Melihat Rumah Warisan

2505 Kata
Sontak saja, Ryan dan Afif berteriak kaget dan tanpa sadar Ryan melepaskan pegangan pada setang motornya, sampai jatuh. "Sakit Ryan! kenapa kamu tidak hati-hati, sih!" omel Afif, yang tidak melihat ke luarnya kepala tanpa badan dan sedang menatap mereka dengan galak. Ryan membalikkan badan Afif, untuk melihat apa yang membuatnya menjatuhkan motor. "Sekarang kamu lihat bukan, Afif! apa yang membuatku melakukannya," bisik Ryan. Mata Afif melotot tidak percaya, melihat apa yang ada di depan matanya. Mata yang dilihatnya justru melotot balik ke arahnya dan membuat ia menjerit ketakutan. Kepala tanpa badan itu, lalu melayang melewati kepala Ryan dan Afif dan kemudian menghilang begitu saja. "Astaga! buat apa kamu memasukkan penumpang gelap ke dalam tas mu, Ryan? mana menyeramkan, kurang kerjaan saja, kamu ini!" "Enak saja! siapa juga yang memasukkannya ke dalam tas ku. Dia sendiri yang masuk. Tidak usah dipikirkan, mending kita ke basecamp saja, sebelum marah pak ketua." Ryan dan temannya Afif pun, melanjutkan perjalanan mereka. Namun, disepanjang perjalanan, keduanya merasa diikuti. "Ryan, buku kuduk ku berdiri, aku merasa tidak nyaman, seolah.ada yang mengikuti kita!" "Aku juga merasakannya, Afif! semoga saja perjalanan kita lancar dan sampai di tujuan dengan selamat." Mereka akan mendaki gunung Gede, dan akan membuat kemah di sana selama satu malam, lalu keesokan paginya mereka kembali ke tempat mereka masing-masing. Keduanya memilih untuk berboncengan saja, sementara ke lima teman mereka yang lainnya membawa motor sendiri-sendiri. Sore harinya, barulah mereka sampai di lokasi yang menjadi tempat perhentian, di mana motor mereka dapat dititipkan di sana dan selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan dengan mendaki gunung Gede. Ketujuhnya berjalan beriringan mendaki gunung Gede. Sepanjang perjalanan, Ryan merasakan ransel yang dibawanya menjadi berat dan lama kelamaan semakin berat saja. Hingga ia memutuskan untuk beristirahat, karena merasa kelelahan. Joko, ketua rombongan pendakian baru sadar kalau Ryan tidak ada diantara mereka semua, ketika mereka sudah sampai di titik akhir pendakian. Joko pun mengatakan kepada anggota yang lainnya, mereka akan menunggu Ryan 10 menit lagi, kalau dalam waktu itu ia masih tidak kelihatan juga. Maka, ia dan Afif yang akan turun untuk mencari Ryan. Ryan terduduk di tanah berumput, ia lalu menurunkan ransel dari pundaknya dan sekilas matanya dapat melihat ada seorang wanita dengan rambut terurai dan juga gaun sepanjang mata kaki dari balik tas ranselnya. Ryan menjadi merinding dibuatnya, “Ternyata ‘Dia’ yang membuat perjalanan ku menjadi berat. Aku memiliki penumpang gelap.” gumam Ryan dalam hatinya. Tetapi ia bersyukur, karena tidak dibuat tersesat, karena ia masih berada pada jalur yang tadi dilalui oleh teman-temannya. Merasa sudah cukup beristirahat, Ryan pun melanjutkan kembali mendakinya. Sepanjang jalan, ia berharap semoga saja tidak tersesat. Jalur yang diambilnya benar. Mata Ryan bersinar senang, ketika dilihatnya, keenam temannya sedang mendirikan tenda. Ia pun menghampiri mereka dengan napas yang tersengal. Begitu ia dirasa cukup beristirahat, Joko sang ketua rombongan menghampiri dan menegurnya, “Lain kali, kalau kamu mau berhenti untuk beristirahat harus lapor terlebih dahulu. Kita ini satu tim, kita saling menjaga selama melakukan pendakian. Beda dengan seandainya kamu melakukan pendakian sendiri, kau bebas untuk berhenti kapan saja, tanpa memberitahukan kepada teman-temanmu.” Ryan merasa bersalah, sudah menyusahkan ketua rombongannya, ia pun meminta maaf dan menjelaskan alasan kenapa ia tadi berhenti. Afif yang sejak tadi memperhatikan saja, pun membenarkan perkataan Ryan. Ia menceritakan keanehan yang mereka alami sejak berada di rumah sewaan mereka. Joko meminta kepada semua teman-temannya, kalau pergi ke mana saja untuk tidak sendiri-sendiri, demi keselamatan mereka selama melakukan pendakian. Keenamnya pun menyetujui perkataan dari Joko. Menjelang matahari tergelincir ke peraduannya, mereka pun selesai memasang tenda. Mereka bertujuh menikmati keindahan pemandangan matahari terbenam di atas gunung Gede, dengan ditemani mug berisikan kopi panas yang uapnya masih mengepul dan juga mie rebus yang terasa nikmat disantap ketika masih panas. Mereka membuat itu semua dengan menggunakan kompor lapangan, sehingga tidak menggunakan kayu bakar yang bisa saja membahayakan lingkungan sekitar mereka berkemah. Ketika matahari sudah sepenuhnya tenggelam dan hanya kegelapan saja yang terlihat, mereka memilih untuk duduk-duduk di luar tenda dengan menggunakan lampu emergency sebagai penerangan. Ryan kembali melihat sekilas wanita yang tadi dilihatnya. Wanita itu melihat ke arahnya dengan raut wajah sedih. Ia seolah meminta kepada Ryan untuk mendekat dan menolongnya. Wajah wanita itu, kemudian berubah menjadi menyeramkan dan membuat Ryan menjadi takut melihatnya. Untungnya, hantu wanita itu menghilang begitu saja, seperti kemunculannya yang tiba-tiba. Meski merasa was-was, kalau-kalau saja hantu wanita itu kembali muncul. Mereka menunggu kantuk menghampiri, sambil memetik gitar dan bernyanyi dengan percaya dirinya. Tidak peduli, apakah suara mereka terdengar merdu atau sumbang, yang penting mereka bernyanyi dan merasa senang dengan apa yang mereka nyanyikan. Menjelang tengah malam, kantuk pun mulai menghinggapi. Satu persatu, teman-teman Ryan masuk ke dalam tenda mereka. Ryan sekuat mungkin menahan kantuknya. ia enggan masuk ke dalam tendanya. Berulang kali, ia menutup mulutnya, karena menguap. Sudah dua gelas kopi yang diminumnya hingga bersisa ampas saja. Namun, rasa kantuk itu pun tidak juga mau pergi. Joko yang duduk di sebelah Ryan, memperhatikan tingkah temannya itu dalam diam. Akhirnya, ia pun membuka suara juga, karena tidak tahan dengan tingkah Ryan yang terus menguap. “Jangan kamu tahan, kalau sudah mengantuk. Sana!, masuk saja ke dalam tenda untuk tidur.” perintah Joko. “Aku tidak mengantuk, kok. Cuman menguap biasa saja.” sahut Ryan, kembali menguap. Joko menertawakan Ryan yang tidak bisa menyembunyikan kantuknya lagi, karena kepalanya terangguk ke bawah, seolah hendak jatuh, hingga membuatnya terkejut. “Begitu bilang tidak mengantuk. Sudah, tidak usah berbohong lagi. Tidur sana!, biar besok pagi-pagi, ketika kita turun kondisi badan kamu lebih segar.” Ryan pun mau tidak mau masuk juga ke dalam tendanya sendiri dan disusul oleh Joko yang masuk ke dalam tendanya sendiri. Dalam waktu yang tidak lama, Ryan pun tertidur dengan nyenyak. Namun, menjelang subuh. Ia terbangun dari tidurnya. Ryan bermimpi ia menaiki mobil menuju ke sebuah perkebunan yang luas. Kiri kanan jalan, hanya terlihat pepohonan yang tinggi. Ia jarang melihat adanya rumah. Hingga akhirnya, mobil yang dikemudikan olehnya berhenti di depan sebuah rumah dengan nomor 13. Ryan melihat rumah tersebut sudah tua, dengan sebagain cat yang mulai mengelupas. Rumah itu, sepertinya tidak terawat dan sudah lama ditinggalkan oleh penghuninya. Rasa penasaran dengan rumah itu, membuat Ryan membuka pintu mobil dan ke luar dan berjalan menuju ke arah pintu rumah tersebut. Tiba-tiba saja, korden jendela rumah yang dikira olehnya tidak berpenghuni di sibak dan dari balik jendela kaca, terlihat seraut wajah wanita yang sudah mulai rusak. Ryan terbangun dari tidurnya, dengan napas yang memburu, seperti orang yang baru saja berlari. Diusapnya, keringat yang jatuh di dahinya dengan tangan. Mata Ryan menatap ke arah tendanya. Dilihatnya, ada yang bergerak-gerak, membentuk tubuh manusia. “Jangan takut, Ryan. Itu mungkin saja temanmu, yang sudah terbangun dan memilih untuk duduk di luar tenda.” sugesti Ryan kepada dirinya sendiri. Hampir saja Ryan menjerit ketakutan, ketika seraut wajah yang tadi ada dalam mimpinya menempel di balik tenda miliknya. Bersamaan dengan itu, cuaca menjadi semakin dingin saja dan terdengar suara petir bersahutan. Dari balik tendanya ia dapat melihat kilat sesekali menerangi sekitarnya, sehingga ia dapat melihat dengan jelas raut wajah di balik tendanya. Ryan meraih, senter yang berada tepat di samping matras yang menjadi alas tidurnya, karena emergency lamp yang mereka gantung di tengah tenda tiba-tiba saja mati. “Akh!, barangkali baterainya sudah habis.” gumam Ryan,dengan perasaan yang tidak karuan. Ia berharap matahari segera terbit dan hantu wanita yang membayanginya pun lenyap. Ryan yang dalam posisi duduk, melompat terkejut, ketika sesuatu yang dingin terasa menyentuh pundaknya. Ia membalikkan badannya dan tidak dilihatnya ada apapun yang terlihat. Ryan menyibak selimutnya dan beranjak dari alas tidurnya. Dibukanya pintu tendanya dan tidak dipedulikannya hujan yang sudah mulai turun dengan lebat. Berdiam di dalam tendanya, ia hanya akan merasakan ketakutan saja, lebih baik ia datangi Afif di tendanya. Ryan mengucapkan salam di depan tenda Afif dengan suara yang nyaring dan digoyangnya pintu tenda Afif. Afif yang masih terlelap dalam tidurnya pun terbangun, mendengar namanya dipanggil. Dibukanya resleting pintu tenda dan dilihatnya berdiri Ryan dengan pakaian yang basah terkena hujan. Afif pun mempersilakan kepada Ryan untuk masuk ke dalam tendanya. Ia memeriksa ranselnya dan mengambil selembar kaos bersih kepada Ryan. “Pakailah, sebelum tubuhmu terserang sakit karena kedinginan.” perintah Afif yang langsung dituruti oleh Ryan. Selesai mengganti pakaiannya yang basah dengan kaos kering, Ryan pun menceritakan alasan ia ke luar dari tendanya pada saat hujan seperti ini. Keduanya, kemudian duduk berdiam di dalam tenda Afif menunggu matahari terbit, sambil menikmati kue kering dan secangkir kopi panas dari dalam termos mini. Matahari enggan menampakkan sinarnya, meski sudah menunjukkan pukul Sembilan pagi. Ryan memberanikan diri untuk kembali ke tendanya sendiri, ia merasa kedinginan, karena celana yamg dikenakannya basah. Tiba di tendanya sendiri, Ryan langsung melepaskan celananya yang basah dan menggantinya dengan celana yang kering. Ia lalu mengambil kursi lipat dari ranselnya dan membukanya. Air sudah membasahi tanah tempat matrasnya ia gelar. Baru saja ia duduk, pintu tendanya diketuk dan ketika dibukanya, berdirilah Joko, ketua regu mereka yang memberitahukan kepadanya, kalau mereka sebaiknya turun saja, meskipun hujan rintik masih terus turun, karena hujan ini sepertinya awet. Ryan dengan cepat melipat matrasnya yang basah dan memasukkannya ke dalam kantongan plastik. Ia lalu mencabut pasak tendanya dan memasukkannya ke dalam kantong plastik dan barulah ia masukkan ke dalam ranselnya. Setelah semua barang-barangnya sudah berada di ransel miliknya, Ryan pun menghampiri teman-temannya yang lain. Ponco tebal yang dikenakan oleh Ryan dan juga ransel yang disandang di punggungnya terasa berat, karena mendapatkan tambahan beban berupa air hujan. Di tengah perjalanan, jalanan yang mereka lalui menjadi semakin licin dan berkabut, sehingga menghalangi jarak pandang mereka. Setelah menempuh perjalanan yang terasa berat dan panjang, mereka pun sampai juga di tempat yang menjadi titik awal keberangkatan mereka naik ke atas gunung. Ryan dengan keenam orang temannya, segera saja mengendarai motor mereka untuk pulang. Ternyata, jalanan yang mereka lalui untuk sampai ke tempat tinggal mereka tidak turun hujan., matahari bersinar dengan terangnya. Di depan teras terlihat seorang kurir sedang menekan bel pintu rumah, sambil membawa kotak di tangannya. Kurir itu berbalik dan menemukan ada dua orang berdiri di belakangnya. Ia pun bertanya, apakah ada salah seorang diantara mereka yang bernama Ryan dan dijawab oleh keduanya ada. Ryan pun maju dan mengatakan kalau dirinyalah yang bernama Ryan. Kurir tersebut kemudian menyerahkan paket ke tangan Ryan. Tak lupa ia meminta tanda terima dari Ryan, karena sudah menerima paket tersebut. Ryan dan Afif, kemudian masuk ke dalam rumah dan menuju kamar mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, keduanya pun kembali bertemu di ruang tengah. Ryan membawa paket yang tadi diterimanya. Setelah duduk,. ia pun membuka paket tersebut dengan sedikit khawatir, karena merasa curiga dengan isi dari paket tersebut. Ryan membuka kertas pembungkus paket itu dengan hati-hati, begitu terbuka ada sebuah kotak yang tertutup dan dikunci, Kunci dari kotak itu di tempelkan pada bagian atas dari kota tersebut dan di plester. Ryan pun melepas plesternya, lalu dimasukkannya pada lubang gembok kotak persegi tersebut. Begitu terbuka, di dalamnya ada sebuah surat, Ryan pun mengambilnya dan membaca isi surat tersebut dengan nyaring. Surat itu mengatakan, kalau ia adalah seorang wanita tua yang meminta kepada Ryan untuk menerima warisan darinya, berupa sebuah rumah dan juga perkebunan. Ia meminta kepada Ryan untuk mengelola kembali perkebunan tersebut. Isi surat itu juga mengatakan, ada sebuah kunci dan alamat juga petunjuk jalan menuju ke rumah yang terletak di perkebunan tersebut. Isi surat itu juga meminta kepada Ryan untuk tidak menolak warisan yang diberikan kepadanya. Selesai membaca surat tersebut, Ryan melipatnya kembali dengan rapi dan meletakkannya di atas meja. Ia lalu memeriksa isi kotak itu kembali dan ditemukannya sebuah kunci dan peta. Ryan menoleh ke arah Afif dan bertanya kepadanya, “Maukah kau kuajak berpetualang dengan mengunjungi rumah yang diwariskan untukku?. Aku tidak mengetahui apa yang akan kita temui di sana. Hanya saja, aku mau kau ikut menemaniku?” “Tentu saja, aku mau berpetualang denganmu. tidak akan kulewatkan kesempatan melihat tempat yang baru.” sahut Afif. Keduanya lalu memutuskan mereka akan pergi satu minggu lagi, setelah ujian tengah semester selesai. Selain itu, mereka mempertimbangkan tempat yang akan mereka tuju, sebelumnya belum pernah mereka datangi. Mereka perlu melakukan beberapa persiapan yang matang dan tidak mengambil tindakan gegabah yang bisa mencelakakan mereka berdua. Dua minggu kemudian, Ryan dan Afif pun sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menuju ke rumah warisan Ryan.Mereka akan mengendarai mobil yang dipinjam Afif dari keluarganya yang memang memiliki beberapa buah mobil, sehingga mereka bebas memakainya untuk beberapa lama. Berbekalkan petunjuk dari peta yang diterimanya, Ryan dan Afif melalui sepanjang jalanan yang sepi dan berkelok-kelok. Ryan, sambil menyetir dalam hatinya mencoba untuk mengingat. Rasanya ia pernah melalui jalanan ini, tetapi ia lupa kapan dan bagaimana bisa ia merasa pernah melaluinya. Ryan merem mendadak, sebuah kesadaran menghantamnya, ia baru ingat, kalau ia memang pernah melalui jalanan ini, meskipun hanya lewat mimpi saja. Afif memandang heran ke arah Ryan, ia mengangkat alisnya, sambil bertanya, “Kenapa kamu merem mendadak?” “Aku merasa pernah melalui jalan ini dan ternyata memang benar, meskipun hanya lewat mimpi, tetapi sama persis.” Afif pun mengatakan kepada Ryan, kalau itu hanyalah suatu kesamaan saja dan tidak perlu dipikirkan olehnya. Ryan terus melajukan mobil, sampai mereka memasuki sebuah kawasan perkebunan yang ditumbuhi tanaman Gandaria. Hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah gerbang yang sudah terlihat rapuh dengan beberapa bagian yang bolong. Ryan mematikan mesin mobil, lalu turun dan diikuti oleh Afif. Keduanya melihat ke sekitar mereka yang terasa sunyi dan menyeramkan. Hanya ada pepohonan dan tidak terlihat sama sekali rumah tetangga, bahkan saat di perjalanan tadi, mereka melihat adanya rumah menuju ke tempat mereka berada kurang lebih 500 meter. “Tempat ini begitu sunyi dan suram, semoga saja kita tidak diarahkan kepada seorang psikopat yang menunggu kita di balik pintu rumah yang akan kita tuju nantinya.” kata Afif. “Semoga saja tidak, tetapi sebaiknya waspada. Berjaga-jaga lebih baik, daripada ada hal buruk yang menimpa kita.” sahut Ryan. Ia lalu berjalan menuju pintu gerbang tersebut dan mencoba rangkaian anak kunci yang berada pada cincin gantungan kunci. Gembok tersebut sudah berkarat, sehingga menyusahkan Ryan untuk memasukkan anak kunci ke lubangnya. Untungnya, keduanya sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan matang. Afif berbalik menuju mobil dan mengambil botol minyak goreng, yang kemudian diteteskannya pada gembok yang berkarat tersebut. Gembok pun berhasil dibuka, Ryan lalu membuka gerbang tersebut lebar-lebar, agar mobil mereka dapat masuk ke dalam. Ryan mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat mereka berada. Ia merasa ada sepasang mata yang terus mengawasi ia dan Afif dengan tajam. Tidak menemukan sesuatu pun yang mencurigakan, Ryan mengajak Afif untuk segera masuk ke dalam mobil, Dengan langkah kaki yang setengah berlari, keduanya masuk ke dalam mobil. Ryan melajukan mobil memasuki bagian dalam dari tembok berpagar tua tersebut. Mata Ryan menatap tidak percaya, ketika nomor rumah yang dilihatnya, begitu juga bentuk dan cat rumah tersebut. Melihat keterkejutan Ryan, Afif pun berkata, “Jangan katakan kepadaku kalau kau sudah menikah dengan perebut suami orang tersebut?” Afif dan Ryan hampir saja berlari kencang ketika keduanya melihat gorden yang terbuka dan dari baliknya terlihat seraut wajah yang sama persis. Tubuh Ryan terasa bergetar hebat dan ketakutannya menjadi semaki bertambah dengan ketika wanita dari balik jendela itu menggerakkan bibirnya dan berkata tanpa suara, kalau ia sudah lama menunggu kedatangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN