Usiran Secara Halus Pak Erte

1352 Kata
Begitu pak Erte dan istrinya ke luar dari dalam kamar yang di tempati oleh Afif dan Ryan, Afif lah yang duluan berganti pakaian, di kamar mandi, setelahnya barulah Ryan. Beberapa saat kemudian, Ryan pun ke luar dari dalam kamar mandi. Entah mengapa ia merasa terdorong untuk melihat ke balik jendela kamar yang di tempatinya. Ryan berjalan menuju jendela kamar dan kembali, seperti tadi ia membuka korden jendela kamarnya. Ryan melihat ke halaman rumah dan ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Baru saja ia hendak menutup kembali korden jendela yang disibaknya, wajah yang dilihatnya di rumah No. 13 kembali berdiri di balik kaca jendela. Raut wajahnya terlihat sedih dan melalui gerakan tangannya ia seolah meminta kepada Ryan untuk ke luar dari tempat tersebut. Namun, ia menolaknya. Tidak mungkin ia ke luar di saat hari masih gelap dan hujan juga masih turun. Ryan menggelengkan kepalanya, untuk memberitahukan kepada makhluk halus itu, kalau ia menolak permintaannya. Ia hampir saja melompat, ketika merasakan ada yang menyentuh pundaknya. Ditolehkannya wajahnya ke belakang dan ia menjadi terkejut, ketika tidak ada seorangpun yang berdiri di belakangnya. Namun, indera keenamnya mengatakan, kalau pak Erte lah orangnya yang sudah menyentuh pundaknya. Dengan cepat, di tutupnya kembali korden jendela. Jantungnya berdebar kencang, aura negatf dirasakannya begitu kuat. Ryan memberi kode kepada Afif, yang sudah merebahkan badannya, untuk membuka ponselnya. Ia merasa, kalau mereka berdua diawasi dan ia juga khawatir, kalau siapapun yang mengawasi mereka, bisa mendengarkan apa yang akan dikatakannya kepada Afif. Ryan mengirimkan pesan kepada Afif, kalau mereka berdua akan tidur bergantian, karena ia tidak yakin mereka aman berada di rumah pak Erte. “Aku merasa akan ada bahaya yang mengancam kita, kalau kita sama-sama tertidur, aku tidak yakin dengan keselamatan kita berdua.” Ryan kemudian mengirimkan pesan itu kepada Afif dan dibalasnya dengan acungan jempol. Ryan pun merebahkan badannya di atas tempat tidur dan bermain dengan ponselnya, yang tadi sudah sempat di chargernya, karena kondisi tubuh yang lelah, Ryan hampir saja memejamkan matanya, ketika didengarnya suara-suara dari balik pintu kamar yang ditempatinya. Beruntungnya, ia tadi sudah mengunci pintunya, begitu pak Erte dan istrinya ke luar. Namun, ia juga tidak yakin, kalau seseorang yang berada di luar sana tidak bisa menembus dinding dan masuk ke dalam kamar. Ryan merasakan udara di dalam kamar menjadi begitu dingin, dan bulu kuduknya pun berdiri semua. Mata Ryan yang tadinya mengantuk, mendadak menjadi segar kembali. Ia menegakkan badannya dan menajamkan pendengarannya. Dilihatnya gagang pintu bergerak-gerak, seakan ada yang mencoba untuk membukanya. Tidak mau berlarut-larut dalam ketakutan, Ryan berdehem dengan nyaring untuk memberikan kode kepada orang yang berada di luar, kalau ada yang masih bangun. Dilihatnya gagang pintu berhenti bergerak-gerak dan tak lama kemudian, didengarnya suara langkah kaki yang berjalan menjauh. Ryan menarik napas lega, tetapi ia tidak mengurangi kewaspadaannya. Ryan bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kursi kayu, yang ada di dekat jendela. Ia membuka kaca jendela dan membiarkannya terbuka separuh. Dirasakannya, udara berhembus secara semilir dan mengenai wajahnya. Ia menahan rasa heran dan curiganya di dalam hati. Ia tidak mengerti, bagaimana bisa udara berhembus hingga terasa mengenai wajahnya, sementara dinding kamar tertutup rapat dan mereka juga tidak menyalakan kipas angin. Sayup-sayup, ia mendengar suara gamelan dan juga orang yang menyinden. Suara itu berasal dari luar halaman rumah pak Erte. “Bukannya di luar sana kami tidak melihat adanya rumah penduduk? kenapa sekarang, sepertinya sedang ada acara di luar sana? Ada apa sebenarnya dengan tempat ini,” gumam Ryan. Ia tetap duduk diam, sambil memperhatikan sekeliling halaman. Lama kelamaan suara yang tadi didengarnya berkurang, hingga akhirnya tidak terdengar sama sekali. Ryan pun menutup korden jendela dan beranjak dari duduknya, ketika ia berjalan. Langkahnya terhenti, badannya membentur sesuatu yang kokoh. Namun, tidak ada seorang pun yang berdiri di hadapannya. Ia lalu menggerakkan tangannya untuk menirukan gerakan menyapu. Dan, ia tidak menemukan ada apapun juga di depannya. “Apa yang tadi kutabrak? tetapi kenapa sekarang sudah tidak ada lagi? Namun, aku merasa di dalam kamar ini masih ada yang mengawasiku?” Ryan kemudian melihat jam tangannya, sudah pukul tiga dini hari. Ia pun beranjak menuju tempat tidur dan merebahkan badannya di sana. Diambilnya ponselnya, untuk membangunkan Afif. Begitu temannya sudah bangun, ia pun memejamkan matanya. Pagi harinya, Ryan terbangun begitu didengarnya suara-suara percakapan dan juga ayam yang berkotek. Ryan pun membuka matanya dengan perlahan. Matanya langsung melebar, ketika dilihatnya kalau ia berada satu tempat tidur dengan Afif. “Bagaimana aku bisa tidur di tempat tidur Afif? bukannya aku tadi malam tidur di tempat tidurku sendiri? Namun, Ryan tidak mau terlalu memikirkan hal itu. Ia beranjak dari atas tempat tidur dan dibangunkannya Afif. Tak lama kemudian, Ryan dan Afif sudah ke luar dari tempat tidur mereka dan bertemu dengan tuan rumah mereka. “Selamat pagi! Bagaimana dengan tidur kalian, tadi malam?” tanya pak Erte. “Kami bisa tidur dengan nyenyak, terima kasih sudah diijinkan ikut menginap!” sahut Ryan. “Syukurlah kalau kalian bisa tidur dengan nyenyak! Saya hampir mengira kalau kalian tidak dapat tidur, karena mendengar suara-suara di luar sana,” kata pak Erte, sambil menatap penuh arti ke arah Ryan. Ryan yang di tatap tajam oleh pak Erte, tidak merasa gentar sama sekali. “Apakah pak Erte, yang kurasaakan berada di dalam kamar kami tadi malam? untuk apa ia melakukannya?” gumam Ryan dalam hatinya. Mereka kemudian menuju meja makan, setelah bu Erte mengingatkan mereka untuk segera sarapan. Mereka semua pun duduk di depan meja makan. Pak Erte menggerakkan tangannya, ketika Ryan hendak berbicara. “Tunda dahulu apa yang ingin kau katakan, setelah kita selesai makan barulah kita berbicara,” tegur pak Erte dengan tegas. Ryan menganggukkan kepalanya. Ia pun menerima apa yang dikatakan oleh pak Erte dan melanjutkan makannya. Beberapa menit kemudian, Ryan, Afif dan pak Erte duduk bersama di ruang tengah, “Sekarang silaka kalian katakan apa tujuan kalian datang ke sini?” tanya pak Erte. Ryan menghela napasnya, ia sedikit takut juga melihat tatapan pak Erte yang tajam dengan raut wajah yang tanpa ekspresi. “Bapak mungkin masih ingat, kalau saya dan teman saya sekarang ini tinggal di rumah No. 13. Apakah bapak bisa mengatakan kepada kami, siapakah pemilik sebenarnya dari rumah itu? dan di mana sekarang penghuni rumah sebelumnya berada?” tanya Ryan. “Mengapa kalian bertanya kepada saya? Bukankah di sana ada pak Malik, pengurus rumah besar itu, yang bisa kalian tanyai? Rumah itu sudah lama sekali, kehilangan penghuninya,” sahut pak Erte. “Justru itu, kami ingin bertanya kepada Bapak, kami tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari pak Malik,” kata Ryan. “Jangan terlalu memaksa, kalau pak Malik tidak ingin mengatakannya. Lagipula, mengapa kalian tidak kembali ke kota saja? di sini bukanlah tempat yang cocok untuk kalian berdua,” jawab pak Erte. Ryan dan Afif saling pandang, mereka merasa kalau kehadiran mereka di rumah No. 13 memang tidak diharapkan dan, sepertinya mereka berdua diminta secara halus untuk meninggalkan tempat ini. “Kami sedang berlibur, pak! dan kebetulan sekali, kami juga suka berkemah dan desa ini masih banyak ditumbuhi dengan pohon-pohon yang tinggi dan besar. Kami merasa betah untuk menghabiskan liburan kami di sini,” timpal Afif. Pak Erte memberikan tatapan yang menusuk ke arah Afif, “Desa ini bukan tempat untuk berlibur dan kami tidak menerima kehadiran pendatang, yang hanya akan mengacaukan desa kami saja,” kata pak Erte dengan nada suara yang dingin. Afif dan Ryan kembali saling pandang, sebenarnya ada banyak hal yang ingin mereka tanyakan mengenai keanehan desa ini dan juga mengenai penghuni rumah No. 13. Namun, melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk bertanya, keduanya pun memutuskan untuk pergi dari rumah pak Erte. “Kami mohon pamit ijin pulang kembali ke rumah No. 13 dan kami ingin melaporkan kepada Bapak, kalau kami masih akan tinggal di sana selama beberapa hari lagi, sampai liburan kami berakhir.” Kata Ryan, sambil berdiri dari duduknya dan diikuti oleh Afif. Pak Erte pun juga berdiri, ia menerima uluran tangan dari Ryan dan Afif yang mengajaknya untuk bersalaman. “Silakan kalian tetap tinggal di sana, tetapi saya juga sudah memperingatkan kalian dan meminta kepada kalian untuk kembali saja ke tempat asal kalian, itupun kalau kalian merasa sayang dengan diri dan nyawa kalian sendiri,” kata pak Erte mengingatkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN