenciannya pada Nadia memang sudah mendarah daging, makanya tak pernah senang jika melihat wanita itu terlihat bahagia. "Kenapa gue harus stop? Oh iya, gue tahu. Mungkin karena omongan gue bener kali ya? Kalau lo cuma jadi selingkuhan bos lu yang kerjaannya morotin duit sama muasin hasrat bos— Akh!" Nadia menghentikan ucapan Helen dengan menampar pipinya. Dia bangkit dari duduknya dengan emosi yang sudah memuncak. Nadia tidak peduli sama sekali dengan tatapan orang-orang yang saat ini melihat ke arahnya. Dia tak peduli menjadi tontonan gratis saat ini. Meski memalukan, tapi Nadia tidak peduli. Nadia sudah cukup bersabar, tapi Helen terus saja menuduhnya yang tidak-tidak. Siapa saja akan melakukan hal yang sama ketika namanya dicap buruk. Helen yang tidak terima langsung bangkit dan tangannya bergerak untuk menampar Nadia. Namun, sebelum telapak tangan Helen menyentuh pipi mulus Nadia, seseorang sudah lebih dulu menahan tangannya. Siapa lagi jika bukan Abimana? Pria itu datang di waktu yang tepat. Dia melirik Nadia sebelum menurunkan tangan Helen. Ditatapnya Nadia yang sama sekali tidak memiliki ketakutan saat Helen hendak menampar. "Jangan bersikap kurang ajar pada Nadia!" seru Abimana sembari menurunkan tangan Helen secara kasar. Helen tertawa sarkas. Menatap Nadia penuh dengan kebencian dan juga kesal karena Nadia sudah mempermalukannya di depan orang banyak dengan cara menamparnya. "Seneng kan lo Mbak? Seneng kan pahlawannya udah datang? Mau tampar gue lagi nggak? Ayo tampar! Biar semua orang tau aja sekalian kalau lo emosi karena apa yang gue omongin itu benar. Lo itu murahan! Jual diri sama bos lo ini!" ujarnya sembari menunjuk ke arah Abimana. Pria itu hendak menyahut, namun Nadia justru kembali melayangkan tamparan untuk yang kedua kalinya pada Helen. Saat Helen hendak balik menampar, Nadia segera menepis tangannya dan berakhir dia memberikan tamparan lagi pada Helen. Membuat kedua pipi Helen menjadi merah dan itu sudah dipastikan terasa begitu panas, mengingat suara tamparannya yang begitu keras. "Stop ngomong yang nggak bener tentang gue, Helen! Selama ini gue udah bersabar sama perlakuan lo, dan semua keluarga lo. Gue udah diem dan menjauh dari kalian, tapi kenapa lo masih aja ngurusin hidup gue? Kenapa masih aja ngepoin hidup gue dan nggak berhenti jelek-jelekin gue? Kenapa?!!" Abimana cukup terkejut dengan apa yang barusan Nadia ucapkan. Dari ekspresi dan suara Nadia yang sedikit bergetar, Abimana yakin jika apa yang Nadia ucapkan itu sungguhan dan dari dalam hati. Abimana bisa merasakan sesak dan sakit setiap Nadia melontarkan kata demi kata. Dia hanya bisa diam mendengarkan. Karena sebenarnya, dia juga tak berhak untuk ikut campur. Dia bahkan juga tak mengenal siapa wanita yang sedang dimaki oleh Nadia saat ini. Tapi sungguh, Abimana benar-benar terkejut dengan sisi lain Nadia yang satu ini. "Gue capek! Stop gangguin gue! Apa kurang selama bertahun-tahun lo dan keluarga lo nyakitin gue? Belum cukup juga? Sebenarnya lo punya masalah apa sih Helen sama gue?! Apa hidup lo nggak pernah tenang kalau belum menghina gue?! Stop!" "Gue emang benci banget sama lo Mbak! Selamanya gue tetep benci sama lo! Untung aja Mas Ardi menceraikan wanita kayak lo yang murahan! Menjijik—Akh! Mbak!" Nadia kembali menampar Helen untuk yang ke 4 kalinya. Kali ini puncaknya. Nadia menunjuk wajah Helen dengan penuh rasa kecewa, benci, dan sakit hati yang mendalam. "Sekali lagi lo bilang gue murahan, gue nggak akan segan-segan ngasih tau keluarga lo tentang apa yang lo lakuin selain kuliah. Dan satu lagi, bukan gue yang murahan, tapi kakak lo! Kakak lo yang selingkuh di belakang gue! Jadi, siapa yang menjijikan di sini? Gue atau kakak lo?" Helen yang sudah merasa terpojok akhirnya mundur dan buru-buru pergi dari sana. Dia cukup terkejut dengan ucapan Nadia yang mengetahui apa kerjaannya selain kuliah setiap harinya. Saat ini, dia memilih mengalah dan pergi dari sana. Namun tetap saja, dia bersumpah akan membalas Nadia lain kali. Sementara itu, Nadia menghela napas berat sebelum akhirnya menoleh ke arah Abimana yang sedari tadi hanya diam di sampingnya. Bahkan Nadia langsung mengalihkan pandangan saat sadar bahwa orang-orang masih melihat ke arahnya dan beberapa ada yang masih berbisik-bisik. Nadia tau apa konsekuensinya jika bertengkar di tempat umum. Sudah pasti menjadi tontonan gratis. Apalagi orang-orang di negeri ini memang sangat suka dengan keributan. "Pak Abi sudah selesai? Bisa kita kembali ke kantor sekarang?" Nadia bertingkah seperti tak terjadi apa pun barusan. Padahal dia sekuat tenaga sedang mencoba untuk menutupi rasa malunya di depan banyak orang. "Ya, kita kembali ke kantor sekarang." Abimana dengan sigap membantu Nadia membawakan berkas dan laptop. Meskipun Nadia menolak, pria itu tetap bersikeras membawanya. Dan tentu saja Nadia membiarkan Abimana untuk membantunya. Dia berjalan lebih dulu dengan Abimana yang berada di belakangnya. Bahkan ketika sampai di parkiran, Abimana mendadak membukakan pintu mobil untuknya. Nadia benar-benar terlihat canggung dan risih dengan sikap Abimana barusan. Tapi mau bagaimana lagi? Tentu dia hanya bisa menerima perlakuannya. "Terimakasih, Pak." Abimana mengangguk, lalu menutup pintunya setelah Nadia masuk ke dalam. Pria itu sedikit melangkahkan kakinya dengan lebar, memutari mobil dan segera masuk ke dalam mobil. Duduk dibalik kemudi dan mulai melajukannya dengan kecepatan sedang. Sesekali Abimana melirik ke samping, untuk melihat bagaimana keadaan Nadia. Dia yakin, sebenarnya Nadia sudah hampir menangis. Namun ditahan sebab masih ada dirinya. Karena itulah, Abimana membawa Nadia ke tempat lain sebelum kembali ke kantor. Nadia yang sadar jika Abimana mengambil jalan yang lain, dia buru-buru menoleh ke samping dan bertanya, "kita mau ke mana ya Pak? Bukannya ini bukan jalan menuju kantor? Pak Abimana salah ambil jalan?" "Ya memang bukan menuju kantor. Saya butuh pergi ke tempat yang bisa membuat hati dan pikiran saya tenang." jawab Abimana. Lalu pria itu kembali mengoreksi ucapannya, "i mean, kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN